(31)

2.5K 451 42
                                    

"Turun makan tapi sambil merhatiin muka Kakak, bukannya itu yang kamu lakuin dikamar dulu?" Hah? Kak Rendra juga tahu?

Gue mengkaku ditempat dengan tangan mulai meremet kaos yang gue pake sekarang, pertanyaan Kak Rendra serasa tamparan bahkan pukulan keras untuk harga diri gue, lagi-lagi gue kalah telak kalau menyangkut Kak Rendra.

"Kenapa diem? Sebegitu banyakkah vitamin dimuka Kakak sampai bisa bikin kamu langsung selera makan?" Gila pertanyaan? Harga dirinya ketinggian ini mah, malunya udah gak ada.

"Heum heum heum, sok tahu, kemarin itu cuma karena lagi males makan sendirian aja, mau Aya bangunin tapi gak tega, Aya itu baik makanya jangan kepedean jadi orang." Elak gue, malunya ya Subhanallah kalau lagi kaya gini, muka gue mau gue bawa kemana?

"Sejak kapan kamu bisa males makan sendirian? Bukannya rame atau sendiri gak ada bedanya untuk kamu?"

"Tapi kalaupun iya kamu males makan sendiri, Iky kan ada di kamar waktu itu, kemana gak kamu ajak turun?" Ya ya gue mau ngasih alasan apa lagi?

"Kan gak tega Kak, Iky lagi tidur juga masa Aya bangunin cuma buat nemenin makan, gak lucu dong." Gue tertawa cengengesan sedangkan Kak Rendra masih menatap gue dengan tatapan yang sama.

"Masih mau ngelak? Kenapa kamu gak bilang takut hantu sekalian? Masih lebih masuk akal ketimbang alasan yang barusan." Gue memanyunkan bibir gue dengan sindiran Kak Rendra.

"Sejak kapan Ay__"

"Oh kamu gak takut hantukan ya? Kamukan cuma takut gelap tapi waktu itu gak mati lampu, terus___"

"Iya udah Aya ngaku, memang Aya waktu itu mau makan sambilan merhatiin muka Kakak, puas?" Kak Rendra bener-bener.

Menatap Kak Rendra kesal, gue keluar dari kamar Iky dengan membanting pintu cukup keras, iya kali Kak Rendra tegaan banget, udah tahu dari awal gue makan sambil nangis cuma buat merhatiin mukanya dia tapi bisa-bisanya diledekin terus.

"Hati batu." Gumam gue kesal, gak pengertian, gak pekaan, gak gak nya banyak.

"Dosa nyumpahin suami, doa istri manjur." Cicit Kak Rendra menertawakan gue, gila tu orang, kelakuannya dari dulu gak pernah berubah, sekalinya tahu gue salah, diledekinnya bisa sampai seumur hidup.

"Bisa diem gak? Berisik." Kesal gue mempercepat langkah gue nurunin tangga.

"Ay! Mas bu__"

"Astagfirullah." Kaget gue hampir aja kepleset kalau gak ada Kak Rendra yang nahan gue dari belakang.

"Lo gila?" Bentak Kak Rendra ke Mas Galang.

"Kamu gak papa Ay? Mas gak sengaja." Tanya Mas Galang ikut kaget berniat membantu gue bangun, lagian Mas Galang mau apalagi coba?

"Jangan sentuh milik gue." Kak Rendra nepis tangan Mas Galang dan membantu gue berdiri, menggandeng lengan gue turun dan mengabaikan Mas Galang yang mulai menatap Kak Rendra penuh amarah.

"Kamu gak papa Ay? Ada yang sakit?" Tanya Kak Rendra memastikan, gue mengangguk pelan.

"Kamu yakin?" Raut wajah Kak Rendra beneran khawatir.

"Aya baik, udah ayo makan, duduk manis didepan Aya sesuai ucapan Kakak tadi." Gue berbalik menggandeng lengan Kak Rendra sembari menyunggingkan senyuman gue.

Kalau untuk masalah Mas Galang, nanti gue bicarain baik-baik lebih dulu sama Kak Rendra, gue nunggu suasana tenang dulu baru gue bahas, yang pasti bukan sekarang.

"Kenapa Mas?" Tanya Iky menatap gue karena gak kunjung mendapatkan jawaban dari Kakak iparnya.

"Ketemu Mas Galang ditangga barusan." Cicit gue dan minta Iky untuk diem, gak usah diperpanjang.

"Pantes suram." Cicit Iky menggelengkan kepalanya.

.
.
.

"Dia nginep?" Tanya Kak Rendra yang baru aja keluar dari kamar mandi.

"Dia? Dia siapa?" Tanya gue bingung, yang nginep dirumah kan gak satu orang doang.

"Galang." Gue mengerutkan kening gue menatap Kak Rendra, apa masih dipikirin masalah tadi di tangga?

"Harusnya nginep, Tante sama Om masih disini, cuma Dinda sama Mas Bintang yang udah pulang, memang kenapa?" Tanya gue memastikan.

"Gak papa cuma harus lebih waspada aja, tikungan banyak, entah dari kubu sahabat sendiri atau bisa jadi dari kubu keluarga sendiri." Ini Kak Rendra lagi nyindir atau gimana? Kenapa bahasanya makin hari makin belibet?

"Kakak harus waspada kenapa? Corona? Kan gak keluar rumah, ka__"

"Susah ngomong sama anak kecil, umur doang yang tua tapi pemikiran masih lurus banget." Ini ngatain guekan ya?

"Kakak ngatain Aya?" Gue mengedipkan mata berkali-kali nunggu jawaban.

"Bagus kalau kamu ngerasa." Ish, tangan gue siap melayang ke kepala Kak Rendra kalau gak lebih dulu ditahan.

"Untuk sekarang, jauhi Reihan atau Galang, gak ada satupun dari mereka berdua yang bisa Kakak percaya, gak ada satupun dari mereka yang berniat tulus." Dan sekarang gue ngerti arah maksud ucapan Kak Rendra.

"Mungkin mudah untuk menjauh dari Kak Reihan tapi gimana caranya menghindar dari Mas Galang?" Lagi-lagi kata keluarga yang seakan memperkeruh keadaan, gue sama Mas Galang gak mungkin bersikap seolah kami berdua gak kenal satu sama lain.

"Gak perlu menghindar hanya jangan meladeni ucapan manisnya, kamu kan gampang banget di bujuk." Apa sekarang Kak Rendra ngatain gue lagi? Wah kebangetan.

"Kakak ngajak Aya ribut sekarang?" Ribut yaudah ribut sekalian, kuping gue panas dengerin omongan sama sindiran Kak Rendra dari tadi.

"Gak usah sensi tapi belajar dari ucapan Kakak, ada beberapa sifat baik kamu yang akan menjadi boomerang kalau salah tempat kamu pergunakan." Kak Rendra melempar handuk basahnya ke gue dan langsung berbaring di ranjang dengan santainya.

"Jangan cuma bisa protes tapi kasih solusi sekalian, Kakak kalau ngomong jangan setengah-setengah, umur udah tua tapi kelakuan gak berubah, udah jadi hobby apa gimana sikap suka ngeledekin Kakak itu?" Protes gue masih berdiri disamping Kak Rendra berbaring.

"Solusi? Cukup sering-sering bareng Kakak jadi kamu aman dari godaan dan bujukan." Ck, godaan dan bujukan?

"Kakak ngomongin orang apa ngomongin setan?" Ucapannya menjurus ke hal aneh, masih harus gue cerna biar gak salah kaprah, kan otak gue kelewatan lurus katanya.

"Dua-duanya mungkin." Kak Rendra mulai memejamkan matanya setelah jawabannya barusan.

Melirik Kak Rendra gak habis pikir, gue berbalik untuk menggantung handuk Kak Rendra sebelum beberapa detik kemudian kaya ada gayung yang nimpukin kepala gue, bentar bentar, kayanya masih ada yang salah.

Gue berbalik melirik Kak Rendra yang keliatan tidur tenang dengan pemikiran menimbang, ada yang aneh, kenapa Kak Rendra malah tidur diranjang gue sekarang? Siapa yang ngizinin?

"Sejak kapan ranjang Aya berubah jadi sofa Kakak tidur?" Tanya gue nimpukin Kak Rendra pake guling.

"Sejak kamu setuju untuk mempertahankan rumah tangga kita."

In My World (END)Where stories live. Discover now