Thabo Mbeki

9 0 0
                                    

"Nanti malam, kukabari di mana kita bisa diskusi," kata Zoryana sambil berjalan keluar kelas.

Aku dan Thabo keluar kelas bersama. Kami berjalan menuju kantin untuk makan siang. Namun, kali ini ada yang aneh darinya. Dia tidak bicara satu patah kata pun. Kami berdua diam seribu bahasa. Dia tidak memulai percakapan, aku juga merasa tidak enak untuk memulainya.

Aku sadar, Thabo selama ini merupakan orang yang sangat memuja Zoryana. Kami tidak berbicara sampai saat kami duduk di kursi kafe untuk menyantap hidangan dan menyeruput satu cangkir kopi Cambridge. Thabo yang biasanya bermulut ember persis seperti karakter Bozer dalam film serial "MacGyver", yang tidak bisa berhenti kalau sudah berbicara, sekarang hanya bisa diam seribu bahasa sambil menunjukkan wajah cemberut kepadaku.

"Ah, malas ana sama anta, Zam. Curang anta, tidak fairplay. Malas banget."

"Lo, curang kenapa? Zoryana?"

"Iyalah, siapa lagi? Masak si Mia, yang tomboi kayak laki-laki itu. Ih, jijik!"

"Ah, rileks, Bho. Ana hanya ingin berdiskusi dengannya tentang apa yang dia tanyakan kepada Dr. Needham, kok. Tidak lebih."

"Kalau itu, sih, ana juga pernah membaca buku-buku tentang Secret Society. Tapi, coba saja kalau tadi ana yang datang ke dia, pasti tidak akan direspons. Curang anta."

"Insyaallah, dia orangnya objektif, kok, Bho. Sekarang, sudah tidak ada lagi namanya politik Segergasi. Dia tidak melihat siapa yang datang. Asal itu bermanfaat baginya, pasti dia pedulikan, kok. Tenang saja. Ana tidak punya harapan yang besar darinya. Toh, ana sudah suka sama orang lain. Kalau anta mau dekat sama Zoryana, ana bantu, deh. Gampang!"

"Ah, sudahlah, makan dulu. Tidak baik makan sambil berbicara."

Kami makan dan menyeruput kopi khas Cambridgeshire. Setelah itu, kami pulang ke Tennis Court. Tepat sebelum kami berpisah, kuberi tahu Thabo bahwa Zoryana sekarang sedang berada di perpustakaan. Dia ada janji dengan temannya.

Lagaknya, Thabo tak peduli dengan ucapanku itu. Namun, aku yakin, dia hanya pura-pura sok kuat, sok tabah, sok acuh tak acuh. Aku yakin sekali, dia akan langsung ke perpustakaan untuk sekadar melihat pujaan hatinya. Walaupun ketika sudah bertemu, Thabo pasti akan bingung apa yang harus dilakukan di hadapannya.

Belum sempat aku beristirahat, Thabo menelepon. Tumben. Pasti ada hal besar terjadi.

"Jem, kiamat, Jem ... kiamat! Kiamat kubra!" ucapnya dengan sangat panik, seperti benar-benar terjadi kiamat kubra.

"Bentar, bentar, ini beneran kiamat? Kok, di kamar ana tidak ada tanda-tanda kiamat, Bho? Tidak ada gempa, tidak ada hujan, tidak ada angin... sehat anta, Bho?" ucapku dengan bercanda.

"Serius ini. Kiamat, Jem ... Zoryana!"

"Hah, ada apa dengannya? Kecelakaan? Mati?" Aku masih bercanda.

"Lebih parah, Jem!"

"Lebih parah? Kaifa?"

"Aku lihat dia di perpustakaan sekarang. Ternyata, dia janjian dengan pria lain. Gagah, sih, ganteng, tetapi tetap lebih ganteng Mas Thabo Mbeki dari Cape Town ini, dong."

"Serius?"

"Iya, serius. Makanya lebih parah. Mesra banget, lagi. Gila. Jangan-jangan, mereka berdua ...."

"Tenang, tenang. Jangan suuzan dulu. Jangan-jangan, mereka hanya teman biasa, sama sepertiku yang hanya ingin berdiskusi dengannya."

"Tidak, Jem, ini mesra banget. Pasti lebih dari teman biasa. Ah, kalau begini, lebih baik ana pulang saja ke Cape Town. Nyerah ana!"

"Jangan, Bho. Nanti kalau anta pulang, ana kehilangan teman terbaik ana di sini. Ana tidak punya teman lagi, dong."

"Tapi, ana sakit, Jem. Sakitnya, tuh, di sini!"

"Tenang, coba anta foto mereka berdua. Biasanya, ana bisa tahu apakah mereka teman biasa atau lebih dari sekadar teman lewat raut wajah mereka."

Tiba-tiba, Thabo mematikan telepon, entah langsung melaksanakan saranku entah kehabisan pulsa. Aku menunggu dia menelepon lagi. Lima menit berlalu, dia meneleponku lagi dengan keadaan tambah bingung setengah mati.

"Jem, benar-benar kiamat ini!"

"Ada apa lagi? Anta sudah fotokan mereka berdua?"

"Sudah, Jem."

"Langsung kirimkan ke WhatsApp ana. Cepat!"

"Tidak semudah itu, Jem. Ana ketahuan sedang memfoto mereka."

"Astagfirullah. Kalau ini, benar-benar kiamat, Bho. Kok, bisa ketahuan? Bodoh banget anta."

"Tadi, ana mendekat lalu memfoto mereka, ana zoom in. Sebenarnya, tidak ketahuan, tetapi bodohnya ana lupa men-silent ponsel sehingga ketika ana pencet tombol kamera, terdengar bunyi cepretan foto dari ponsel. Seketika, mereka mencari sumber suara itu."

"Masak langsung ketahuan?"

"Inilah bodohnya temanmu ini, Jem. Setelah terdengar bunyi itu, ana gugup. Ana tidak langsung menyembunyikan ponsel, justru terus memfoto mereka."

"Memang anta bodoh banget."

"Seketika, mereka langsung pindah ke tempat lain. Ana lihat wajah mereka kayak tidak terima begitu. Apalagi Zoryana, kayak kesal banget. Ana harus bagaimana ini?"

"Oke, tenang saja dulu. Akan ana bantu menyelesaikan masalahnya. Nanti malam, ana akan bertemu dengannya. Berdiskusi. Tapi, ana belum tahu tempat dan waktu yang pasti. Sementara, jangan hubungi dia dulu."

"Oke, Jem. Syukron!"

Malam harinya, aku men-chat nomor yang Zoryana berikan kepadaku. Kutanyakan kepadanya kapan kami akan berdiskusi bersama. Tak lama kemudian, ada balasan. Namun, gaya bahasanya bukan milenial banget. Terkesan gaya bicara orang yang sudah berumur. Ternyata, itu adalah ayah Zoryana. Namun, alhamdulillah, karena maksudku baik untuk diskusi, bukan untuk yang lain, ayahnya memberiku nomor Zoryana yang sedang dia gunakan sekarang.

Setelah itu, kuhubungi nomornya yang asli. Aku tanya kapan kami bisa berdiskusi, dia menjawab besok siang di Zizzi Bene't Street pukul 13.00. Kebetulan, besok tidak ada kelas dan tidak ada jadwal bertemu dengan Profesor Gareth Smith.

Zoryana ingin sekali makan makanan Italia, itulah alasan dia mengajakku ke tempat itu. Kebetulan anak pemilik kafe itu juga saudaranya dari Italia yang sedang kuliah di Cambridge, tingkat undergraduate. Aku tidak sabar menunggu besok siang yang mendebarkan.

True Love in CambridgeWhere stories live. Discover now