Pengakuan

32 9 0
                                    

Happy reading, Dear!

.
.
.

Binar melengos begitu Alvi menarik tangannya. Keduanya berada di taman belakang yang saat itu terlihat sepi. Sesekali terdengar kicauan burung atau angin yang berembus dengan kencang.

Alvi mengulum senyum. “Lo marah kenapa, sih?” tanyanya sembari menahan tawa.

Tak ada sahutan. Binar tetap diam dengan kerutan yang tampak jelas di keningnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Gadis itu memekik pelan tatkala merasakan tarikan di tangannya seiring dengan tubuhnya yang terduduk di kursi panjang.

“Kok lo marah? Bukannya kita udah berhasil nahan dia buat nggak nemuin cewek itu?” tanya Alvi lagi. Ia terkekeh pelan sebelum menyugar rambutnya yang berantakan ke belakang.

Binar menoleh dengan cepat. Ia mendengkus begitu mengetahui Alvi menaik-naikkan kedua alisnya. Namun, Binar membetulkan ucapan Alvi dalam hatinya. Misinya sudah berhasil. Sehingga tidak ada alasan apa pun untuknya marah. Lalu, kenapa ia merasa sangat kesal sekarang?

Mulutnya bungkam sesaat. Kemudian pandangannya beralih pada rerumputan di hadapannya. “Aku ... cuma nggak mau Kakak ribut. Iya gitu,” balas Binar gelagapan.

“Udah biasa. Tawuran juga gue pernah. Tapi gue tetep baik-baik aja tuh,” cetus Alvi tanpa bisa menyembunyikan senyum di bibirnya. Ia tahu betul bahwa saat ini Binar mungkin sedang mengkhawatirkannya. Hal itulah yang membuat Alvi benar-benar bahagia. Cowok itu tak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk menggoda Binar.

Setelahnya, Binar menggigit bibirnya pelan. Ia berdecak sebelum berucap, “Iya! Aku khawatir. Nanti cewek itu selamat, tapi Kakak malah enggak. Nggak lucu, 'kan, kalau gitu.”

Alvi tergelak. Ia merangkum wajah Binar yang saat ini bersemu merah. Namun, tawa Alvi justru membuat luka di sudut bibirnya kembali perih. Cowok itu berdesis pelan seraya menyeka darah yang kembali mengalir dari lukanya.

Binar yang sebelumnya ingin segera pergi dari sana melupakan niatnya. Gadis itu sontak memfokuskan atensinya pada bibir Alvi. Ia bergedik ngeri sambil meringis seolah dirinya yang tengah berada di posisi Alvi.

Ia merogoh saku lalu mengambil sapu tangan berwarna merah hati. Kemudian, tanpa berkata apa pun, gadis itu mendekat ke bibir Alvi dan menyeka darah yang mengalir di sana. Sesekali Binar meniup luka itu.

Alvi berteriak begitu Binar tidak sengaja menekan lukanya dengan kuat. Ia mengipasi lukanya dengan tangan agar rasa sakitnya semakin berkurang. Walaupun kenyataannya tak ada reaksi apa pun yang terjadi setelahnya.

“Makanya! Siapa suruh berantem. Padahal, aku tadi nggak nyuruh Kakak berantem, 'kan?” sindir Binar seraya meniup luka Alvi.

Alvi terkekeh. Kepedulian Binar semakin membuat hatinya berbunga-bunga. “Nggak papa. Gue udah biasa. Yang istimewa sekarang tuh … lo mulai peduli sama gue.”

Tanpa sadar, wajah keduanya kini sangat dekat. Pandangan mereka tertaut satu sama lain. Napas Binar tertahan tatkala manik mata Alvi menyorot penuh kepadanya. Degup jantungnya semakin bertalu keras.

Untung saja, tak lama kemudian Binar mengerjapkan netra. Lalu dengan gerakan kilat ia menjauhkan wajahnya. Gadis itu memalingkan pandangannya ke arah lain. Berada dalam satu tempat dengan Alvi benar-benar membuatnya hilang akal.

Writing a Destiny (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang