Saran Hesti

48 17 53
                                    

Happy Reading, Dear!

.
.
.

"Kalau lo emang bener-bener ... anak pembawa sial."

Ucapan Alvi tak henti-hentinya berputar di ingatan Binar. Gadis itu berjalan tak tentu arah. Sejak kembali dari warung Mayem, Binar seolah tak memiliki gairah hidup.

Pandangannya kosong. Gerimis yang mendadak turun tidak dihiraukan olehnya sama sekali. Saat itu, Binar justru melangkah mendekati sebuah jembatan yang cukup sepi.

Ia mengedarkan matanya pada arus sungai yang terlihat deras. Kemudian, muncul senyum kecut di sudut bibir merah mudanya. "Aku ... pembawa sial?" gumamnya dengan napas tertahan.

Seluruh memori tentang peristiwa beberapa tahun yang lalu kembali bertebaran di kepalanya. Disusul setetes air mata yang jatuh karena tak lagi bisa Binar bendung.

"Bukan aku yang ingin Nada meninggal."

"Bukan aku yang ingin menjadi penyebab adik yang sangat kusayangi meninggal."

"Bukan aku yang ingin mendapatkan kemampuan istimewa ini."

Binar terisak. Ia menggigit bibir bagian bawahnya seraya mencengkeram tiang jembatan untuk meluapkan kesedihannya. Gadis itu tidak memedulikan beberapa orang yang berlalu lalang dan sibuk menatapnya heran.

Ia menghela napas kasar. Atensinya beralih ke langit yang saat ini tengah diselimuti awan cerah. "Bukan aku yang ingin semua itu terjadi. Tapi ... kenapa selalu aku yang disalahkan oleh mereka, Tuhan?"

Sudah beberapa tahun Binar lewati dengan makian karena tulisannya yang menjadi kenyataan. Banyak sekali yang menganggap gadis itu sedang berusaha untuk menyumpahi seseorang. Meski kerap kali ia sudah menjelaskannya, tak ada yang percaya dengan Binar.

"Aku tak pernah meminta takdir yang seperti ini. Apalagi kemampuan yang telah mengubah kehidupanku lebih buruk dari sebelumnya. Kenapa? Kenapa takdirku berbeda dari orang-orang?"

Binar semakin mengeratkan cengkeramannya. Ia menunduk dengan napas naik turun. Air matanya tak mau berhenti walaupun ia sudah mengusapnya sejak tadi.

Gadis itu melirik sekitar. Kemudian, setelah menyeka air matanya dan mengembuskan napas kasar, Binar naik ke pembatas jembatan. Arus sungai yang deras yang dihiraukannya lagi.

"Aku membenci diriku sendiri!"

Binar melepaskan pegangannya dari tiang dan berniat menceburkan dirinya di sana. Menurutnya, tenggelam lalu terbawa arus mungkin bisa membuatnya lupa akan seluruh cacian dalam sekejap.

Namun, untung saja sebelum tubuhnya benar-benar tercebur, seseorang tiba-tiba mencekal kedua pergelangan tangannya dengan erat. Napasnya bersahutan. "Nar!"

Ia menarik paksa Binar yang memberontak agar segera kembali ke pinggir jembatan. Tangis gadis itu semakin deras. Bahkan berulang kali berusaha melepaskan tangannya walaupun tak berhasil sama sekali.

Orang itu memegang kedua bahu Binar. "Nar! Apa maksud lo tadi? Lo mau bunuh diri, hah?"

Binar mendongak. Keterkejutan muncul di wajahnya begitu mendapati sosok yang telah menggagalkan aksi bunuh dirinya. Cakra. Dialah yang tiba-tiba saja menarik tangannya dengan kasar sebelum Binar benar-benar menjatuhkan dirinya ke sungai. Setelahnya, ia kembali terisak lebih keras. Mencurahkan seluruh isi hatinya.

"Aku emang mau bunuh diri? Apa yang salah? Seharusnya mereka senang jika aku melakukan ini. Bukankah sejak dulu hal ini memang menjadi impian mereka? Mereka ingin menyingkirkan aku! Haha, aku memang pembawa sial!"

Writing a Destiny (Completed) ✅Where stories live. Discover now