17

400 59 1
                                    

Maaf formatting berantakan. Copas dari HP. Cek cerita ini di akun TheEod untuk versi rapinya.

NIRA

Aku teringat kemarin di markasnya Mbak Tiara yang canggih itu waktu asyik mendandani Kamila sekaligus beri saran skintone apa yang cocok untuknya. Perempuan itu beranjak dari meja rias lalu menyerahkan amplop putih padaku.

“Apa ini, Kamila?” tanyaku.

“Beberapa hari sebelum kejadian serangan di yayasan, Tante Widya dan Renita serta perwakilan polisi menyuruh saya untuk menuliskan apa yang saya lihat, alami, dan rasakan sendiri selama jadi korban kekerasan Pak Farid dan skandal limbahnya. Katanya sih buat cadangan semisal trauma saya muncul tiba-tiba jika lihat Pak Farid langsung di persidangan nanti sehingga bikin saya berhalangan hadir. Yang ini versi salinannya, karena aslinya sudah dipegang sama polisi.” Kamila juga menyerahkan flashdisk mini padaku.

Benda itu berisi rekaman video Kamila membacakan surat keterangan tertulisnya.

“Maafkan kalau suara saya terbata-bata, Mbak Nira. Waktu merekamnya, kejadian traumatis itu terus berulang di pikiran. Polisi katanya juga punya rekaman ini. Tapi, tenang Mbak Nira, saya tetap hadir di persidangan kok.”

“Tidak apa-apa, Mil. Yang penting suaranya jelas.” Kugenggam sehangat mungkin tangan Kamila, anggap aja sebagai penyemangatnya.

***

Tidak kusangka, Kamila benar-benar tidak bisa hadir di persidangan saat ini. Apa lagi Mas Danar kasih tahu aku kalau dia kena luka tembak di bahu dalam perjalanan bersama Mas Arjuna. Ini semua gara-gara macet sialan itu, bisa-bisa sidangnya ditunda kalau begini.

Kutahan sebisa mungkin rasa terkejut kali ini.

Tidak, aku tidak boleh kalah. Ini sudah lebih dari setengah perjalanan.

Mas Danar mengamatiku dengan pandangan bertanya ketika ponselku berdering. Kujawab melalui earbud Bluetooth. “Ada apa, Pak Rado?”

“Nira, mana saksi korbannya? Kamu sudah di sini, kan? Kedengaran soalnya heboh-heboh wartawan di luar.” Suara Pak Rado terdengar gusar. Rado Setiawan adalah penuntut umum yang ditunjuk dalam kasus Kamila dan skandal limbah yang dilakukan PT CAS. Aku sempat periksa sejenak latar belakangnya beberapa hari lalu, dan ternyata beliau adalah bagian dari anak buah Bu Ratri.

“Saksi korban tidak bisa hadir karena terluka dalam perjalanan, Pak.”

Terdengar nada frustrasinya Pak Rado sejenak. “Karena waktunya mepet, mau tidak mau nanti pakai keterangan tertulis saksi korban dari penyidik. Pokoknya apa pun yang terjadi, tidak ada penundaan sidang. Kamu tenang saja, Nira, semua bukti yang kamu sodorkan ke kami sudah lengkap semua. Jadi, hakim pasti tetap setuju.”

Aku tidak sering dapat Pak Rado sebagai lawan setiap sidang, dari cerita kolegaku memang beliau ini orangnya sangat praktis dan disiplin. Tidak heran walau usianya tiga tahun lebih tua dari Mas Danar tapi jabatannya sudah mau golongan IV saja.
Ada sedikit nada lega dariku. “Terima kasih, Pak. Saya segera masuk.”

Sambungan terputus. Kusampaikan pada Mas Danar untuk segera kabarin ke Mas Arjuna terkait kondisi Kamila, apa pun bentuknya.

Mas Danar makin heran dengan wajahku yang terlihat biasa. “Biar aku tebak, Nira. Kamu punya rencana cadangan lagi?”

Aku menggeleng. “Kali ini, inisiatifnya bukan dari aku, tapi dari Kamila sendiri dan yayasan.”

“Bagaimana bisa?” Mas Danar bertanya sambil kami berjalan berdampingan masuk ke ruang sidang. Semua mata tertuju pada kami, terutama dari pihak terdakwa dan pengacaranya yang menatapku tajam. Serta keluarga Syahreza di bangku penonton, ada Pak Aksha dan istrinya, Pak Barkah, sampai Bu Kahlia istrinya Pak Farid.

Embracing Dawn (v) ✓Where stories live. Discover now