BAB 03 : Dijemput Gibran

4 1 0
                                    

RAPAT yang mereka lakukan di kelas tadi, belum kunjung mendapat titik temu. Bukannya membeli material untuk keperluan tugas, mereka malah langsung menyerbu rumah Gilang.

"Bentar, guys!" titah Nadheo, semua orang sontak menghentikan motornya. "Soal bahan-bahan gimana?"

"Lo bener, Nad!" sahut Dynta. "Oke, sekarang kita ke supermarket dulu, beli bahan-bahan!"

Gilang membuka kaca helmnya. "Tapi, di depan udah nggak ada supermarket lagi, Ta. Yang tadi kita lewatin, itu yang terakhir."

Semua orang melongo, termasuk Baila. "Serius?"

Memang, jalanan yang dari tadi mereka lewati agak berbeda dengan apa yang biasa mereka lihat. Ada sawah, rawa, jalan-jalan kecil, perkampungan, hingga lahan kosong.

Rasanya, mereka seperti melintasi tempat lain. Padahal, mereka masih berada di kota yang sama, cuma agak melipir saja. Tak heran, tadi Chara bilang, "tapi, kayaknya rumah Gilang kejauhan."

Cowok berjaket denim itu mengangguk. "Maklum, rumah gue 'kan agak di pinggiran kota, jadi belum ada supermarket. Kalo pasar ada! Tapi, jam segini kayaknya udah sepi, deh."

"Lagian, siapa sih yang minta kita buru-buru ke rumah Gilang? 'Kan jadi ribet dua kali."

Enzo merasa tersindir, tak terima mendengar ucapan Dynta. Pasalnya, ini semua bukan pure salah Enzo, melainkan cacing-cacing di perutnya-lah yang meronta minta makan.

"Ayo, kita langsung cus ke rumah Gilang, perut gue udah konser, nih!"

"Terus, bahan-bahan gim—"

"Nanti aja! Gampang itu mah!" tegas Enzo, semua orang lantas menuruti perkataan cowok berbadan gempal itu tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Lo sih, Zo!" tuduh Agil, sambil menonjok bahu Enzo. "Dynta jadi marah, 'kan?"

Enzo cemberut. "Iya, gue salah. Sorry, sorry."

Sejak mereka masih berada di sekolah, bahkan saat belum melakukan rapat, Dynta sudah menahan kekesalannya pada Enzo. Dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk 'meledak' karena kesabarannya sudah habis.

"Enteng banget lu ngomong, nih lu ngomong nih sama dengkul!" semprot Dynta. "Enek banget gue sama lu! Pengen gue bejek-bejek terus gue larung ke Selat Sunda!"

"Udah Ta, udah!"

Enzo lagi-lagi memasang wajah penuh sesal. "Gue 'kan udah minta maaf, Ta."

"Diem, deh! Permintaan maaf lo nggak akan nyelesain masalah," ketus Dynta.

Nadheo angkat bicara, "Kalo kita puter balik, otomatis jauh lagi, bakal kemaleman, mana tugasnya belum ada yang dikerjain."

"Dan kalo kita terusin jalan ke rumah Gilang, kita mau ngerjain apa? 'Kan bahan-bahannya belum ada," timpal Chara.

Semua orang diam. Bingung, mau berbuat apa. Yang dikatakan Nadheo benar, sementara ucapan Chara juga benar. Jadi, apa yang harus mereka lakukan sekarang?

"Gimana kalo kita pake bahan-bahan yang ada di rumah gue aja?" usul Gilang.

•••

Di waktu yang sama, namun di tempat yang berbeda, seorang wanita terlihat mondar-mandir di halaman rumah. "Dynta kok belum pulang, ya?"

Hatinya semakin gundah, tatkala tidak ada seorangpun yang dapat ia tanyai keberadaan putrinya. Padahal, hari belum gelap. Tapi, rasanya semua orang menghilang dan hanya menyisakan cemas yang terus mengintai.

Losing UsWhere stories live. Discover now