03. Bangsal Tempatnya Mengadu

238 31 115
                                    

Denting jam baru menunjukkan pukul empat sore, namun langit sudah mulai menggelap. Salah satu faktor langit yang gelap adalah hujan yang sangat deras, tetapi derasnya hujan bisa pula diartikan sebagai kesedihan yang mendalam.

Ruangan rawat inap yang terkesan gelap menjadi tempat bagi si anak Adam yang kini tengah dirundung muram. Tidak terpikirkan olehnya niat untuk menyalakan lampu, karena benaknya dikuasai oleh banyak hal. Perasaan sedih, marah, kalut, sesal, juga harapan yang hampir memudar tercetak jelas pada raut wajahnya.

Tanendra, laki-laki yang kini harus terbaring di ranjang putih dinginnya sedari tadi hanya bisa menatap langit-langit, sembari memutar memori tentang kejadian-kejadian yang telah lalu.

"Natalia," panggilnya. "Gue gak bohong kalau gue kangen lo."

Sering kali Tanendra dirutuki perasaan menyesal. Ingin sekali rasanya berbagi cerita kepada sang gadis. Tentang kuliahnya, kesehariannya, atau mungkin... penyakitnya.

Tanendra tahu, cepat atau lambat pasti Natalia akan mengetahui semuanya. Hanya saja, ia terlalu takut dan tidak ingin menambahkan beban pikiran Natalia. Apalagi, saat ini gadisnya sudah menginjak kelas akhir, yang artinya ia harus fokus dengan ujian-ujian.

Lelaki itu beranjak turun dari ranjangnya perlahan dan berjalan menuju kamar mandi. Dipandanginya lekat-lekat setiap inci bagian wajahnya di depan cermin.

Berbeda, tidak lagi sama seperti dulu. Ia bukan lagi Tanendra yang bisa sebebas ombak samudra, bukan juga Tanendra yang pertahanannya kokoh bagaikan benteng militer.

Karena nyatanya, lelaki itu telah hancur sehancur-hancurnya.

Tanendra masih ingat bagaimana dulu sorot matanya mampu menyiratkan keyakinan untuk Natalia agar gadis itu tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan berani melanjutkan hidup. Namun, sekarang hanya ada mata yang semakin memerah dan tatapan kosong.

Kemudian, wajahnya. Tanendra sadar betul, kini wajahnya terlihat lebih pucat akibat kondisi tubuhnya yang juga semakin menurun. Sekaligus menjadi saksi bahwa lelaki itu lelah karena harus menenggak berbutir-butir pil yang dipercaya bisa membantu memulihkan keadaannya.






"Obat tidur lo gue buang ya kalau minumnya kebanyakan?"






Perlahan, Tanendra tersenyum getir dan tertawa dalam kesendiriannya. Bisa-bisanya ia dengan percaya diri mengatakan kalimat itu kepada Natalia saat hari kelulusan, sementara akhir-akhir ini ia sendiri juga sering menenggak pil tidur, bahkan hingga sepuluh butir.

Obat tidur, obat penenang, rokok, dan alkohol selalu menjadi pelampiasan apabila Tanendra merasa sedih dan kalut. Padahal ia tahu, keempat hal itu akan berdampak buruk bagi kesehatannya.

Pertemuan di bawah terminal adalah saksi bisunya. Tanendra pernah berkata kepada Natalia bahwa ia masih mampu untuk melawan masalah-masalahnya.

Walaupun pikiran itu akan tetap ada. Tidur, dan berharap tidak akan bangun lagi.

Rasanya, ingin mati.

Terlalu banyak hal yang lelaki itu ingat dalam hidupnya. Salah satunya adalah ketika ia mencoba untuk menghubungi ibunya. Namun, hal yang ia dengar hanyalah ayah dan ibunya yang kembali bertengkar hingga kata perceraian yang dilontarkan sang ayah. Tanendra mendengar semuanya.

Yang kedua, tepat setelah kepulangannya dari acara kelulusan, detak jantung Tanendra terasa sangat cepat sehingga menimbulkan rasa sakit dan sesak pada dadanya. Sempat terpikirkan olehnya jika ia hanya kelelahan dan butuh sedikit istirahat. Namun, ternyata rasa sakitnya berlangsung selama berhari-hari sehingga Tanendra harus memeriksakan diri ke rumah sakit. Dunianya seakan runtuh setelah dokter mendiagnosa bahwa jantungnya mengalami kerusakan.

ReaksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang