18. Pertemuan Baik

56 12 41
                                    

Pagi-pagi sekali bahkan sebelum binar terpancar dari arunika penuh adiwarna, Tanendra dikejutkan oleh kedatangan Jeffrey yang sangat tiba-tiba. Bukannya marah karena harus terbangun paksa dari tidur lelapnya, senyum cerah justru terpatri pada paras lelaki berhidung mancung itu.

"Lo dateng gak bilang-bilang dulu, Jeff," sambut Tanendra, masih dengan suara khas bangun tidur. Sementara yang diajak bicara hanya terkekeh menanggapi. "Gue sempet nanya Ayah kapan lo pulangnya. Ternyata pagi ini, tau gitu dari kemarin-kemarin aja gue jenguk lo."

"Santai. Natalia juga sempet cerita kalau lo mau ketemu gue, tapi lo belum siap," jelasnya to the point. Detik berikutnya, ia sadar betul jika lawan bicaranya langsung membalas tatap secara gamang beserta manik kembarnya yang melebar.

"Belum... siap?"

"Iya, gitu lah pokoknya," potong Tanendra cepat. "Ya udah sini, lo mau berdiri di situ aja? Nanti kalau ada suster mau masuk biar lo tahan pintunya."

Tersadar jika sedari tadi dirinya masih berdiri di ambang pintu, Jeffrey segera menutup pintu ruangan tersebut dan beranjak dari sana. Kakinya berangsur mendekati ranjang putih yang Tanendra tempati.

"Gimana keadaan lo?"

"Harusnya gue yang nanya gitu, Kak," sanggah Jeffrey. "Tentang kesehatan lo, ada masalah yang cukup serius gak?"

"Ya... gak tau?" Tanendra menjawab skeptis. "Terakhir check up, dokter bilang kondisi gue semakin memburuk walaupun gue gak tau udah separah apa. Di posisi itu rasanya nano-nano, Jeff. Capek, sedih, mau marah, dan hopeless nyampur jadi satu. But, I must be thankful to God because I can survive until this moment. Gue merasa jauh lebih baik sekarang."

Jeffrey iba sekaligus bangga mendengar jawaban yang alumnusnya lontarkan. Tidak dapat terbayang bagaimana sulitnya Tanendra yang selalu berusaha tangguh tatkala semesta tidak berpihak kepadanya. Tanendra lebih dari apa yang selama ini hanya bisa ia lihat dari sisi luar.

"Kak," panggilnya. "Pertama-tama, gue mau bilang makasih sama lo. Berhadapan sama penyakit serius bukan perkara gampang, tapi lo gak terus-terusan terpuruk dan akhirnya lo berhasil bertahan sejauh ini. Gue bangga banget sama lo. Lo keren, gak salah gue jadiin lo role model gue."

Tanendra tertawa pelan. "Kenapa role model? Gue bahkan gak pernah berkontribusi apa-apa."

"Kata siapa?" tanya Jeffrey balik. "Mungkin lo merasa gak pernah lakuin hal yang besar, tapi bukan itu poinnya. Gue emang gak pernah kenal lo secara intim—bahkan baru sekarang gue berani deep talk ala-ala sama lo. Tapi yang selama ini gue perhatiin, lo selalu memperlakukan orang-orang di sekitar lo dengan baik. Lo selalu nawarin bantuan untuk orang lain walaupun itu artinya harus mengorbankan waktu dan tenaga lo. Sampai suatu hari, Ayah cerita tentang pasiennya dan itu lo, gue bingung harus apa. Gue mau lo sembuh karena lo berhak bahagia lebih lama. Jadi, gue minta tolong ke Ayah buat berusaha semaksimal mungkin demi kesembuhan lo. Dan, kesan pertama lo sama dia baik, ya?"

Jeffrey menyelesaikan kalimatnya seraya menunggu respon Tanendra. Namun, keheningan memilih singgah di ruangan dingin dominan putih dan biru yang kini mereka isi. Jauh di dalam lubuk hatinya, Tanendra tidak tahu harus bersikap bagaimana. Semua pernyataan yang Jeffrey tumpahkan terasa sangat nyata baginya.

"Jeff, gue yang harusnya berterima kasih di sini," ujarnya. "Gue gak tau harus bales kebaikan lo dengan cara apa. Dokter Jaffar dan lo sama-sama punya pengaruh besar dalam mempertahankan nyawa seseorang. Selama ini ayah lo udah berusaha keras buat kesembuhan gue, sekarang tinggal gimana cara gue jaga kondisi. Kemauan gue untuk sembuh besar banget, banyak hal yang mau gue lakuin setelah sembuh nanti. Sekali lagi makasih, Jeff. Gue bersyukur bisa kenal lo, tapi kenapa gak dari dulu?"

ReaksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang