(21)

2.7K 437 36
                                    

"Tapi kalau memang kamu gak keberatan, kamu bisa ikut Kakak nginep di rumah Papa sama Mama malam ini." Tawar Kak Rendra yang jujur aja membuat gue cukup kaget.

Dari mulai gue masih anak kecil sampai mau ngelahirin anak kecil lain lagi, gue nginep di rumah Kak Rendra itu bisa di hitung pake jari, bahkan kalau ada acara pentingpun gue lebih milih minta di anter pulang larut malam ketimbang nginep.

Kalau tiba-tiba gue nginep disana cuma karena gak mau jauh sama Kak Rendra? Mama sama Papa mau bilang apa? Walaupun gak diketawain tapi senyam-senyum mereka pasti udah bisa ngejelasin semuanya.

"Kenapa bengong? Ikut atau enggak? Kalau ikut, nanti sepulang dari kantor Papa, Kakak jemput kamu dirumah." Tawar Kak Rendra ulang.

Menatap Kak Rendra dengan pemikiran menimbang, walaupun kurang yakin, beberapa detik kemudian gue menggeleng pelan sebagai tanda gue menolak ikut, Kak Rendra pasti ada perlu sama keluarganya.

"Kamu yakin?" Gue tersenyum kecil dan mendorong Kak Rendra pelan untuk balik masuk ke mobilnya.

"Kasih alasan ke Kakak kenapa kamu nolak ikut? Pemikiran kamu belakangan ini banyak berubah." Kak Rendra masih memperhatikan gue walaupun udah berada di mobilnya sekarang.

"Aya lebih nyaman dirumah dan Aya juga punya kelas pagi besoknya." Ini beneran jujur bukan cuma sekedar alasan gue.

"Udah sana, tar Papa kelamaan nunggu."

.
.
.

"Kenapa cemberut? Sedih Mas Rendra gak nginep dirumah?" Tanya Iky terlihat jelas nahan tawanya.

Ini ni modelan adek kurang asupan, bisanya ngeledekin Kakaknya terus, memang muka gue keliatan banget susahnya? Padahal raut wajah gue perasaan biasa aja, gak ada tulisan lagi kecewanya.

"Dek! Kamu kalau bosen gak ada kerjaan dirumah mending nyiramin bunga Bunda sana, ketimbang bikin naik darah disini." Usir gue alus.

"Nah nah benerkan, marah itu artinya yang Iky omongin bener, lagian ngaku aja kenapa Kak? Gak dosa juga, wajar-wajar aja, sah-sah aja." Bukannya minggat dan ninggalin gue sendirian, Iky malah ngambil posisi duduk disamping gue dengan wajah tanpa dosannya.

"Dek! Memang kamu gak berasa aneh sama sikap Kakak sekarang?" Tanya gue penasaran.

Kalau Kak Rendra aja bisa sadar sikap gue berubah, Iky pasti juga tahu, Iky pekanya luar biasa, mumpung Iky lagi luang dari pada ngeledekin gue terus-terusan mending tukar pikiran sama gue, itu lebih membantu.

"Tahu! Aneh banget malah." Jawab Iky santai, Iky bahkan nyomot minum di tangan gue dengan tatapan santainya.

"Apanya yang aneh Dek?" Tanya gue lebih antusias.

"Banyak! Sekarang jadi lebih baperan, ada masalah dikit-dikit air mata udah mengenang, terus lebih gampang marah, susah diajak becanda, bengong sama ngelamun mulu, dan ada yang lebih penting." Iky ngejelasin udah pake semangat empat lima.

"Apa? Jawab jangan setengah-setengah." Gue gak sabaran.

"Sekarang, Kakak jadi suka merhatiin Mas Rendra, sukanya mepet-mepet Mas Rendra terus, itu yang paling aneh." Gue asli melotot gak percaya dengan jawaban Iky, separah itukah gue sekarang?

"Kamu serius Dek? Yang bener?" Gue masih gak percaya.

"Kakak bukannya gak percaya sama ucapan Iky tapi Kakak menolak percaya kenyataan." Jawaban yang lagi-lagi serasa tamparan keras, ni anak kalau ngomong suka bener.

"Seaneh itukah?" Cicit gue pasrah dengan perubahan sikap gue sendiri.

"Walaupun aneh tapi itu wajar menurut Iky, alasan perubahan sikap Kakak itu jelas, satu kata, ngidam." Dan kali ini Iky tertawa cukup puas.

In My World (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang