Celaka

78 18 57
                                    

Happy Reading, Dear!
.
.
.

"Kakak?"

Seorang cowok jangkung turun dari motor sport merah sembari melepas helm hitam yang dikenakannya. Ia melangkah pelan mendekati Binar yang saat ini tengah terheran-heran.

"Kak Cakra ngapain di sini?" tanya Binar saat Cakra sudah berdiri tepat di depannya. Cowok itu terkekeh seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Matanya menyapu tiap sudut perumahan tanpa menjawab pertanyaan Binar. Lampu-lampu sudah diredupkan. Tak ada kebisingan kendaraan yang berlalu lalang dengan bebas. Beberapa detik kemudian, atensinya beralih pada seorang gadis yang masih menunggu jawabannya. "Lo sendiri, ngapain di sini? Rumah lo di perumahan ini? Terus ngapain jam segini masih di luar rumah? Kabur lo ya?"

Binar menyelipkan sejumput rambut ke balik telinga. Keningnya sedikit berkerut karena merasa heran saat Cakra menanyakan banyak pertanyaan kepadanya. Dari yang ia tahu, Cakra bukanlah seseorang yang suka bicara. Itulah yang selama ini diketahui oleh seantero Yumahes. Namun, kenapa Cakra yang saat ini berdiri di depan Binar tampak ... berbeda?

"Iya, rumah aku di perumahan ini." Dari sekian pertanyaan yang diajukan oleh Cakra, Binar memilih menjawab salah satu di antaranya. Gadis itu mengeratkan hoodie saat angin malam terasa semakin menusuk kulit pucatnya.

Kepala Cakra terlihat mengangguk-angguk mengerti. Sayangnya, jawaban Binar yang sama sekali tidak memuaskan membuat cowok itu kembali bertanya, "Terus, kenapa lo masih di luar? Udah malem, sendirian, pake hoodie lagi. Lo beneran mau kabur dari rumah?"

Dengan menghalau suhu yang semakin dingin, Binar berusaha menjawab pertanyaan itu. "Hari ini Kak Alvi mau balapan. Aku mau ke sana."

Jawaban itu terlihat memengaruhi Cakra. Terbukti dengan keramahtamahan Cakra yang mendadak hilang. Wajahnya kembali datar seperti sebelum-sebelumnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Balapan Alvi, ya. Ngapain lo ke sana? Emang lo pacarnya sekarang?" tanya Cakra tanpa menatap mata Binar. Dadanya kembang kempis entah karena apa.

"Mustahil."

Cakra kembali menoleh dan mengernyitkan dahi. Seutas senyuman menghiasi bibir tebalnya. Rasa sesak yang menyusup di dadanya mendadak hilang. "Kok bisa?"

"Aku hanya mau membantunya. Aku yakin Kakak tahu rumor yang selama ini ada di Yumahes tentang aku. Ya, itu saja. Tidak ada hubungan atau rasa apapun yang terjalin antara aku dan Kak Alvi," tutur Binar tanpa ekspresi. Disusul oleh senyum lebar yang diberikan Cakra sebagai respons atas penjelasan Binar.

Setelah menghela napas, gadis itu menatap Cakra lamat-lamat seraya berucap, "Ya sudah. Aku duluan, ya, Kak. Permisi."

"Tunggu. Gue anterin aja, ya?"

***

Binar turun dari motor Cakra sambil menyapu suasana arena balap. Tempat itu dipenuhi cowok-cowok beranting perak serta cewek berpakaian serba minim. Deruman motor terdengar bersahutan dari setiap sisi. Tak hanya itu, terlihat barisan obor yang dipasang di samping jalan sebagai penerangan.

Binar menoleh dan menatap Cakra intens. Wajah gadis itu terlihat ragu untuk mendekat pada kumpulan anak berandal di sekitarnya. Hoodie yang dikenakannya, cukup membuat beberapa pasang mata terpusat pada Binar.

Seolah mengerti kegelisahan Binar, Cakra tersenyum tipis. Ia menatap satu per satu cowok yang terlihat ingin mendekat. "Kalau gak yakin, mending pulang aja," cetus Cakra sembari terkekeh.

Binar sontak menggeleng. Tak ingin kesempatan emas untuk membantu Alvi justru terbuang sia-sia. Ia bahkan rela untuk keluar malam. Gadis itu kembali memalingkan wajahnya. Beberapa cowok berandal menatapnya sambil bersiul. Binar harus menahan kerisihannya demi membantu Alvi.

Writing a Destiny (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang