"Kalau kau ingin membebaskan Alec bilang saja, tak perlu berpura-pura lupa." Eliano memutar bola matanya. "Kau tak mungkin lupa karena kau sangat senang mengerjai Alec saat itu."
"Tidak, sungguh." Eliana menegakkan punggungnya. "Kapan aku meminta Alec menjadi pengawal pribadiku?"
Alec mengernyit. "Saat kita berbaikan dulu. Saat Carvi mencoba ... kau tahu." Ia mendengus kasar. "Aku meminta maaf karena kesalahanku kau harus berada dalam situasi itu dan kau baru memaafkanku dengan satu syarat."
"Menjadi pengawal pribadimu," sambung Eliano. "Aku pikir kau bercanda tapi Alec memang berjanji ..." Eliano menghentikan ucapannya. Ia menatap Eliana horor. "K-kau ... benar-benar lupa."
Eliana perlahan menggeleng, ikut merasa horor. "Aku tidak ... ingat."
"Hari saat aku mengetahui bahwa ternyata selama ini kau berfikir bahwa aku membencimu. Hari ketika kita meluruskan semuanya. Aku tak pernah membencimu dan aku tak pernah malu atas kondisi sihirmu." Alec berucap serius. Manik birunya menatap dalam dan tajam netra hitam Eliana. "Aku ingat sesenang apa kau saat itu. Kau ... tidak mungkin lupa."
Eliana mulai bergetar. Ia menggeleng berkali-kali dengan tatapan tidak percaya. "Aku bersumpah tidak tahu apapun yang kalian bicarakan!"
"Artinya kau masih merasa bahwa Alec membencimu dan bahwa dia malu atas kondisimu?" tanya Eliano penuh keingintahuan.
"Aku tak pernah merasa seperti itu," sahut Eliana cepat. "Tidak sekarang maupun dulu."
"Tidak mungkin!" Eliano hampir berseru. "Sejak hari itulah Carvi, Elys dan teman-temannya berhenti mengganggumu."
"Candaan apapun ini, hentikan," desis Eliana.
"Tak ada yang bercanda, Eliana."
"Kalau begitu berhenti bicara omong kosong. Aku mulai kesal."
"Apa yang aku dan Alec ucapkan adalah kenyataan!" sanggah Eliano bersungguh-sungguh. "Bukan bermaksud mengingatkan kejadian itu, tapi kau pasti mengingat mereka. Carvi, Elys, dan teman-temannya."
"Kejadian apa? Siapa Carvi? Siapa Elys? Siapa teman-temannya?" Raut Eliana berubah. Tatapannya berubah tajam dan ia bangkit berdiri. "Aku tidak suka gaya bercanda kalian!"
Eliana beranjak meninggalkan Eliano dan Alec yang terdiam di tempat. Ia melangkah pergi ke luar aula, hendak kembali ke istana.
"Eliana!" panggil Eliano cemas. "Kita belum berdansa!"
Tapi Eliana tidak peduli. Ia tetap melanjutkan langkahnya menjauh dari kedua kakak laki-lakinya, meninggalkan aula.
"Oh, tidak." Eliano bangkit berdiri. "Dia marah."
Merasa tidak mengerti, Alec ikut bangkit dan melangkah cepat menyusul adik bungsunya. Eliano mengekori di belakang Alec, kemudian menyamakan langkah mereka menjadi bersebelahan.
"Ini aneh sekali." Eliano berbicara pada dirinya sendiri, namun terdengar oleh Alec yang berjalan di sebelahnya. "Dia tidak mungkin lupa semua hal itu."
Tak jauh di depan mereka, Eliana terlihat berjalan menuju istana. Tidak seorang diri karena seorang ksatria pengawal pribadinya berjalan mengekori.
Ksatria itu langsung menunduk hormat melihat kedatangan Alec dan Eliano.
"Kau sudah boleh pergi." Eliano menganggukkan kepalanya seraya tersenyum tipis.
Kepergian ksatria itu membuat Eliana memutar tubuhnya. Matanya menyorot tajam Alec dan Eliano sambil bersidekap.
"Ingin meminta maaf atau menambah lelucon tidak lucu dan mengerjaiku lagi?" Eliana langsung melempar pertanyaan tajamnya.
"Kau tidak benar-benar marah pada kami, 'kan?" tanya Alec---yang sebenarnya lebih terdengar seperti pernyataan.
"Oh, kalian masih bertanya?" Eliana menyipitkan matanya sinis. Ia mundur menjauh tetapi Alec menahan lengannya.
"Situasi seperti ini bukan untuk bercanda," jawab Eliano. Ia ikut melangkah mendekati adiknya.
"Eliana, kau selalu tahu ketika aku sedang bicara serius atau bercanda." Alec menatap Eliana tajam. Membuat gadis itu tidak lagi punya keberanian untuk melawan. "Dan saat ini, kau seharusnya tidak berfikir kami sedang bercanda. Candaanku tak pernah untuk membuatmu marah. Kau harusnya sadar itu."
Eliana terdiam cukup lama. Tubuhnya mulai bergetar. Ia melepas cekalan Alec pada lengannya perlahan. Kemudian dengan gerakan lambat, ia melangkah mundur. Matanya memanas kala ketakutan menyergapnya dalam sekejap.
"Artinya cacatku ... semakin parah?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Eliana." Tatapan Alec meredup.
"Jadi sekarang aku juga harus ... kehilangan sedikit demi sedikit ingatanku?" Eliana tak lagi berbicara tajam. Tatapannya kini terlihat ketakutan. Ia berjongkok memeluk lutut. "Aku benar-benar cacat dan masih akan semakin cacat?"
Eliano di sebelahnya sudah tidak lagi mampu menahan emosi. Ia maju mendekati Eliana, kemudian berlutut menyamakan tingginya dengan gadis itu.
"Sudah kubilang aku tak suka mendengar kau menyebut dirimu cacat. Kau ingat, 'kan?!" ucap Eliano. Nada bicaranya dalam dan menyimpan amarah.
Eliana menggeleng berkali-kali. Ia menjawab dengan suara bergetar dan penuh ketakutan. "Aku rasa ... aku juga melupakan bagian itu." Air matanya mengalir dan ia mulai terisak.
Eliano menatap Eliana tidak percaya. Dalam hati mulai bertanya-tanya apa saja hal-hal penting yang hilang dari ingatannya.
"Eliana, lihat aku!"
"Jangan marah, kumohon." Eliana membenamkan wajahnya pada lipatan tangan. Suara yang keluar begitu lirih. "Maafkan sikapku yang buruk tadi."
"Aku tidak marah." Nada bicara Eliano melemah. "Aku tidak marah, jangan menangis."
"Aku tak tahu apa yang terjadi padaku." Eliana sesenggukan. "Saat kalian menyusulku tadi, bahkan aku harus mengingat-ingat kenapa aku pergi meninggalkan aula dan kenapa kalian harus menyusulku hingga terburu-buru begitu."
Eliano terkejut entah untuk yang keberapa kalinya. Ia langsung memeluk Eliana erat-erat. Diletakkannya kepala gadis itu di pundaknya kemudian mengelus surai hitam Eliana.
"Aku pikir aku membaik," isak Eliana. "Tapi---tapi---Aku tak mengerti apa yang terjadi."
"Tak apa-apa. Jangan dipikirkan." Eliano berusaha menenangkan saudarinya, tetapi ia juga kepayahan menenangkan diri. Ditatapnya Alec yang berdiri di depannya yang juga menatap dengan jenis sorot mata sama.
Mereka bertiga merasa ketakutan. Tetapi ketakutan Eliana adalah yang paling kelam dan menyakitkan, sedangkan ketakutan Alec dan Eliano bercampur amarah. Amarah yang bahkan tidak diketahui untuk alasan apa.
"Jika tidak kupikirkan ... aku malah akan lupa." Eliana memeluk kembarannya erat, masih sambil menumpahkan tangisannya. "Aku takut nanti aku malah melupakan kalian ... Ibu, Ayah ..."
"Kita selalu bersama. Tak ada yang akan kau lupakan." Eliano menepuk-nepuk punggung adiknya memberi kekuatan. "Kau pasti bisa melewatinya."
"Kenapa aku tak bisa menjangkau ayah?" Alec bergumam heran. Ia beralih menatap Eliano. "Tunggu sebentar."
Baru menjauh beberapa langkah melewati Eliano, Alec teringat sesuatu. Ia kembali berbalik.
"Eliano, bagaimana jika ..."
Dan ucapannya terputus kala melihat pundak Eliano yang dibalut pakaian kerajaan berwarna putih dirembesi cairan berwarna merah.
Ia langsung mendekat.
"Ada apa?" Eliano menoleh kebelakang. Tepatnya pada kepala Eliana yang bersandar di pundaknya. Seketika matanya melebar, langsung menyadari bahwa tubuh Eliana sudah melemas, tidak bertenaga. "Oh, tidak."
"Sihirnya tidak meledak. Tapi ... kenapa ..." Alec meraih wajah Eliana. Adiknya itu sudah tak lagi membuka matanya. Isakannya berhenti, tak ada lagi suara darinya. Alec menegang di tempat.
Eliana seperti tertidur, tapi dengan darah yang mengalir keluar dari hidung dan sudut bibirnya, darah yang sama dengan yang mengotori pakaian putih Eliano.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
the Castle
Fantasi[Fantasy-Siblinghood-(Minor)Romance] ||Follow sebelum membaca ya, guys. Terima kasih^_^|| _____ Vyradelle tidak tahu harus menyebut dirinya apa. Dia tinggal di sebuah kastel tua, hidup selayaknya tuan putri, tapi tak ada rakyat untuk dipimpin. Sendi...