4

658 72 31
                                    

DANAR

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

DANAR

"Maaf, Mbak Ella, tapi ucapan Nira -- Mbak Nira -- benar," sahutku datar. "Kami nggak sedang pacaran, kok. Tadi kebetulan saya habis membantu Mbak Nira, jadi Mbak Nira ngajak saya makan malam."

Ella terdiam sejenak. Sepertinya wajah datarku mengejutkannya. Namun bukan Ella namanya jika ia mudah diintimidasi. "Nah, Mas Danar, jadi cowok tolong peka sedikit, ya. Nira ini jarang-jarang balas budi dengan cara traktiran, soalnya dia males ngeladenin manusia lama-lama di luar kerjaan. Oh, satu lagi. Nira juga paling anti utang budi anaknya, jadi dia sebisa mungkin nggak nerima bantuan orang selain rekan kerjanya."

"Tapi Mbak Nira jadi kelihatan nggak nyaman."

Ekspresi wajah Nira sudah bete abis. "Lak, gue bilang ntar ya ntar." Ia bangkit berdiri dan menyeret Ella menjauh ke meja teman-temannya, lalu mendudukkan Ella di kursinya. "Gue udah janji bakal cerita sama lu kalau lu diem. Atau lu mau gue nggak cerita sama sekali?"

"Iya, deh, iya! Gue nyerah. Maaf, ya, Ra, Mas Danar." Ella melongokkan kepalanya dari balik tubuh Nira yang menghalangi pandangan kami, lalu mengedipkan mata ke arahku.

Nira kembali ke tempat duduknya dengan gerah. Tangannya cekatan menguncir rambut panjangnya di belakang leher. "Maafin Ella, Mas. Anaknya emang rempong gitu. Heran, kalau cowok berduaan sama cewek, pasti aja dituduh pacaran."

"Santai," ujarku ringan. "Kuharap kamu nggak jadi canggung sama aku gara-gara omongan Ella. Aku ... bantu kamu bukan dengan maksud PDKT, kok."

Nira terperanjat. Rasanya ingin kusumpal mulutku setelah mengucapkan kalimat terakhir itu. Dasar bodoh kamu, Danar, mengapa harus ungkit-ungkit soal PDKT segala?

"Oh, nggak, kok. Aku nggak berpikiran seperti itu," ujar Nira sambil melemparkan pandangan ke piring sushi. "Yuk, dimakan. Nanti keburu nggak enak sushi-nya."

Aku menarik napas lega. Syukurlah Nira bukan orang baperan. "Ngomong-ngomong, Mbak Ella itu teman lamamu, ya?"

Nira mengangguk sambil menyesap ocha panasnya dari gelas. "Kami kuliah bareng, sama Yanti juga. Kami beda banget, sih, orangnya, tapi entah kenapa cocok sahabatan terus sampai lulus dan udah kerja masing-masing. Mungkin karena kami sama-sama pekerja keras dan punya prinsip hidup yang mirip. Walaupun aku pergi ke Jakarta lalu kuliah di New York selepas lulus S1, kami tetap keep in touch. Ella malah udah mau nikah bentar lagi."

Aku bisa menangkap rasa hangat dari nada suara perempuan yang irit bicara ini. "Syukurlah," ujarku. "Punya sahabat yang awet memang suatu berkah tersendiri."

"Mas Danar sendiri gimana? Punya sahabat juga?"

Aku mengedikkan bahu. "Banyak teman, sih, tapi nggak sampai level sahabat kayak kamu, Nir. Teman akrab pada masanya saja, tapi menjauh seiring berjalannya waktu. Apalagi di usia sepertiku begini, kebanyakan sudah berkeluarga dan punya pekerjaan tetap. Bisa dibilang aku cuma dekat dengan kakak dan adikku saja."

Embracing Dawn (v) ✓Where stories live. Discover now