Prolog

1.2K 120 25
                                    

Yogyakarta, 2017.

Malam ini langit begitu cerah. Ia membuat para penghias langit enggan untuk bersembunyi di balik gelap malam. Dirga masih berbaring di padang rumput yang luas sambil menatap padang bintang yang penuh dengan warna-warna abstrak. Seperti biasa, masih dengan permen lolipop yang menempel di mulutnya.

Coba Mila ada di sini, batin Dirga dengan kedua tangannya yang terlipat dan menjadi bantalan kepalanya.

Hingga seekor katak muncul tak jauh darinya. Menyadari itu, Dirga menatap katak itu.

Jadi hewan itugimana sih rasanya? pikirnya semakin abstrak seperti warna langit malam.

Tak jauh dari katak itu ada ular yang diam-diam mengintainya. Ular itu perlahan mendekati katak dan hendak memangsanya. Dirga tertarik dengan rantai makanan pada ekosistem di alam liar. Ia beranjak dari tidurnya, lalu duduk menatap ular dan katak itu.

Ketika menyadari ada pemangsa yang mengintainya, katak mulai melompat. Begitu pun dengan ular yang menerjang katak dengan rahang yang siap memangsa.

"Kau sudah berusaha keras, Tuan Katak," gumam Dirga lirih sambil mengheningkan cipta.

Namun, tiba-tiba Dirga memicingkan matanya. Katak itu melompat, tetapi tak juga kunjung menyentuh tanah. Begitu pun ular yang menerjang, ia seakan bergerak lambat hingga terlihat seperti mengambang.

"Lah?" Dirga yang merasa heran, akhirnya berdiri lalu berjalan ke arah katak dan ular. Ia mengamati dua binatang yang bergerak sangat lambat itu.

Dirga sontak menoleh ke sekitarnya dan mengamati dengan saksama. Ia tak begitu merasakan efeknya, tetapi ia yakin bahwa waktu di sekitarnya melambat. 'Apa ini ulah Gemma?' batinnya.

"Angkat wajahmu—Tumenggung." Dirga mengenakan sebuah topeng khas jawa. Topeng tersebut adalah pusaka nusantara milik keluarga Martawangsa. Seketika itu, Dirga menghilang dari padang rumput.

Pengguna Tumenggung mampu mempercepat aliran waktu untuk dirinya sendiri, sehingga membuat penggunanya seolah-olah mampu berteleportasi sejauh jarak pandangnya. Dirga menuju kota, ia bertengger di atap sebuah rumah. Sungguh pemandangan yang tak biasa. Semua aktifitas di kota bergerak lambat. "Apa-apaan ini?!" serunya.

Baru saja Dirga dikejutkan dengan fenomena melambatnya waktu, tiba-tiba langit berganti warna, tampak merah laksana darah. Seketika itu pula waktu berhenti total bersamaan dengan fenomena langit merah.

Klimaksnya adalah munculnya sebuah retakan di langit yang membuat seolah-olah kiamat akan segera terjadi. Dirga menatap retakan yang semakin membesar dan tampak akan pecah. "Lah! Ini kenapa dah?" teriaknya.

Trang!

Retakan itu pecah lalu muncul sebuah kabut merah yang melahap segala yang ia lewati. Dirga mencoba secepat yang ia bisa untuk kabur dari kabut itu, tetapi rupanya kecepatannya belum cukup. Kabut itu melumatnya hingga tak tersisa. Dirga terseret dalam kabut merah misterius itu.

***

Entah sudah berapa lama Dirga tak sadarkan diri, ia membuka matanya dan mendapati dirinya yang tengah berbaring di tengah hutan hujan tropis yang lebat. Tampak tiga orang lain yang juga berada di tempat itu. Sama seperti Dirga, mereka saling melempar tatapan heran. Dirga menatap mereka sambil memicingkan matanya. "Apa lagi ini?" ucapnya kebingungan.

 "Apa lagi ini?" ucapnya kebingungan

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.
Hysteria : Escape From Another WorldKde žijí příběhy. Začni objevovat