Tujuh Belas

42 6 0
                                    

Aku sedang menghitung dalam hati. Mempertimbangkan haruskah datang ke ruang Genius atau tidak. Namun, berapa kali pun aku menghitung dan dengan rumus apa pun, hasilnya tetap sama. Aku wajib ke sana. Ya, wajib, karena akan ada rapat membahas edisi terbaru Genius.

Baru saja terpikir untuk minta izin karena sakit, saat ponselku bergetar panjang. Nama Zafran terpampang di layar. Menggigit bibir bawah, aku dilanda kebimbangan. Haruskah mengangkatnya atau tidak.

Akhirnya setelah dering ketiga, aku menggeser ikon penerima panggilan, menerimanya. "Iya, Zaf?"

"Lu di mana? Gue cariin gak ada."

"Gue ... di toilet."

"Ngapain?"

"Tidur." Aku memutar bola mata, segala ditanya?

Kekehan terdengar. "Buru bangun! Kesambet kuntilanak tau rasa lu!"

"Eh!" Aku buru-buru berdiri dari kloset duduk yang tertutup itu. Lantas setengah berlari keluar kamar mandi.

Dan hal pertama yang menyambutku adalah tawa puas Zafran.

Aku mendesis, lalu mendekatinya dan tanpa kata menendang tulang keringnya.

Zafran mengaduh, badannya membungkuk dengan lengan yang memegangi tungkai. "Dasar Gea Galak!" umpatnya.

Tawaku membahana. "Syukurin lu! Suruh siapa ngerjain!" Lantas menjulurkan lidah.

Detik berikutnya aku menjerit karena Zafran yang tiba-tiba bangkit dan memiting leherku dengan lengannya.
"Aduh, aduh ... ampun, Zaf!" pekikku. Meski pitingannya tidak menyakitkan tapi tetap saja tidak nyaman. Tanganku berusaha melepas belitannya.

Zafran menarik lengannya. Hal yang sempat membuatku takjub, tak biasanya dia gampang luluh.

"Masih gak mau cerita soal itu?" Tatapannya terarah ke pergelangan tanganku.

Aku menghela napas, "Gak ada yang harus diceritain kok," kataku, "Ayok!" lantas menarik ujung tali ranselnya yang menjuntai. Mengelak dari pertanyaan Zafran hanya untuk mendatangi masalah lain di depan sana. Sepertinya aku harus banyak menghela napas panjang hari ini.

***

Mau tahu bagaimana perasaanku saat ini? Aku seperti tersangka yang sudah ketahuan mencuri tapi masih dibiarkan berkeliaran. Tatapan dari tim Genius seolah berkata bahwa, "Hei, lu Rintik, kan? Buciner alay itu?" Sungguh, jika mampu aku ingin menjadi tak terlihat saat ini.

"Oke, artikel kalian bakal gue serahin ke guru pembina dan kepsek. Untuk sekarang kalian bisa mulai ngerjain yang lain dulu."

Instruksi sari Eldi segera mendapat anggukan dari kami. Lantas tiap orang mulai sibuk dengan laptopnya.

"Gea, bisa bantuin gue bawa ini!"

Tubuhku menegak karena ucapan Eldi itu. Yang benar saja? Lagi pula kertas-kertas itu tidak terlalu berat, kan, sehingga mesti ada bantuan?
"Gue bisa bantu-"

"Sekalian ada yang mau gue obrolin ... tentang Genius," imbuh Eldi, memotong ucapan Clara. Sejenak mereka saling melempar lirikan.

Dengan enggan, aku bangkit dari kursi. Melangkah mendekati Eldi, dan mengulurkan tangan.

"Gue aja yang bawa." Eldi membawa tumpukan kertas itu lantas berjalan mendahuluiku.

Bukankah tadi dia menyuruhku membantu membawa kertas itu? Aku mengedikkan bahu, lantas berjalan di belakangnya. Sengaja menjaga jarak dua langkah dari Eldi. Pun sengaja menutup mulut, membiarkan kami berjalan dalam diam. Aku berasumsi jika bukan masalah Genius yang ingin dia bicarakan.

"Gue serius perihal tadi pagi."

Nah, benar, kan? Baru pertengahan jalan, Eldi sudah kembali mengintimidasiku.

Aku masih bungkam. Sengaja bersikap seolah tak mendengar apa-apa. Sampai di lorong yang cukup sunyi Eldi berbalik dan menatapku tajam. "Lu denger gak, Gea?"

Kami saling tatap, seolah sedang sama-sama menyelami pikiran masing-masing lewat sorot mata. Selama ini aku hanya tahu sekilas tentang orang berkepribadian ganda, tapi melihat Eldi saat ini membuatku berniat untuk mencari informasi tentang itu. Eldi yang sedang aku hadapi saat ini seperti bukan Eldi. Ke mana perginya Eldi yang murah senyum? Yang selalu bersikap hangat dan lemah lembut.

"Lu kenapa, sih, Di? Lu ada masalah sama Saka?" tanyaku, mencoba bersikap lebih lembut. Barangkali jika memang ada perselisihan di antara mereka, aku bisa sedikit membantu.

"Iya, Saka sumber masalah di hidup gue. Jadi, plis, Ge, jauhin Saka!"

"Kenapa? Kenapa gue harus jauhin Saka seperti kata lu itu?"

"Karena Saka adalah penghancur kebahagiaan orang. Karena Saka gak pantes punya orang-orang dekat!" Rahangnya mengetat, sorot mata Eldi menajam, seperti ada kebencian sangat besar untuk Saka di dalam sana.

Kepalaku pening sekarang. "Oke, lu mungkin punya masalah sama Saka, tapi gak lantas bikin lu ngelarang orang lain buat deket sama dia, dong?"

Eldi menggeleng, "Gak, Gea! Lu gak boleh deket sama Saka!" Eldi menghela napas sebelum kembali bersuara, "Lagian gue tau kok, lu deket sama Saka cuma buat pengalihan aja, kan, karena selama ini gue gak ngerespons elu? Gue janji setelah ini bakal lebih perhatian sama elu."

Aku melongo, takjub dengan asumsi Eldi yang ruwet itu. "Di ... berapa kali mesti gue bilang, gue gak suka sama elu. Dan gue gak butuh perhatian dari elu."

Eldi memejamkan mata sejenak, terlihat sedikit putus asa mungkin. Lalu dia kembali menatapku, "Fine ... tapi lu tetep gak boleh deket sama Saka."

Denyut di kepalaku bertambah. Aku yakin ada sesuatu dalam diri Eldi. Menghadapinya saat ini, seperti menghadapi anak kecil yang super keras kepala. "Itu hak gue, Di. Lu gak berhak ikut campur!" tegasku.

"Kalau lu gak dengerin gue, artikel lu bakal didiskualifikasi!"

Netraku melebar, tidak menyangka Eldi akan memberi ancaman seperti itu. "Gue pikir lu profesional, Di, gak taunya childish abis!" sindirku.

***

Lagi ngapain?

Aku menatap layar ponsel yang menampilkan ruang chating itu. Sedianya aku akan mengirim pesan itu pada Saka. Tapi beberapa detik setelahnya, aku menghapusnya lagi, merasa bahwa itu terlalu cheese untuk hubungan kami yang hanya sebatas teman. Lantas aku mengetik kalimat lain.

Anggea: Gue mau ngomong besok.

Namun, sebelum aku menekan tombol kirim, sebuah pesan dari Saka lebih dulu terpampang di layar.

Saka: Gue gak liat lu seharian.

Dan begitu saja, sudut-sudut bibirku tertarik membentuk lengkungan. Aku sampai harus menggigit pipi bagian dalam agar senyumku tidak mengembang keterlaluan. Ada apa ini? Padahal itu hanya sebuah pesan.

Anggea: Gue juga gak liat lu.

Saka: Ada tantangan dari sekolah lain, jadi gue harus latian. Besok lu ke GOR ya?

Sungguh itu hanya sebuah kalimat yang tidak ada manis-manisnya, tapi kenapa hatiku sebahagia ini? Aku bahkan lupa dengan niat awal menghubungi Saka.

Anggea: Ngapain? Gue gak mau diketawain lagi.

Saka: Ya elah, gue kan udah minta maaf soal waktu itu. Gue jamin besok gak bakal ada yang ngetawain elu.

Anggea: Kalau sampai ada yang ngeledekin gue, lu mau apa?

Saka: Gue timpuk pakai raket orangnya.

Sontak aku tertawa sendiri di kamar ini. Setengah lusin emot tertawa aku kirimkan sebagai balasan.

Saka mengirim emot yang sama. Selanjutnya kami saling berbalas stiker tak jelas, tapi menyenangkan, hingga tanpa sadar waktu beranjak naik.

Anggea: okelah, sekalian mau ada yang gue omongin.

Saka: Apa?

Anggea: Besok aja.

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang