(35)

2.4K 429 24
                                    

"Kalau kamu gak mau Kakak yang pindah tinggal disini, gimana kalau kamu sama Iky yang pindah ikut tinggal bareng Kakak?" Dan ini ide yang lebih gila.

Apa gak ada pilihan yang jauh lebih baik? Gue masih bisa pertimbangin kalau memang Kak Rendra mau dateng lebih sering kemari tapi gak dengan dua pilihan tadi, itu pilihan sama aja bagi gue, gak ada yang enak.

"Gimana?" Gue melepaskan tangan Kak Rendra dari kedua pipi gue sembari menggeleng pelan, gue gak bisa.

"Kenapa Ay? Kakak tinggal disini kamu gak setuju, Kakak ajak kamu sama Iky yang pindah, kamu juga nolak, terus Kakak harus gimana?" Kak Rendra keliatan cukup frustasi.

"Jangan bilang kalau kamu gak punya pilihan Ay! Kamu punya pilihannya." Lanjut Kak Rendra meletakkan kedua tangannya di bahu gue.

"Kita bisa jalanin semuanya kaya biasa kan Kak? Kaya gini aja, Kakak dateng lebih sering nemuin Aya juga gak papa tapi kalau Kakak ikut pindah Aya rasa itu bukan pilihan bagus." Gue tahu Kak Rendra gak akan ngerti sama jalan pikiran gue sekarang.

"Kamu yakin dengan jawaban kamu sekarang? Kakak tanya balik kamu, apa gak bisa kamu pertimbangin lagi?"

"Mau sampai kapan kita hidup kaya gini Ay? Apa mau sampai anak kita lahir? Kamu mau Kakak bolak balik cuma untuk nemuin kamu sama anak kita? Kamu jangan becanda Ay, itu gak lucu." Kak Rendra bahkan tersenyum sinis sekarang.

"Tapi Aya gak mungkin mengabaikan perasaan Mama, Kakak bisa bayangin kalau Mama tahu Kakak mau ikut pindah tinggal bareng Aya gimana?" Gue sendiri gak bisa ngebayangin.

"Jadi ini karena Mama? Kamu sangat takut kalau Mama akan keberatan?" Dan gue mengangguk pelan.

"Dengerin Kakak! Suatu saat Kakak memang harus pindah, entah itu karena Kakak ikut tinggal bareng kamu atau karena kita pindah ke rumah kita sendiri." Ucap Kak Rendra menatap gue lama.

"Rumah kita sendiri?" Gumam gue gak yakin, apa gue gak salah denger?

"Intinya Kakak gak mau hidup misah sama kamu, mau kita tinggal dimanapun itu terserah, dirumah Mama, disini atau ditempat lain sekalipun, Kakak gak bisa lepas tangggung jawab kaya gini." Gue ngerti maksud Kak Rendra.

"Tapi bagi Kakak, Mama jauh lebih penting, Surga Kakak ada di Mama, apa Kakak mau nyakitin hati Mama? Ngebuat Mama sedih? Enggakkan?" Gue mengingatkan.

Sampai kapanpun, Mama akan selalu jadi yang pertama, gue gak keberatan, karena gue mikirin Kak Rendra makanya gue gak mau Kak Rendra ngecewain Mamanya, banyak cara lain tanpa harus ngebuat Mama sedih.

"Jadi sekarang kamu nyuruh Kakak milih lagi? Mama atau kamu dan anak kita?" Bukan ini yang gue maksud.

"Kakak gak harus milih karena Aya sana anak kita memang milik Kakak sekarang, Aya cuma minta Kakak untuk gak ngecewain Mama, itu aja Kak, kenapa Kakak malah mikirnya kejauhan?"

Gak ada yang minta Kak Rendra untuk milih, kenapa semuanya malah serba salah, gue mau Kak Rendra ngertiin posisi gue tapi gue sendiri gak bisa ngasih tahu alasannya apa supaya Kak Rendra mau ngerti, berdebat kaya gini adalah ujung-ujungnya.

"Sikap kamu yang ngebuat Kakak bingung, kamu bersikap seolah kamu takut kalau Mama akan membenci kamu seandaikan Kakak beneran pindah." Dan ucapan Kak Rendra sekarang beneran berasa tamparan untuk gue, gue gak mungkin jujur sampai masalah kaya gini ke Kak Rendrakan?

"Itu gak mungkin Ay! Mama gak pernah membenci kamu." Kak Rendra mengusap kedua lengan gue meyakinkan, gue mengangguk pelan.

"Yaudah, sekarang Aya beberes dulu, apapun pilihan Kakak, Aya ikut." Ini adalah jawaban terpasrah gue.

Gue gak mau Kak Rendra curiga, semakin gue kekeh dengan pemikiran gue sendiri, Kak Rendra akan semakin bingung dan berakhir dengan menatap gue dengan penuh tanda tanya, makanya lebih baik gue pasrah karena gue gak punya jawaban dan gue gak bisa milih apapun.

"Sebenernya kamu kenapa? Kamu terus ngebuat Kakak khawatir Ay!" Entahlah, gue gak bisa ngartiin tatapan Kak Rendra sekarang.

"Aya beberes dulu." Ulang gue.

"Satu lagi, setelah Iky nganterin Om sama Tante pulang, Kakak tunggu penjelasan kamu masalah di kampus tadi." Yassalam  gue kirain Kak Rendra udah lupa.

.
.
.

"Kak! Sekarang aja kita bahas, jangan kemana-mana lagi." Gue mau kelar sekarang juga.

"Kamu yakin? Kalau ujung-ujungnya cu be--"

"Basa-basinya kepanjangan, udah buruan, tanya sekarang, apa yang mau Kakak tahu?" Gue narik lengan Kak Rendra untuk duduk tepat disamping gue, menggandengan lengannya kuat buat jaga-jaga kalau Kak Rendra mau pergi.

"Bukannya harus kamu yang jelasin? Jelas-jelas Kakak ngingetin kamu kalau selesai kuliah kabarin, kenapa malah gak kamu denger?" Kak Rendra menyandarkan tubuhnya disofa dengan tatapan menengadah.

"Aya denger kok kan Aya gak budek, cuma denger bukan berarti Aya ngiyainkan?" Jawab gue megedipkan mata ke Kak Rendra.

"Hah? Kamu becanda sama Kakak sekarang?" Kak Rendra malah menatap gue dengan tatapan seriusnya.

"Kan tadi Aya udah bilang Aya yang salah, Aya cuma mau pulang naik bus doang, Kakak gak harus jemput selalu, lagian Aya mana tahu kalau Kak Reihan nyamperin?" Jawab gue sejujur-jujurnya.

"Kamu masih inget alasan kita berdua berakhir kaya gini karena siapakan Ay? Sekarang Kakak sendiri gak tahu apa Kakak beneran kenal Reihan dengan baik jadi gimana ceritanya Kakak bisa ngelepasin kamu ke kampus gitu aja?" Kak Rendra melepaskan gandengan gue dilengannya.

"Aya gak mungkin lupa tapi mau sampai kapan Kakak ngawasin Aya kaya gini? Gak mungkin selamanyakan?" Gue gak bisa ngebedain lagi sikap Kak Rendra sekarang itu kenapa? Dia takut gue kenapa-napa atau memang seposesif ini dari dulu?

"Kenapa gak mungkin?" Gue cukup kaget dengan nada bicara Kak Rendra sekarang.

"Kakak khawatir kamu kenapa-napa lagi, kamu ngerti gak sih Ay? Cuma karena satu kelalaian Kakak, masa depan kamu hancur, cuma karena satu kelalaian Kakak, kamu jadi bahan omongan bahkan bulian orang lain, Kakak gak mungkin nutup mata lagi." Gue bangkit berdiri dan berdiri diihadapan Kak Rendra dengan tatapan berkaca-kaca.

"Sejak kapan Kakak mulai mikir kalau ini semua kesalahan Kakak?" Tanya gue bergetar.

Gue terlalu bodoh, kenapa selama ini gue gak sadar kalau alasan Kak Rendra gak pernah secara gamblang nyalahin siapapun untuk masalah ini adalah karena dia malah nyalahin diri dia sendiri, sejak kapan Kak Rendra mulai mikir kaya gini?

"Apa Aya pernah bilang ini salah Kakak? Apa ada orang yang nyalahin Kakak untuk semua ini? Gak ada Kak!" Gak ada siapapun yang nyalahin Kak Rendra.

"Berhenti bersikap bodoh Kak, nyalahin diri Kakak sendiri itu gila, didunia ini gak ada orang waras yang mau ngancurin masa depannya sendiri." Dan Kak Rendra terlalu sehat untuk berpikir segila itu.

"Bukannya Kakak yang nyuruh Aya untuk berhenti nyalahin diri Aya sendiri? Ck! Kakak begitu peduli dengan hidup Aya tapi gak mengabaikan hidup Kakak sendiri, Aya gak mau Ayah anak Aya nanti gila diusia muda." Kesal gue sangat.

"Kak! Aya bukannya gak tahu kalau Kakak khawatir tapi Aya juga gak mungkin minta Kakak ngawasin Aya setiap saat kaya gini, Aya berusaha keras menghadapi sumber masalahnya, baik itu Kak Reihan atau Mas Galang sekalipun."

Menghindar itu gak akan ngubah apapun, mau sampai kapan? Ini hidup gue, gak mungkin karena satu kesalahan gue malah harus membatasi keinginan gue, itu gak adil, gue cuma perlu melangkah maju karena setiap masalah ada solusinya.

"Satu lagi, Aya juga udah mutusin untuk tinggal bareng Kakak." Gue yang akan masuk ke keluarga Kak Rendra.

In My World (END)Where stories live. Discover now