09. Semesta Merestu Pilu

200 48 10
                                    

Happy reading!

Ramdan mengundang Jendra ke rumahnya, bukan untuk ia jamu sebagai tamu, lelaki itu hanya ingin menghujat Jendra akibat kebodohan lelaki itu, yah hitung-hitung senam mulut. Tetapi Jendra hanya acuh atas ocehan temannya, tanpa diberi tahu pun, Jendra sudah mengerti kesalahannya.

"Lo nih laki macam apa sih, dasar miskin, di todongin duit segepok kok mau, minta lah sama gue, jangan kayak orang kere."

"Mending gue ke jasa ruqiyah sekalian daripada denger ocehan setan," sahut Jendra kalem.

"Heh babi aer! Muka mirip Doyoung ensiti gini dikata setan, katarak mata lo?" Kini Ramdan menampilkan wajah sengak.

"Ngomong lagi, gue panggil nyokap lo, gue aduin kalo lo sering intipin si Mira lagi mandi."

Tidak butuh ba-bi-bu, sendal karet memukul bahu temannya itu cukup keras, hingga membuat Jendra mengusap bahunya, "sinting lo!"

"Mira nama mak gue bodoh!"

Jendra hanya ber-oh, tanpa permisi, Jendra mengambil cemilan yang berada di atas meja. Melihat itu, Ramdan menepisnya dengan wajah yang pasti mengundang hujatan.

"Gue gak suka berbagi. Apalagi berbagi sama spesies kayak lu!"

"Tamu adalah Raja."

"Mana ada Raja modelan kayak lo, shampo abis masih di kasih air. Gak usah belagu!"

"Kalo mandi belum pake air galon, jangan sok keras," sengit Jendra tidak mau kalah.

Lalu keduanya diam, saling melempar tatapan sinis. Ramdan yang masih dengan rasa kesalnya dan Jendra yang terlalu pasrah dengan keadaan, yah memangnya apa yang ia lalukan lagi selain diam? Ia hanya akan mengikuti jalur yang sudah disiapkan Tuhan tanpa perlawanan, karna Jendra yakin, Dista tidak akan sudi bertemu dengannya—jangankan bertemu, bertatap muka saja, Jendra yakin gadis itu tidak akan mau, tidak akan pernah.

Drrrt, drrrt

Sontak Jendra menoleh, tidak memedulikan Ramdan yang masih menatapnya dengan wajah Sengak. Lelaki itu menatap ponsel yang terdapat notifikasi pesan dari Leon.

Setelah membaca, Jendra langsung berdiri, air muka lelaki itu berubah, nampak tidak santai. Kening Ramdan berkedut, meneriaki Jendra yang sudah berada di atas motornya, "WOY! TUNGGUIN DRA!!!"

Teriakan Ramdan diacuhkan, Jendra menulikan telinganya dan secepat itu juga lelaki itu melesat pergi tanpa permisi. Ramdan yang melihat Jendra seperti bocah kesetanan itu langsung mengambil kunci motornya, walau tidak tahu kemana lelaki itu pergi, tujuannya hanya dua ; rumah mendiang Bunda Leon atau makam Azalea.


***


"BANGSAT!"

Leon yang diumpat seperti itu hanya diam, menatap temannya dengan tatapan seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup. Tatapan putus asa lelaki itu seakan bercerita, bahwa dirinya juga terluka, "marahnya nanti aja, gue manggil lo bukan mau nyari ribut."

"Gimana gue bisa diem!? Lo bisa jelasin, pecahan kaca sama darah dikamar lo?" Jendra memejamkan matanya, butuh kesiapan untuk mendengar jawaban dari Leon, ia hanya ingin memastikan, bahwa yang ia lihat itu tidak benar.

Leon melirik, tersenyum miring, "harus gue perjelas lagi?"

Jendra terus menatap Leon, menuntut jawaban atas pertanyaan nya tadi.

"Gue tinggalin tanda secara biologis ke dia. Gue mainnya kasar dan nggak ada ampun. Kalo mau lebih jelas, gue bisa kasih vidionya ke—"

Bugh!!!

Bugh!!!!

"MATI AJA LO SETAN!" Tanpa aba-aba, Jendra melayangkan pukulan membabi buta di wajah Leon. Leon hanya meringis, tidak berminat melawan ataupun menghindar, malah lelaki itu sengaja memancing amarah Jendra untuk terus memukulinya. Mati konyol di tangan Jendra pun, tidak akan menjadi masalah untuknya.

"JAMAL! ANAK ORANG BISA MATI ANJENG!!!" Ramdan yang baru saja datang dan sudah melihat acara tinju temannya itu langsung melerai, segera menarik baju Jendra dengan kasar.

"Apa sih lo!"

Ramdan menghela nafas kasar, "lo mukul sampe dia mati juga gak nyelesaiin masalah. Yang ada, Dista makin kecewa sama lo, udah berbuat bejat, dikasih kesempatan idup bukannya tobat malah nyari perkara. Gabut amat si idup lu."

Jendra mendengus, terdengar sarkas. Deru nafas kasar lelaki itu masih terdengar jelas, netranya menatap Leon yang terkapar di atas tempat tidur, "kali ini, lo selamat, lagi."


***



Dista tidak mengubah posisinya sedari malam, gadis itu masih dalam keadaan meringkuk di ruang tengah rumahnya, sedari malam juga, gadis itu tidak membersihkan diri sehingga seragam gadis itu masih melekat di tubuhnya.

Kejadian tadi malam adalah hal paling malang yang ia rasakan, di hujam rasa sakit yang tidak memberinya ruang untuk menyembuhkan lukanya, seakan semesta merestu takdir pilunya.

Air mata yang menggenang di pelupuk mata, kini mengalir begitu saja, Dista membiarkan rasa sakit berbaur, menyatu sampai melebur. Namun, menyembuhkan luka tidak semudah menorehnya. Tidak bisa satu hari atau dua hari, banyak fase yang harus dilewati hingga menemukan titik ikhlas.

"Jahat.. kenapa harus Dista!!!??" monolognya sembari memeluk erat tubuhnya sendiri dalam sepi.

Isak Dista memenuhi sudut ruangan, ia sudah tidak tahan, bagaimana harga dirinya sebagai perempuan dihina dan direndahkan. Meski begitu, apakah ia akan menemukan satu titik harapan? Setidaknya hingga titik ikhlas ia temukan.






.
.
.








Sejauh ini, how do you feel about this story? Semoga bisa menikmati tiap bab nya ya.. tetap jaga kesehatan.

Sampai jumpa di bab selanjutnya

AccidentWhere stories live. Discover now