Malamnya, aku dan Eva akan bertemu di sebuah kafe yang menjajakan makanan dan minuman halal dengan dominasi resep Timur Tengah. Eva sudah mengerti bahwa aku hanya mau makan makanan yang halal.
Sebelum ke kafe, aku mampir di Wilko untuk membeli bolpoin dan buku tulis. Harganya lumayan mahal walau sudah dikover oleh beasiswa. Total yang harus kubayar 4,9 GPB. Masih ada sisa satu penny yang kutukar dengan tiga bungkus permen. Sering sekali aku kehilangan bolpoin walaupun baru beberapa hari memakainya. Seperti di Indonesia, laki-laki yang bisa menghabiskan bolpoin sampai habis dan tidak hilang itu sudah sangat langka.
Di kafe, aku dan Eva memesan beberapa porsi makanan. Kami mulai mengobrol santai. Di tengah obrolan, tiba-tiba Eva bertanya tentang hijab.
"Maaf, kenapa para wanita dalam Islam tampak tidak bersyukur atas keindahan tubuh yang diberikan oleh Tuhan dengan cara menutupi seluruh tubuhnya? Aku juga dengar dari seorang profesor bahwa wanita muslim yang menutupi tubuhnya itu simbol keterbelakangan." Dia bertanya, tetapi dengan raut muka ingin tahu, aku tahu dia bukan hanya mengetes.
Aku memikirkan cara menjawab pertanyaan Eva. Kalau yang bertanya sudah Islam, bisa dijawab dengan dalil di Al-Qur'an atau hadis. Namun, dia bukan atau belum Islam, maka jawabannya harus dengan logika. Aku teringat pernah membaca unggahan di Instagram tentang hal ini. Kukeluarkan permen tadi yang belum kumakan.
"Va, aku ada tiga buah permen. Yang satu kubuka plastiknya dan kutaruh di atas lantai. Satu lagi kubuka dan kutaruh di atas meja ini. Yang terakhir masih ada plastiknya, tetapi kutaruh juga di atas lantai. Kira-kira, kamu memilih yang mana?" Tanyaku sambil mempraktikkanya.
"Hem, aku akan memilih permen antara yang di atas meja dan yang masih ada plastiknya walaupun di atas lantai," jawabnya.
"Kalau harus memilih satu saja?"
"Hem, yang ada plastiknya walaupun di atas lantai karena isi di dalamnya masih terjamin higienisnya. Sedang yang di atas meja, walaupun di tempat terhormat, sudah dibuka plastiknya jadi tidak bisa dipastikan kalau permen ini masih higienis," jawabnya dengan ilmiah.
"Nah, itu!" Aku menjentikkan jari di depannya. "Pertanyaan pertama terjawab."
Eva belum langsung paham apa yang kumaksud. Dia tampak kebingungan karena tidak ada kalimat tentang hijab seperti yang dia tanyakan.
"Baik, kita ibaratkan permen itu adalah tubuh wanita dan plastik itu adalah pakaiannya. Paham?" Sambungku.
"Oke, aku sudah paham. Logis, sih. Terus, pertanyaan kedua?"
Kubuka Instagram lalu kutunjukkan kepadanya sebuah video yang menunjukkan bahwa pada zaman dahulu tahun 1901, ada sebuah rekaman video amatiran yang mengambil gambar para wanita di Inggris bagian utara yang mengenakan penutup kepala. Mereka adalah para wanita yang sedang bekerja di pabrik Alfred Butterworth, daerah Manchester.
Dalam video itu, Profesor Vanessa Toulmin, seorang sejarawan, berkomentar, "Yang menarik adalah semua rambut wanita itu ditutupi. Para wanita tidak memperlihatkan rambut panjangnya. Jadi, yang kausaksikan, para perempuan itu, ada kain yang menutupi mereka dan Anda tidak melihat rambut mereka sama sekali. Anda hanya bisa melihat wajah mereka. Saat ini, ada perdebatan tentang hijab dan wanita yang menutupi rambutnya, sedangkan kita lupa bahwa kita telah kehilangan hal itu sebagai bagian dari kebudayaan kita. Seratus tahun yang lalu, Anda tidak bisa berjalan-jalan di jalanan kota Lancashire dengan rambut yang terjulur keluar."
"Ditambah lagi, kalau dengan menutup tubuh adalah keterbelakangan dan bukan simbol kemajuan, coba lihat dalam ilmu sejarah. Bagaimana manusia pertama kali diciptakan? Bagaimana peradaban manusia pertama kali? Mereka tidak menutup tubuhnya. Sekarang? Di Britania Raya sendiri, keluarga kerajaanlah yang dianggap sebagai masyarakat kelas tinggi, kaum elite. Apa yang mereka pakai? Apakah pernah ratu, pangeran, putri kerajaan, bahkan petugas yang ada di kerajaan membuka bagian tubuhnya?" lanjutku.
"Iya juga, sih. Logis."
"Terakhir, kalau menurut profesor itu membuka bagian tubuh adalah simbol kemajuan, itu artinya hewan lebih maju daripada manusia. Hewan mana yang memakai pakaian?" tanyaku yang membuat Eva diam seribu bahasa sehingga kami bisa pindah ke topik lain.
Eva tidak banyak mendebat kali ini. Kami lanjutkan untuk menyantap makanan dan minuman timur tengahan yang sudah dipesan sambil membahas obrolan ringan. Kami bercerita tentang masa kecil masing-masing. Hal yang kuingat terus, dia mempunyai hobi tersembunyi, yaitu bermain ice skating. Biasanya, dia ke klub ice skating yang berjarak 3,6 mil dengan sepeda.
3 Maret 2018
Rasa penat akan beban riset dan kelas membuatku makin stres. Apalagi, supervisor yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kesulitan sedang tidak memungkinkan untuk dihubungi setelah kejadian malam itu. Teman-teman di college juga tidak bisa menjadikan suasana hati terhindar dari stres yang melanda. Teman-teman yang biasanya asyik, sekarang terasa biasa saja. Akhir-akhir ini, aku selalu menyendiri untuk menyelesaikan riset yang sangat berat.
Aku memutuskan untuk mengambil liburan agar otak ini bisa di-refresh. Kebetulan, saat itu sedang awal musim semi. Daun-daun mulai bermekaran setelah tertimbun salju putih tebal nan dingin menusuk tulang. London menjadi tujuan destinasiku untuk liburan. Dari dulu, aku ingin sekali merasakan kehidupan London seharian penuh, dari pagi sampai malam di sana.
YOU ARE READING
True Love in Cambridge
General FictionLulus sarjana dengan IPK tinggi, Azzam (aku) melanjutkan study ke Cambridge University. Niat tulus menuntut ilmu setinggi-tingginya ia junjung dengan penuh keyakinan dan keberanian. Namun, berbagai problema yang tak pernah surut menerjang, membuatny...