Prolog

429K 40.4K 11.6K
                                    

Ini waktunya, gumam Alvarez saat ia melihat seorang gadis yang baru saja memasuki kantin dan sedang asik bercengkrama dengan beberapa temannya itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ini waktunya, gumam Alvarez saat ia melihat seorang gadis yang baru saja memasuki kantin dan sedang asik bercengkrama dengan beberapa temannya itu.

Alvarez membuka pengait jam tangannya, ia berpura-pura hendak memasang jam tangan itu, kemudian menabrakkan dirinya pada gadis yang memang dari awal menjadi sasarannya.

Brak!!!

Sengaja, Alvarez membanting jam tangan mahalnya itu sampai pecah dengan gerakan seolah-olah tidak sengaja. Gadis yang ditabraknya juga sudah terduduk karena terjerembab ke belakang. Ternyata tubuh gadis mungil di depannya ini tidak sebanding dengannya. Mungkin Alvarez terlalu keras saat menabrak tadi.

"Zea, lo nggak apa-apa?" tanya beberapa teman gadis bernama Zea itu. Mereka membantu Zea untuk kembali berdiri.

Mata Zea menatap mata Alvarez, sadar siapa yang ditabraknya, atau lebih tepatnya orang yang menabrakkan dirinya sendiri adalah Alvarez Atmaja, mata Zea membulat sempurna. Kedua temannya, Naura dan Ira juga ikut terkejut melihat pria tinggi nan tampan di hadapan mereka. Bukan apa-apa, mereka tahu pria tampan itu adalah ketua osis yang galaknya minta ampun. Tak tersentuh sama sekali.

"M... maaf Kak Alvarez. Aku nggak sengaja nabrak Kakak." Zea sudah kelimpungan. Ia menggigit bibir bawahnya panik.

Wajah dingin Alvarez membuat Zea gelagapan. Satu kantin bungkam karena insiden itu. Tangan Zea terpaut karena panik. Matanya melirik kanan dan kiri untuk mencari bantuan. Tapi sepertinya ia tak bisa meminta bantuan siapa-siapa. Bahkan kedua temannya pun, Naura dan Ira malah mundur beberapa langkah.

Hanya satu langkah Alvarez memajukan kakinya, namun berhasil membuat Zea menahan napas. Jaraknya dan Alvarez semakin terkikis. Zea membeku dan semakin ketakutan. Ia jadi ingat saat masa orientasi siswa, ada murid baru yang melawan ucapan Alvarez, dan tanpa segan, Alvarez menonjok siswa berpenampilan preman itu. Kalau tidak salah, siswa baru itu melawan ucapan Alvarez hanya karena Alvarez menegurnya untuk merapikan seragam.

"Ambil jam tangan gue." Suruh Alvarez dengan nada dinginnya. Seperti sedang menahan marah.

Dengan gerakan cepat, Zea menunduk dan mengambil jam tangan Alvarez yang kacanya sudah pecah di atas lantai. Dengan tangan gemetar, Zea menyodorkan jam tangan rusak itu. Bukannya tidak tahu, Zea tahu betul jam tangan Alvarez seharga mobil di rumahnya. Mobil yang papanya beli dengan menyicil setiap bulan. Dan Zea membuat jam tangan itu rusak sekarang. Wajar jika ia takut.

"Kak, Maaf." Ucap Zea menahan tangis karena takut Alvarez semakin marah besar, atau kemungkinan paling menyeramkan, Alvarez meminta Zea mengganti jam tangan mahal itu.

Bukannya menerima atau menjawab permintaan maaf Zea, Alvarez justru melipat kedua tangannya di dada. "Rusak tuh jam tangan gue." Ujar Alvarez.

"I... iya. Kacanya pecah." Balas Zea takut-takut.

"Bisa lo ganti sama yang baru? Jam tangan gue rusak gara-gara lo."

Ketakutan Zea terjadi. Tubuh Zea menegang, otaknya menjadi blank seketika. Tak sadar air mata yang ditahan Zea menetes. Aliran darahnya berdesir cepat, membuat suhu tubuh Zea panas seketika. Jantungnya apa lagi, jangan tanya seberapa cepat berpacu. Zea memberanikan diri menatap kedua mata Alvarez.

"Kalau aku ganti kacanya aja gimana, Kak? Aku... aku ...," belum selesai meneruskan ucapannya, Alvarez memotong.

"Harganya 25.000 dollar. Itu gue beli pas di Swiss bareng ayah bunda gue." Ujar Alvarez.

Bisakah aku mati sekarang? Malaikat maut, bisakah menjemput Zea sekarang? Bahkan mobil kredit Papa di rumah nggak sampai dua ratus juta harganya. Batin Zea berperang. Otaknya juga sedang sibuk menghitung jelasnya 25.000 dollar itu berapa.

"Jadi gimana? Mau benerin kacanya ke Swiss? Gue nggak mau jam tangan gue dibenerin di sini."

Zea semakin kebingungan. Ia tidak tahu harus bagaimana. Seisi kantin menatapnya iba, namun tak ada yang berani menolong.

"Aku nggak punya uang sebanyak itu, Kak." Ucap Zea pelan. Hanya Alvarez yang bisa mendengarnya.

Uang saku Zea saja tidak sampai dua puluh ribu sehari. Bagaimana bisa ia mengganti bahkan hanya kaca jam tangan itu? Butuh waktu berapa abad untuk Zea mengumpulkan uang sebanyak itu?

Alvarez mengambil tangan Zea, pria itu menarik Zea keluar dari kantin. Ya, Alvarez ingin berbicara empat mata dengan gadis itu tanpa menjadi tontonan.

Di lorong bawah tangga yang sepi, Alvarez membawa Zea untuk berbicara berdua. Meski Zea tidak berani mengangkat wajahnya.

"Kak, maafin aku. Aku nggak sengaja tabrak Kakak tadi." Ujar Zea menahan isaknya. Ia takut sekali saat ini.

"Ya itu urusan lo, gue mau lo ganti jam tangan gue yang lo rusakin. Gimana gue bilang Ayah gue? Itu hadiah ulang tahun gue tahun kemarin."

"Tapi... tapi aku nggak ada uang sebanyak itu buat ganti jam tangan Kakak."

Santai, Alvarez mengendikkan bahunya seolah tak mau tahu.

Zea semakin panik. Gadis itu menggigit kuku dan bibirnya. Otaknya berusaha berpikir apa yang harus ia lakukan untuk menyelesaikan masalah yang ia buat. Ya meski tidak sepenuhnya ia buat karena memang hal ini sudah menjadi rencana Alvarez dari awal.

Sedangkan Alvarez? Pria itu sudah menahan rasa gemasnya. Ingin sekali ia mencekik Zea sangking gemasnya. Ia heran kenapa bisa ada manusia seimut gadis di hadapannya ini. Gadis yang sialnya juga takut padanya. Pada Alvarez yang terkenal galak.

"Kalo aku cicil gimana, Kak? Uang jajan aku buat Kakak semua."

"Uang jajan lo berapa?" tanya Alvarez.

"15 ribu." Cicit Zea. Ia tahu kalau butuh waktu berabad-abad untuk melunasi hutangnya dengan uang jajannya.

"Butuh waktu berapa juta tahun lo lunasi hah! Lo kira gue tukang kredit?"

"Terus gimana, Kak? Minta orang tua juga nggak mungkin."

Alvarez berdehem. "Lo mau ikuti cara gue?" tanya Alvarez.

Tanpa berpikir dua kali, Zea mengangguk. Seperti ada harapan saat Alvarez menawarinya solusi.

"Lo yakin?"

"Iya, Kak. Apa pun aku lakuin buat bisa gantiin jam tangan Kakak."

"Mau gak mau, lo," Alvarez menunjuk wajah Zea seraya menggantung ucapannya, "harus jadi asisten gue." Tambahnya kemudian.

"Hah? Asisten apa, Kak?"

"Pem-ban-tu 👄"

- To be continue -

ALVAREZ [End]Where stories live. Discover now