(13)

2.6K 433 58
                                    

"Berhenti bersikap sesuka hati atau Kakak akan kehilangan calon anak kita." Gue narik paksa tangan Kak Rendra dari lengan gue.

Sebelum Iky semakin membenci Kak Rendra, gue yang harus lebih dulu mengingatkan Kak Rendra untuk sikapnya, walaupun rasanya percuma dan gue sendiri udah bosen ngomongin hal yang sama, gue gak punya pilihan lain.

"Maksud kamu apa? Kamu jangan aneh-aneh, jangan gila Ay." Bentak Kak Rendra emosi, apa reaksinya Kak Rendra sekarang karena setidaknya dia masih punya rasa takut kehilangan anaknya?

"Bukannya yang gila itu Kakak?" Yang gila disini sebenernya siapa? Apa Kak Rendra pikir gue bisa bertahan lebih lama lagi dengan sikapnya sekarang? Apa Kak Rendra masih belum sadar dengan perubahan sikap Iky?

"Lagian Aya gak harus gila dulu seperti yang Kakak mau cuma untuk bisa bersikap aneh-aneh, karena sikap Kakak sekarang aja udah cukup bikin Aya stres tahu gak?" Pinter-pinter Kak Rendra mikir, bumil kalau stres efeknya bisa sampai gimana?

"Kamu ngancem Kakak?" Apa ini terdengar seperti ancaman? Kalau itu yang di artiin sama Kak Rendra yaudah gak masalah, gue gak peduli.

"Kalau itu anggapan Kakak juga gak papa, cuma yang pasti, penyesalan itu selalu dateng belakangan, itu yang selalu Kakak ingetin ke Aya dulu." Ini beneran terakhir kalinya, setelah ini, jangan harap gue akan ngasih peringatan apapun lagi.

"Jadi semuanya sekarang terserah, Aya udah gak peduli, mau kaya gimana tar kedepannya juga jadi." Gue keluar dari kamar dengan membanting pintu cukup keras.

Hidup hidup, kenapa hidup gue begini amat? Udah di tinggalin pacar yang selama ini gue perjuangin mati-matian, gue malah berkahir dengan laki-laki pengecut yang gak pernah gue sangka.

"Ay, ka_

"Apa?" Bentak gue nepis tangan Kak Rendra yang berniat narik tangan gue balik masuk ke kamar.

"Aya diem bukan berarti Aya gak bisa ngebentak Kakak balik, disini juga bukan salah Aya jadi atas dasar apa Aya harus nanggung semua kemarahan Kakak?" Tanya gue mengusap wajah gue kasar.

"Denger ya Kak, Kakak juga gak sepenting itu, apa cuma masa depan Kakak yang hancur? Terus masa depan Aya apa kabar? Apa cuma Kakak yang luka? Aya luka bahkan rugi sekaligus."

Kalau gue pikir sekilas, masa depan Kak Rendra juga gak sepenuhnya hancur, Kak Renda bisa bebas kalau dia mau ninggalin gue, gue juga gak akan nahan Kak Rendra cuma karena anak.

Yang hancur dan rugi banyak itu gue, gue yang jadi bahan omongan orang, gue yang nanggung semua rasa malu bahkan rasa sakit gue sendirian, gue bertahan karena gue bisa ngurus hidup gue sendiri jadi jangan nguji kesabaran gue lebih jauh lagi.

"Kalau ada orang yang paling marah dengan keadaan sekarang itu harusnya Aya, jangan pikir Aya akan nahan Kakak pergi cuma karena anak yang Aya kandung sekarang, Aya gak pernah minta pertanggungjawaban apapun." Gue udah sangat memperjelas kesempatan yang gue kasih buat Kak Rendra.

"Ah atau Kakak mau bilang ini semua karena Kakak gak mau anak Kakak dirawat orang lain? Jangan ngegunain alasan bodoh kaya gitu cuma untuk sikap pengecut Kakak." Karena kalau seandainya gue pisah sama Kak Rendra, gue juga gak berencana nyari Ayah baru untuk anak gue nanti.

"Jadi sekarang, bisa minggir? Aya empet ngeliat muka Kakak."

.
.
.

"Nda, Aya berangkat sekarang, takut telat soalnya." Gue nyalim ke Bunda sembari menenteng sepatu gue.

"Kalian barengkan?" Tanya Bunda melirik Kak Rendra yang berdiri tepat dibelakang gue, gue langsung mengangguk cepat sebelum Kak Rendra, gue menggandeng lengan Kak Rendra terpaksa dan keluar dari rumah gitu aja.

"Kamu gila? Kapan Kakak bilang mau nganter ka__"

"Aya berangkat." Begitu diluar, gue melepas gandengan gue di lengan Kak Rendra dan berjalan santai ke halte bus, gue juga gak beneran serius mau nebeng dia.

Mengeluarkan handphone dan earphone, menikmati aliran musik, gue duduk manis di kursi sembari memandang keluar jalan, gue udah gak mau nyakitin perasaan gue sendiri lagi, gue gak mau mikirin hal yang gak penting.

"Ay." Gue yang awalnya masih fokus memandang keluar jalan, mengalihkan perhatiannya gue begitu ada laki-laki yang duduk tepat disamping gue.

"Mas ngapain? Mas gak kerja? Kenapa naik bus?" Tanya gue melepaskan sebelah earphone gue.

"Bukannya udah telat kamu nanya itu sama Mas? Mas bahkan udah ngikutin kamu mulai dari pagar rumah." Mas Galang gila juga ternyata.

"Jadi Mas mau ngapain? Gak kerja? Terus mobil?" Tanya gue menatap Mas Galang kehabisan kata.

"Mas parkir didepan rumah kamu, Mas cuma khawatir, mastiin kamu sampai ke kampus dengan aman, setelahnya Mas berangkat kerja." Gue mengangguk pelan dan kembali make earphone gue, gue larang juga percuma.

Sebisa mungkin gue mengalihkan perhatian gue kearah luar jalan dan menghindari kontak mata dengan Mas Galang, bukan gue gak suka sama sikap Mas Galang tapi gue gak mau Mas Galang berharap apapun.

Suasana hening sampai kita berdua turun tepat di depan halte kampus gue, gue tersenyum ke Mas Galang dan berniat pamitan karena mau langsung masuk ke kelas tapi Mas Galang yang masih ngikutin langkah gue juga ngebuat gue nahan nafas.

Pasalnya, dikampus hampir semua orang tahu gue udah nikah dan gara-gara kejadian waktu Kak Rendra sama Mas Galang juga berantem, tatapan orang begitu ngeliat Mas Galang ngikutin langkah gue juga makin gak enak.

"Mas ngapain masih ngikutin? Mas gak kerja? Ini Aya udah di kampus jadi Mas harus khawatir kenapa lagi?" Tanya gue masih berusaha menyunggingkan senyuman gue.

"Kamu baik?" Gue tanya malah ditanya balik.

"Aya baik, Mas liatkan? Aya beneran baik." Gue menegakkan tubuh gue didepan Mas Galang sekarang, gue beneran baik.

"Apa kamu beneran baik? Setelah denger semua ucapan orang-orang sepanjang koridor tadi? Apa ini alasan kamu selalu pake earphone?" Tanya Mas Galang tersenyum sinis.

Hah! Mas Galang yang jarang ketemu gue aja bahkan bisa nebak dengan jelas alasan gue, bukan gue gak bisa denger omongan orang-orang tapi gue udah gak mau terluka untuk alasan apapun lagi, omongan mereka cuma bikin sakit hati kalau diladenin.

"Kamu gak berniat pindah kampus?" Gue menggeleng pelan, kenapa harus pindah? Semua bakalan sama menurut gue, gak akan ada yang berubah.

"Kamu ngebuat Mas khawatir Ay." Lirih Mas Galang menatap nanar gue, gue ikut menghembuskan nafas berat dengan tatapan Mas Galang sekarang.

"Mas! Mas pulang dulu, Aya punya kelas, nanti kita bicara." Mengabaikan penolakan dari Mas Galang, gue tetap berjalan lurus masuk ke kelas gue.

"Ay, nanti Mas jemput." Ucap Mas Galang nyusulin gue.

"Mas, Aya bisa pu__"

"Aya pulang bareng gue, gue suaminya."

In My World (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang