19. Konversasi Hujan

82 10 73
                                    

Sepertinya, Dewi Fortuna belum berpihak terhadap kelancaran rencana yang Tanendra buat. Sebab hari ini, sedari pukul setengah tiga sore hingga jarum jam hampir menunjukkan pukul tujuh malam, hujan deras kian menerjang bentala, bahkan tak kunjung mencapai titik reda.

Di antara bisingnya alunan rinai yang bercumbu dengan tanah, ada pula dua insan yang tengah bertukar konversasi meski terhalang perbedaan lokasi.

"Padahal gue mau ngajak lo jalan, sebel. Lo sebel gak sih, Tal?"

Mendengar gerutuan kekasihnya, Natalia tertawa kecil di balik benda pipih yang ia genggam. "Gak juga, ah. Justru aku suka suasana pas hujan-hujan begini. Bikin nyaman!"

"Ya tapi 'kan—"

"Shhh..." Natalia mencoba meredam kekesalan Tanendra yang baru saja ingin meneruskan racauannya. "Bad mood-nya udahan dulu, dong. Gapapa, kita ngalah dulu untuk hari ini. 'Kan kemarin-kemarin udah dikasih panas, sekarang gantian Tuhan ngirim hujan."

"Iya juga, sih, kata-kata lo ada benernya. Mungkin, hari ini Tuhan nurunin hujan biar kita bisa fokus istirahat di rumah."

"That's it. Lagipula, hujan hari ini bakal berguna buat orang-orang yang mau panen atau melihara tanaman. Jalan sama aku masih bisa lain kali, Kak. Kita masih bisa ngobrol gini walaupun dari jauh. Jadi, bersyukur dulu, yuk?"

Selanjutnya, terdengar kekehan hangat dari seberang sana.

"Lo tau gak? Telfonan sama lo kayak gini termasuk salah satu hal yang paling gue suka."

Jika Tanendra mulai menuturkan kata-kata sederhana penuh makna afeksi, biasanya Natalia tidak akan sanggup menampung semburat merah yang menghiasi wajahnya. Berbeda dengan hari ini.

"Kenapa suka?"

"Karena setiap gue telfonan sama lo, apa pun keadaannya, your simple words never fail to calm me down. Sometimes, lo mau mencoba memandang sesuatu dari sisi positif, maybe that's one of your strength. Sekarang gue udah gak kesel lagi, dan itu berkat lo. Makasih banyak, ya?"

Mengetahui mood Tanendra yang perlahan membaik karenanya, seharusnya perasaan Natalia sedikit melega. Nyatanya tidak, justru sesak dan nelangsa berangsur menyerang tubuhnya.

"Lo sendiri gimana? Ada yang mau diceritain?"

Tidak. Tidak sama sekali. Natalia pikir, Tanendra sudah terlalu sering meminjamkan bahu untuk memikul lara, sementara lelaki itu sendiri masih berproses dalam penyembuhan luka. Tanendra tidak perlu tahu apa yang ia rasakan.

"I know you."

"Maksudnya?"

"You have been crying before, right?"

"No."

"Suara lo, respon lo, helaan nafas lo. Gue tau, Tal."

Sepertinya, Natalia melupakan sesuatu. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Natalia mampu menutupi kesedihan dan kekacauannya dari orang lain, tetapi tidak dengan Tanendra. Tanendra begitu lihai mendeteksi dan tidak akan membiarkan gadisnya menanggung semua masalahnya sendiri.

"Kak," panggilnya, nada suaranya sedikit bergetar. "Kalau aku mati, apa Kak Tanendra bakal sedih?"

Sedetik kemudian, Natalia menyumpah-serapahi mulutnya yang minim kendali. Ia tidak siap dengan respon yang akan Tanendra layangkan.

"Tal, ayo cerita-cerita lagi, gue di sini dengerin lo! Kita udah janji mau bareng-bareng terus, 'kan?"

Nada bicara Tanendra terdengar amat khawatir, tetapi Natalia takut. Begitu lama ia menyembunyikan perasaan-perasaan ingin mati yang kerap menghantui. Sekarang, Tanendra mengetahuinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ReaksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang