Dua Puluh Dua

42 4 0
                                    

Ini pasti mimpi. Sosok di depanku saat ini pasti Cuma halusinasi karena terlalu sering memikirkannya. Apalagi kata-katanya barusan .... Kangen? Yang ada aku yang kangen dia. Ingatkan aku untuk tertawa saat bangun nanti.

Tunggu!

Jika ini mimpi kenapa dia berkedip? Maksudku mimpi tidak akan mungkin senyata ini, kan? Aku mengernyit, debaran di jantung mulai meningkat. Lalu saat aku mencubit tangan dan merasakan sakit, aku sadar jika dia nyata. Jika cowok di depanku ini benar Saka.

Aku membuka mulut, bersiap mengeluarkan suara saat dia lebih dulu berdecak. “Lu denger gak sih?” tanya Saka.

Mengangguk, aku bersiap menjawab, “Gu-gue ... elu ....” Namun, yang ada aku justru terdengar seperti bocah gagu. Aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya, apa karena kemunculan Saka yang tiba-tiba atau karena ucapannya beberapa saat lalu? Bolehkah aku dengar ulang, Saka?

“Lu ngomong apa tadi?” tanyaku. Berharap dia mau mengulanginya lagi. Sehingga aku bisa mendengar secara nyata. Pun merasakan sensasinya.

“Gak ada siaran ulang!” Saka berbalik membuatku seketika panik.

“Eh, kok gitu?” Aku mengikuti langkahnya, sedikit terseok karena perbedaan panjang tungkai kami yang kentara.

Saka hanya menolehkan separuh wajah, tapi bisa aku lihat senyum tipis di bibirnya. Begitu saja sudah membuat dadaku menghangat.

“Aduh!” pekikku. Mengusap dahi yang baru saja membentur sesuatu. Lebih tepatnya punggung cowok itu. Mungkin karena terlalu terpukau dengan apa yang baru saja Saka lakukan, aku sampai tidak sadar jika dia berhenti melangkah. “Lu berhenti gak ngomong-ngomong!”

“Elu kali yang ngelamun.” Saka memutar tubuh, membuat kami berhadapan.

“Enak aja!” Aku membuang pandangan, tak kuasa menatapnya.

“Kenapa? Lu ngelamunin gue?” todong Saka.

“Pede banget, lu. Ngapain coba kayak gitu, kayak kurang kerjaan aja!” Jika tadi hanya bola mataku saja yang bergerak sembarangan, sekarang tanganku pun turut menggapai apa saja. Sesekali ke tali tas, kemudian pindah saling meremas. Sial, sepertinya aku tak pandai menyembunyikan ekspresi.

Dan tentu saja hanya anak kecil yang akan menerima begitu saja kata-kataku. Saka menarik ujung bibir, tersenyum miring. “Lu lucu kalau lagi salting gitu.”

Aku mendesis dalam hati. Satu sisi ada yang menggelitik di dalam sini saat dia mengatakan itu. Semacam perasaan senang karena dibilang lucu mungkin. Namun, di sisi lain aku juga merasa sebal. Sebal pada diri sendiri yang tak mampu menyembunyikan ekspresi dengan baik. Sebal dengan Saka yang melontarkan kalimat itu begitu saja.

“Paan, sih!” Aku sedikit menggeser telapak kaki, menyamping. Tak kuasa terus berbagi tatap dengannya.

“Lu suka sama gue?”

Ya Tuhan ... manusia macam apa di depanku ini? Setelah sukses membuatku salah tingkah dengan berbagai ucapannya, sekarang dia justru melempar bom atom. Sepertinya aku akan meledak sebentar lagi. Bukan karena marah, tapi karena malu dan berbagai perasaan entah.

Lagi pula apa-apaan si Saka ini? Dia bertanya seolah sedang menanyakan soal matematika.

“Eng ... gak!” ucapku kemudian, menatapnya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangan. “Jangan sok kecakepan, deh.”

“Tapi gue suka sama lu.” Saka menepuk pelan puncak kepalaku, lalu beranjak pergi.

Aku mengerjap, masih mencerna apa yang Saka ucapkan dan lakukan. Lalu saat sadar, satu yang bisa aku ucapkan. “Ya Tuhan, tolong selamatkan jantung hamba!”

Genius (End)Where stories live. Discover now