Delapan Belas

37 5 0
                                    

Langkah kakiku melambat saat melihat dua pemuda berdiri di depan pintu B.2. Mereka tengah asyik mengobrol, sepertinya pembahasan ringan, terlihat dari mimik keduanya yang tampak santai.

Melihatnya, ingatan itu terputar lagi. Ancaman Eldi bahwa dia akan mendiskualifikasi artikelku jika tidak menuruti kata-katanya. Aku masih belum bisa menyimpulkan hal apa yang terjadi pada Eldi. Kenapa dia seolah memiliki dua sisi yang berlawanan? Dan kenapa dia seperti menyimpan dendam pada Saka?

Ketika jarak kami kian dekat dan mereka menyadari kedatanganku, bisa aku lihat ekspresi itu. Ketegangan dari wajah Eldi. Tapi dia tetap mengulas sebaris senyum tipis.

“Halo, double G!” seru Zafran sembari mengangkat telapak tangan, mengajak tos.

Aku membalasnya dengan kepalan tangan. “Asyik banget ngobrolnya, bahas apaan?” tanyaku. Sekadar basa-basi karena akan sangat janggal jika langsung nyelonong pergi. Apa kata mereka jika tim Genius tidak solid?
Iya, aku seprofesional itu. Tidak seperti cowok satu itu. Aku meliriknya sekilas.

“Bahas lu, Gea,” jawab Zafran.

“Wah ... kehormatan banget buat gue digibahin sama cowok-cowok.”

Zafran tergelak, “Elah? Pede banget lu!” Dia menyarangkan tangannya di puncak kepalaku. Mengacak rambutku yang tergerai. Iya, benar-benar mengacak, bukan menepuk pelan seperti di film-film itu.

Aku menangkap tangannya, menyentak pelan. “Kebiasaan!” gerutuku, lantas menyisir rambut dengan jemari.

“Gue selalu suka interaksi kalian.” Eldi tertawa kecil.

Alisku berjengit, sandiwara apa lagi yang dia mainkan?

“Gue kelas dulu, ya,” pamit Eldi, lalu berbalik dan pergi setelah mendapat anggukan dari Zafran.

“Kenapa lu?”

“Apa?” Aku mendongak pada Zafran.

“Kaku banget kayak kanebo kering?”

“Apaan? Biasa aja gue.” Aku melangkah masuk, menghindari tatapan Zafran.

Sementara cowok itu mengikutiku sampai depan loker. “Menurut penerawanganku sih, jiwa lu butuh temen curhat, tapi egonya sok kuat.”

Gerakan tanganku memutar kunci berhenti. Mulai memikirkan yang dikatakan Zafran. Mungkin aku butuh teman berbagi cerita. Barangkali dengan itu akan ada titik terang. Atau minimal perasaan lega.

Aku urung membuka loker, memutar tubuh untuk menghadap cowok tinggi itu. “Lu tau ada masalah apa antara Eldi sama Saka?”

Alis tebal Zafran bertaut, “Masalah, seperti?”

Aku mengembuskan napas, sepertinya hanya mereka berdua yang tahu. “Gue ngerasa Eldi tuh benci banget sama Saka.”

“Dari mana lu dapet kesimpulan seperti itu?”

“Artikel tentang pengajar itu, Eldi bahkan ngancem bakal diskualifikasi gue kalau gue gak jauhin Saka.”

“What?” Zafran terperangah. “Lu salah kali.”

Aku berdecak, “Tadi nyuruh cerita, sekarang kayak gini. Nyesel gue!” ketusku.

“Elah, gitu aja ngambek.” Zafran menjawil hidungku. “Jadi gimana ceritanya bisa kayak gitu?”

Aku mengedikkan bahu, “Itu yang lagi gue cari tau.”

“Kalau disuruh milih ... lu bakal milih siapa, Ge?” Zafran menatap lekat.

Aku mengulum bibir, kata-katanya mengusikku, pun membuat kemungkinan itu berseliweran. Jika harus memilih siapa yang aku pilih? Jika siang nanti Saka turut mengajukan syarat itu, misalnya. Mana yang akan aku menangkan, Saka atau Eldi?

Tunggu .... Dahiku berkerut. Untuk apa aku memikirkan itu jika bisa saja berteman dengan keduanya? Bisa jadi aku adalah bidadari tanpa tanda jasa yang akan menyatukan mereka, kan? Sudut-sudut bibirku tertarik membayangkan kemungkinan itu.

“Heh! Ditanyain malah cengengesan sendiri?” Zafran menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajahku.

Aku menatap Zafran dengan sorot penuh arti, “Mau gak lu jadi duta persahabatan?”

“Hah? Apaan?”

Terkekeh, aku kembali memutar tubuh menghadap loker. “Ntar gue kabarin lagi,” kataku, yang otomatis membuat kening Zafran berkerut kian dalam. Namun, dia tak bisa lagi protes karena bel masuk berdentang nyaring.

***

Sebenarnya aku ragu melakukan ini. Jika bisa menawar, aku akan meminta Saka agar kita ketemuan di luar gedung ini. Agar memori memalukan itu tidak perlu terputar dan seolah mengejekku lagi. Tapi mengingat bagaimana sifat Saka, aku tahu jika hal itu akan percuma. Yang ada dia marah.

Atau lu aja yang gak mau menolak, Gea!

Suara itu, kenapa selalu terdengar tiap kali bersangkutan dengan Saka? Suara hati entah dari sisi yang mana, si baikkah atau si jahat?

Menggeleng berulang, aku memilih mengenyahkan pikiran itu. Fokusku sekarang adalah pintu masuk GOR yang berjarak kurang dari lima langkah dari posisiku saat ini. Kakiku seperti dilem mendadak, tidak bisa digerakkan ke depan. Justru seperti ingin mundur saja.

Aku menarik napas panjang, mengeluarkannya lewat mulut secara perlahan. Lantas mengulangi hal serupa beberapa kali. Oke, Gea, anggap aja yang kemarin gak pernah terjadi. Aku menyugesti diri. Lalu, setelah cukup yakin dengan keberanian yang terkumpul, aku mulai mengayunkan kaki ke depan.

Embusan napas kelegaan lolos setelah kakiku menjejak lantai GOR. Segera saja bunyi decit sepatu dan benturan kok dengan raket mengisi telinga. Dan jangan lupakan teriakan dedek-dedek gemes di bawah sana. Fans entah Saka atau Putra yang tidak pernah absen. Pun orang-orang sama yang menertawakanku tempo hari.

Aku memutuskan untuk duduk di tribun paling atas. Selain menghindari tatapan para pemuja Saka, pun karena aku butuh udara lebih banyak saat ini. Iya, aku masih belum terlalu percaya diri. Masih belum cukup nyali bertemu tatap dengan cewek-cewek itu. Berharap mereka tak akan melihatku.

Namun, harapan itu harus berakhir menyedihkan. Hanya menjadi khayal semu tak sesuai fakta. Karena saat Saka melihatku, dengan santai di melambaikan tangan. Lantas tak butuh komando, para penonton kompak menoleh ke arahku.

Duh!

Aku segera menunduk, berpura-pura mencari sesuatu, pun berlagak seolah bukan aku yang dimaksud Saka. Embusan napas kelegaan lolos tatkala melihat para penonton yang kembali fokus ke depan. Aku masih di posisi yang sama sembari mengintip dari celah antar bangku penonton. Dan aku merasa seperti penguntit sekarang.

Getaran panjang dari saku rok menginterupsi, sedikit kesulitan aku mengambil ponsel itu dengan posisi jongkok begini. Dahiku mengernyit membaca nama si pemanggil. Lagi, aku mengintip ke bawah, di mana si penelepon sedang duduk di bangku sembari memandang ke atas sini.

“Lu ngapain sih telepon gue?” kataku setelah menggeser tombol hijau.

“Lu yang ngapain di sana? Main petak umpet?” Saka masih menatap ke sini, sementara aku lihat ada beberapa gadis yang berjalan ke arahnya.

“Gue tunggu di luar, ya. Dah ....” Tanpa menunggu persetujuan Saka, aku mematikan sambungan. Lalu dengan gerakan kilat meninggalkan GOR.



Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang