28. Hidup Tetap Berjalan

232 16 0
                                    

"Thank you buat tumpangannya, semoga hari-hari mu selalu bersamaku," gadis itu terkekeh geli saat berujar hal demikian pada lelaki yang tengah melepas helmnya. Meskipun tidak sungguh-sungguh, tetap saja hal itu membuat Jendra bergidik ngeri.

"Diem lo wibu."

Mendengar balasan Jendra, gadis itu langsung membuka matanya lebar-lebar, ia memajukan tubuhnya sedikit sebelum berkata "sok tau lo anjing, gue itu anime."

Memanggil gadis itu wibu bukan hanya sekedar panggilan belaka sebab nyatanya seperti itu. Suatu hari, dia pernah bercerita mengapa namanya sedikit mirip dengan salah satu karakter anime perempuan – Mikasa Ackerman – bahwa itu bukan sebuah kebetulan belaka.

Karna ketidak tahuannya dahulu, gadis itu baik-baik saja dengan nama pemberian dari kedua orang tuanya, bahkan acap kali ia membanggakan namanya di depan teman-teman, seperti Bapak yang selalu membanggakan namanya, berkata bahwa nama itu bukan sembarang nama.

Hingga suatu hari, kepercayaan gadis itu luntur ketika umurnya beranjak tiga belas tahun. Saat itu teman-teman kelasnya sangat gemar menyebutnya dan memanggilnya dengan sebutan wibu ketika mengetahui nama gadis itu. Ia yang belum mengetahui arti namanya sendiri pun bertanya-tanya, mengapa panggilan itu disematkan untuknya hanya karna sebuah nama?

Karna penasaran, ia mencari sendiri siapa Mikasa yang disebut-sebut oleh teman-teman kelasnya. Mulanya ia mencari lewat internet, dan ketika mengetahui siapa sebenarnya Mikasa, dahinya berkedut tak senang.

Tergesa-gesa ia menghampiri sang Bapak yang saat itu tengah menonton di ruang tengah. Tanpa basa-basi, gadis itu langsung berkata dengan nada yang begitu menggebu, "Bapak jahat. Masa nama aku disamain sama anime! Aku jadi dikatain wibu gara-gara Bapak!"

Pria yang tak jauh dari hadapannya pun hanya terkekeh pelan, setelahnya ia bawa gadis mungil itu dalam pangkuannya. Masih dirundung sebal, ia melipat tangannya di dada.

"Mikasa itu, karakter anime kesukaan Bapak. Dia tangguh, berani, dan setia," Bapak memberi jeda sembari mengelus lembut surai anak gadisnya. "Selain namanya yang cantik, namanya juga cocok buat kamu."

"Emang Mama setuju sama nama pemberian Bapak?"

Mendengar pertanyaan itu, tawanya mengudara sebelum menjawab, "bahkan, Mama kamu yang pertama kali mengusulkan nama Mikasa."

Setelahnya gadis itu menghela napas panjang, dan hendak beranjak dari pangkuan Bapak, namun dengan gesit pria itu menahan lengannya sembari tersenyum sederhana.

"Nonton Mikasa dulu sama Bapak, baru boleh ke kamar lagi."

Semenjak hari itu pula, ia memutuskan untuk mencari panggilan lain untuk namanya, yang hingga kini dikenal sebagai Caca. Bukan tanpa alasan nama panggilan itu ada, ia merasa harus menutup kedok sebagai wibu agar bakat sejatinya—mencintai dia yang tak nyata— bisa terus berkembang.

Kembali pada sosok Jendra, lelaki itu sudah berjalan mendahului Caca tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tak ada masalah akan hal itu, dengan senang hati ia mempercepat langkahnya untuk berada di sisi Jendra, sampai tubuhnya dekat disana.

Pasrah. Satu kata yang menggambarkan Jendra sekarang, mulutnya tak tahan untuk mengeluarkan umpatan, namun lelaki itu tak mau adu mulut disini.

Perlahan Jendra merasa janggal, menyadari jika gadis berambut sepunggung itu tak lagi mengikutinya. Saat kepalanya menoleh, ia mendapati Caca yang tengah mengulurkan tangan di hadapan lelaki yang kini tak asing bagi Jendra.

Dengan tempo cepat kakinya berderap, menyusul Caca disana. Ia mendengar sendiri jika gadis itu memberikan penggalan kata selamat atas pernikahan Kenan dengan Radista sebulan lalu–dengan senyum yang ia coba untuk terlihat baik-baik saja.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 30, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AccidentWhere stories live. Discover now