2

4.2K 651 20
                                    

"Tidak ketemu?"

Kuda Eliano menghampiri Alec yang juga berada di atas kudanya. Tubuh keduanya basah oleh air hujan di malam hari. Jubah hitam yang menaungi tubuh keduanya hampir tidak berfungsi karena air tetap merembes menyentuh kulit mereka, membuat sensasi dingin menusuk tulang terasa jelas oleh angin yang berhembus kuat.

Tadi.

Tak lama setelah bergelung di bawah tumpahan air dari langit, Alec dan Eliano kembali ke tempat mereka semula dan hujan berhenti. Atau lebih tepatnya, hujan tidak sampai menyentuh tempat itu karena seperti yang terlihat, rumput di sini kering.

"Tidak," Alec membalas pertanyaan Eliano.

Eliano mengerang. "Ini sudah malam! Dia menghilang sejak sore! Aku tak bisa bayangkan akan semarah apa Ayah nanti!"

Alec menghembus nafasnya kasar. "Hujannya terlalu deras, dan aku tak bisa merasakan auranya."

"Memang siapa yang bisa merasakan aura anak itu?" dengus Eliano. "Ayah yang sehebat itu saja tidak."

"Tapi ayah menanam sihir di tubuhnya," balas Alec.

"Benar," decak Eliano. "Tapi tetap saja. Kalau ketemu aku akan memarahinya sampai dia pingsan."

"Sudahlah." Alec menghela nafas pelan. "Kita pulang saja."

Eliano sontak melotot. "Dan membiarkannya di luar sana? Tidak, terima kasih. Bagaimana jika dia kehujanan? Bagaimana jika dia tersesat? Bagaimana jika dia sedang ketakutan? Lalu sakit. Lalu dia akan kembali seperti..."

"Kita jujur pada Ayah," sela Alec. "Kita minta bantuan Ayah untuk menemukannya. Pasti ketemu."

Eliano menggeleng. "Kalau begitu Eliana yang akan kena marah. Apa lagi yang harus kita beri tahu pada Ayah? Bahwa Eliana masuk ke hutan ini sendirian dan menghilang di balik lubang di dinding sulur-sulur raksasa mati itu? Lalu kita berusaha mencarinya tapi tidak ketemu? Ingat, Ayah bisa membaca pikiran kita!"

"Itu urusan terakhir. Yang terpenting dia ditemukan dahulu," sahut Alec. "Ayah tak akan memberikan hukuman aneh-aneh untuknya. Kondisinya tidak memungkinkan untuk menerima hukuman seperti yang pernah kuterima dulu."

Eliano mendesis, tapi dalam hati ikut membenarkan perkataan Alec.

"Baiklah," dengus Eliano. "Kita pulang saja."

Eliano langsung menjalankan kudanya menuju tembok sulur-sulur raksasa yang sudah mati diikuti oleh Alec, hingga melewati lubang yang di tembok itu yang tadi mereka masuki. Istana Kerajaan Penyihir langsung terlihat di kejauhan begitu mereka melewati lubang itu.

Tiba-tiba kuda yang Alec tumpangi meringkik keras. Kedua kaki depannya naik tak lagi menyentuh tanah, membuat Alec terkejut dan langsung berupaya mengendalikan kudanya.

"Apa itu barusan?" Alec langsung membawa kudanya menghadap ke belakang, ke arah lubang, begitu berhasil menenangkan kudanya.

"Barusan memang kenapa?" heran Eliano. Ia ikut berbalik pada Alec di belakang.

Alec menggeleng ragu. Matanya masih tertuju pada lubang di dinding sulur raksasa di kegelapan malam. Alec mengangkat satu tangannya, lalu seberkas cahaya putih muncul di telapak tangannya. Diarahkannya cahaya itu pada lubang agar penglihatan mereka lebih jelas.

"Tadi Drex seperti tertahan," kata Alec. Drex adalah nama kuda kesayangannya yang tengah ia tumpangi saat ini.

"Mungkin dia tersandung," jawab Eliano menerka-nerka dari belakangnya.

Alec baru hendak membantah saat suara berat lain membuatnya tersentak. "Di sini rupanya kalian!"

Alec sontak berbalik bersama Eliano.

the CastleWhere stories live. Discover now