Part 2. Sahabat

217 39 17
                                    

Assalamu'alaikum.
Salam Literasi 📚
Apa kabar semuanya? Semoga selalu dalam lindungan Allah ya, aamiin.
Kembali lagi dengan Afi 😉
Ada yang kangen nggak?😌
Oke, tanpa berlama-lama silakan nikmati cerita Afi.
Jangan lupa follow dan tekan bintang ya😄

.

Part 2. Sahabat
.
"Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia."
(QS. Fussilat 41: Ayat 34)
***

"Kalian nggak seharusnya kayak gitu tadi. Tau sendiri 'kan, aku nggak suka ada orang yang tau aku anak TNI. Lagian mereka nggak—" Ucapan Fidha dipotong tanpa permisi oleh Nadila.

"Nggak apa maksudnya? Aku udah gemes sama mereka yang selalu cari gara-gara sama kita. Kalau nggak ditekan kagak gini, meraka nggak akan diam," ujar Nadila tak terima.

"Aku setuju sama Nadila. Kalau kita nggak lawan mereka, mereka akan tetep nindas kita," sahut Rafli.

"Yang mereka bully 'kan cuma aku, kenapa jadi kalian yang emosi gini?" Fidha tak enak. Walaupun sudah bersahabat lama dengan Nadila dan Rafli, dia tetap tak enak jika terus melibatkan sahabatnya dalam setiap masalah.

"Kamu sama dengan kita. Kita tanpa kamu sama dengan minus. Kamu tanpa kita sama dengan kurang. Sadar nggak sih? Dari dulu, orang yang sangat berpengaruh dalam persahabatan kita adalah Fidha," ucap Nadila mulai mengeluarkan rumus kehidupan buatannya.

"Setuju. Hanya Fidha yang mau berteman tanpa tapi. Tanpa memandang kita orang miskin atau kaya, anak pejabat atau rakyat biasa, siswa cerdas atau enggak. Fidha selalu mengajarkan arti kesetiaan dan kesederhanaan di atas apapun," imbuh Rafli.

Fidha berkaca-kaca. "Udah dong, kalian mau buat aku nangis?" Dasarnya Fidha ini baperan, jadi hanya mendengar kata-kata seperti itu, dia terharu bukan main.

Nadila tersenyum dan memeluk sahabatnya. "Udah, ayok pulang."

"Katanya ayah dan bunda kamu mau ke Semarang?" tanya Rafli di sela-sela perjalanan menuju gerbang sekolah.

"Iya, Tsania juga mau ikut katanya," jawab Fidha.

"Kenapa kamu nggak ikut juga? Eh, Afif juga ikut?" tanya Nadila bingung.

Sepengetahuan Nadila, keluarga ayahnya Fidha ada di Semarang, sedangkan keluarga ibunya sudah tak ada. Ibu Fidha anak semata wayang, sanak saudara dari bapak dan ibunya sudah tak aja. Jadi, ketika ayah Fidha pulang dinas, mereka sekeluarga akan berkunjung ke Semarang.

Maklum, menjadi TNI itu tak bisa setiap bulan ada di rumah, maka ketika pulang dinas, keluarga Fidha selalu menyempatkan liburan ke kampung halaman sang ayah. Tak beda jauh dengan keluarga Nadila dan Rafli.

Terlebih Nadila dan Rafli adalah saudara sepupu, ayah mereka kakak beradik. Selain saudara sepupu, mereka juga saudara sepersusuan. Ibunya Rafli meninggal ketika melahirkan Rafli, membuat Rafli harus dititipkan pada ibu Nadila ketika sang ayah pergi dinas.

"Besok masih tryout. Aku nggak mungkin melewatkan itu. Lagian Afif juga nggak ikut, dia mau latihan silat untuk lomba Minggu depan," jawab Fidha.

"Ya udah, nanti malam aku temenin ya. Sekalian mau belajar bareng," tutur Nadila antusias.

"Boleh," jawab Fidha. Dia justru senang ada teman, karena biasanya Afif—sang adik—tidak akan mengganggunya ketika tau Fidha ada ulangan ataupun ujian semacam tryout seperti ini. Fidha paham, pasti sang adik tak ingin menganggu waktu belajarnya.

"Aku ikut," sela Rafli.

"Only girls," ucap Fidha dan Nadila serempak. Keduanya terkekeh melihat Rafli menunjukkan muka datar.

"Jemputan udah datang," ucap Rafli dingin. Dia memasuki mobil jemputan tanpa menghiraukan kedua gadis yang masih asik ngobrol.

Hingga bunyi klakson membuat kedua gadis itu terkejut dan bergegas memasuki mobil. Mobil itu adalah fasilitas dari ayah Nadila. Setiap hari, mereka bertiga akan diantar-jemput oleh supir pribadi sewaan ayah Nadila.

Suasana di mobil hening.

"Tumben sepi, lagi pada marahan ya?" tanya Pak Supri—sang supir.

"Yang cowok lagi ngambek," jawab Nadila sambil terkekeh.

Pak Supri ikut terkekeh. "Kalian ini ya, tiada hari tanpa berantem," komentarnya.

"Mereka yang mulai duluan, Pak," adu Rafli, bagaikan anak yang mengadu pada ayahnya.

"Udah, ihhh. Rafli sama Nadila emang susah akur. Rafli boleh ikut nginep di rumah aku kok, asal izin dulu ya. Dan nanti tidurnya sama Afif," ucap Fidha menengahi.

"Yes," sorak Rafli senang.

"Senang banget si Aden," timpal Pak Supri.

"Bosen di rumah, Pak," sahut Rafli terkekeh.

"Halah, bilang aja lo nanti kesepian karena gue nggak di rumah," cibir Nadila.

"PD banget, lo," hina Rafli.

Rafli dan Nadila memang tinggal di satu rumah. Ayah Nadila tak mengizinkan ayah Rafli pisah rumah. Selain itu, ayah Rafli juga takut Rafli kesepian dan menjadi pemurung, karena beliau jarang di rumah.

"Udah deh, kalian ini ya." Fidha geleng kepala jika Nadila dan Rafli sudah berantem seperti ini. Masalahnya sepele, tapi bisa sampai berjam-jam mereka beradu mulut. Fidha hanya kasihan pada ibu Nadila.

***

Matahari terbenam, malam datang menggantikan siang.

"Kita berangkat ya, Kak. Jaga rumah dan adikmu," ucap pria paruh baya pada putrinya.

"Siap, Yah. Ayah dan Bunda juga hati-hati," jawab Fidha mengangkat tangan kanannya seperti hormat pada saat upacara. "Tsania jangan nakal di sana," tutur Fidha pada adiknya kecilnya.

"Ishh, Tsania 'kan nggak pernah nakal. Yang nakal itu Mas Rafli, dia jahilin Tsania terus," ucap bocah berumur 7 tahun.

Muka Rafli memerah. Sedangkan yang lainnya tertawa.

"Nadila, Rafli, titip Fidha dan Afif ya. Jadilah teman yang saling mendukung dalam hal positif, kalau salah satu mulai lalai, ingatkan sama-sama," tutur bunda Fidha.

Nadila dan Rafli mengangguk.

"Kita berangkat dulu," pamit ayah Fidha. "Afif, jaga kakak dan adikmu," lanjutnya.

"Assalamu'alaikum." Fidha dan yang lainnya menyalimi bunda dan ayah Fidha takzim.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh."

Fidha menatap nanar kepergian ayah bundanya.

"Ayo masuk, Kak," ucap Afif pada kakaknya, namun, tak sahutan dari sang kakak. "Kak Fidha kenapa?" Afif bingung dengan sang kakak yang malah melamun.
"Kak," panggil Afif lagi.

Fidha tersentak. "Kenapa, Dek?"

"Harusnya Afif yang tanya gitu. Kak Fidha mikirin apa sampe melamun gitu?"

Fidha menggeleng. "Kakak nggak papa," jawabannya tersenyum tipis. Dia memasuki rumah meninggal Afif yang menatapnya bingung.

****

Fidha kenapa ya?😟
Kuy kuy, temukan jawaban di part selanjutnya 👇

Jangan lupa follow, vote, dan share jika cerita ini bermanfaat.

Kritik dan saran dari pembaca sangat aku tunggu😉
.

#salamjabo_writingmarathon
#challengemenulis3bulan

redaksisalam_ped

Salam Sayang,

Afi😘

Nathan untuk Fidha [Terbit]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon