Chapter 20 (Part 1)

737 90 23
                                    

~Keesokan harinya~

(Y/n) dan Tokito kembar bangun, lalu menjalankan rutinitas pagi seperti biasa. "Apa rencana kalian sepulang sekolah nanti?" tanya Nyonya Tokito seraya meletakkan sarapan di meja. "Kami mau ke rumah sakit menemani (y/n)-san," Muichiro menjawab. Seketika Nyonya Tokito terkejut, "Apakah kau sakit, (y/n)?" ia bertanya lagi dengan panik. Gadis itu cepat-cepat menggeleng. "Aku disuruh ke rumah sakit oleh polisi yang kutemui kemarin," jelasnya. Nyonya Tokito menghembuskan napas lega. "Baiklah, kalau begitu. Ayo, cepat habiskan sarapan kalian, nanti terlambat,"
Seusai sarapan, mereka bertiga pergi ke sekolah.

Hari itu, kembali berjalan normal. Tidak ada hal spesial, hanya ada kuis matematika yang menyiksa.
Sepulang sekolah, (y/n), Muichiro, dan Yuichiro langsung ke rumah sakit. Awalnya mereka tidak tahu rumah sakit mana yang harus mereka datangi, tapi kemudian sebuah pesan masuk ke handphone (y/n) berisikan alamat dan peta menuju rumah sakit. "Hmm... ini mungkin dari dokter yang mengotopsi keluargamu," kata Muichiro seraya melihat peta tersebut. "Sebaiknya kita pesan taksi saja. Tempatnya terlalu jauh bila kita jalan kaki," Yuichiro mengeluarkan handphonenya, lalu memesan taksi online.

Beberapa menit kemudian, taksi datang dan mereka pun naik. Jalan raya hari itu tidak macet, jadi mereka tiba dengan cepat di rumah sakit. "Wah, rumah sakit ini juga besar sekali," Muichiro berkomentar. "Apa maksudmu 'juga'?" tanya Yuichiro. "Ya, soalnya kantor polisi yang kita datangi kemarin juga besar," jawab (y/n) seraya melangkah masuk diikuti Tokito kembar. Yuichiro seketika cemberut, "jadi kalian kemarin ke kantor polisi pusat?" tanyanya lagi, dan dijawab anggukan Muichiro. "Huwee... aku ingin kesana,"
"Diamlah, ada hal yang lebih penting sekarang," kata Muichiro.

Mereka sampai di meja informasi, lalu (y/n) bertanya pada perawat disana. "Pe-permisi, mbak. Saya (l/n) (y/n). Sa-saya disuruh kesini oleh Pak Hoshizora Haruki," kata (y/n). "Apa informasinya cukup? Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan," batinnya. "Oh, (l/n) (y/n). Sebentar, ya," ujar perawat itu, kemudian mencari sesuatu di laptop didepannya. "Ya, (l/n)-san, kau diminta kesini untuk menjalani tes DNA. Kau harus pergi ke lantai empat, ruangan pertama. Disana sudah ada dokter yang menunggu untuk mengetesmu," kata perawat itu. (Y/n) mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.

"Tes DNA? Untuk apa, ya?" tanya (y/n). Tokito kembar mengangkat bahu tanda tidak tahu. Mereka pun mengikuti instruksi perawat tadi dan pergi ke lantai empat. "Ini dia," kata Muichiro setelah mereka sampai. (Y/n) mengetuk pintu, kemudian terdengar suara seorang pria mempersilahkannya masuk. "Kami boleh ikut tidak?" Yuichiro bertanya saat (y/n) membuka pintu sedikit. "Mana boleh. Kita harus tunggu disini," Muichiro menarik tangan Yuichiro, menyuruhnya duduk di deretan kursi disebelah pintu. Yuichiro pun duduk sambil menggerutu.

(Y/n) melangkah masuk ke ruangan itu. Disana ada seorang dokter tua sedang duduk di kursinya. "Kau (l/n) (y/n), bukan?" tanyanya memastikan. (Y/n) mengangguk. Dokter itu menyuruh (y/n) duduk di sebuah kursi sementara ia mengambil peralatannya. "Aduh, tes DNA itu bagaimana, ya?" batin gadis itu. Ia merasa takut namun penasaran.

~Beberapa waktu kemudian~

"Baiklah, sudah selesai. Saya akan memberitahukan hasilnya sekitar seminggu atau dua minggu lagi," kata dokter tersebut, lalu mempersilahkan (y/n) keluar. "Terima kasih, dok," ujarnya sebelum melangkah dari ruangan itu. Begitu melihat (y/n), Tokito kembar spontan berdiri. "Akhirnya kau keluar juga. Bagaimana rasanya tes DNA?" tanya Yuichiro penasaran. "Yaaah... menurutku biasa saja," jawab (y/n). "Oke, sekarang sebaiknya kita pulang. Tidak ada keperluan apa-apa lagi, kan?" ujar Muichiro. (Y/n) dan Yuichiro menggeleng.

Mereka pun pulang. Sesampainya di rumah, (y/n) menyadari sesuatu. "Oh iya, bukannya tes-tes seperti itu bayar, ya?" tanyanya. Muichiro mengangguk. "Tapi mungkin untuk yang ini tidak, karena kamu disuruh langsung oleh pihak kepolisian,"
"Sebenarnya yang penting itu hasilnya. Firasatku mengatakan bahwa hasilnya tidak bagus," celetuk Yuichiro. (Y/n) mengerutkan alisnya, "Ya, benar juga. Aku juga masih bingung kenapa aku disuruh tes DNA,"
"Kita tunggu saja hasilnya sambil berdoa agar hasilnya bagus," timpal Muichiro.

~Dua minggu kemudian~

Hari itu Hari Sabtu. (Y/n) dan Tokito kembar bangun pagi seperti biasanya, lalu sarapan. "Kalian mau melakukan apa hari ini?" tanya Yuichiro dengan mulut penuh roti lapis. "Entahlah, aku belum punya rencana," kata Muichiro, "Bagaimana denganmu, (y/n)-san?"
(Y/n) menggeleng, mulutnya terlalu penuh untuk bicara. "Bosan, deh kalau begini," keluh Yuichiro. Tiba-tiba Nyonya Tokito memanggil (y/n) dari lantai dua, "(Y/n), handphonemu berdering, tuh. Sebaiknya kau angkat,"
Gadis itu cepat-cepat menelan makanannya, lalu menjawab, "baik!"
Ia pergi ke kamar Muichiro tempat handphonenya berada, "nomor siapa ini?" pikirnya sebelum mengangkatnya.

"Halo, selamat pagi (l/n)-san. Saya dari pihak rumah sakit hanya ingin memberitahu bahwa hasil tes DNA anda sudah keluar. Anda bisa pergi ke rumah sakit pagi ini untuk mengambilnya," jelas seorang wanita diseberang sana yang kemungkinan adalah perawat di rumah sakit itu. "Bai, saya akan segera kesana," jawab (y/n). Ia memutuskan sambungan telepon, kemudian kembali ke ruang makan. "Siapa yang meneleponmu, (y/n)-san?" tanya Muichiro begitu (y/n) muncul. "Perawat dari rumah sakit. Katanya hasil tesku sudah keluar dan aku bisa mengambilnya pagi ini,"

"Kalau begitu ayo. Kita juga sedang tidak ada kegiatan," ujar Yuichiro antusias. Mereka bertiga melanjutkan sarapan mereka dan mandi bergantian.
"Ibu, kami mau ke mengambil hasil tes (y/n)-san, yaa!" teriak Yuichiro dari pintu depan saat mereka mau pergi. "Oke, hati-hati di jalan!" balas Nyonya Tokito yang berada entah dimana. Mereka pun berangkat setelah memesan taksi.

Sesampainya disana, (y/n) diminta pergi ke ruangan dokter yang mengetesnya dua minggu lalu. "Ia akan memberitahukan hasil tesmu dan beberapa hal lainnya," ujar perawat di pusat informasi. Mereka segera menuruti perkataan perawat itu. "Duh, kenapa aku gugup sekali, ya?" gumam (y/n) di dalam lift. "Tenang saja, (y/n)-san. Aku yakin hasilnya bagus," hibur Muichiro walaupun ia sendiri tidak tahu hasil yang bagus itu seperti apa.

Sesampainya di depan pintu, (y/n) mengetuk pintu. "Silahkan masuk," kata dokter yang ada didalam. Gadis itu membuka pintu. Terlihat dokter tua yang menanganinya dua minggu lalu duduk di kursinya. "Dua temanmu juga boleh masuk," kata dokter itu lagi begitu melihat Tokito kembar.
Mereka memasuki ruangan. (Y/n) duduk di kursi diseberang dokter sementara Tokito kembar duduk disebelahnya. "Jadi, ini hasilnya," dokter itu mengeluarkan selembar kertas dan ditaruhnya di meja, "dan ini hasil DNA kedua orangtuamu,"

(Y/n) menatap ketiga kertas itu dengan bingung. "Untuk apa ia mengetes DNA orangtuaku juga?" batinnya. Tokito kembar menatap satu sama lain, sama bingungnya.
"Kau pasti bingung kenapa saya mengetes DNA orangtuamu," ujar dokter itu, seperti membaca pikiran (y/n). "Saya melakukannya atas perintah pihak kepolisian. Setelah ini, kau diminta untuk pergi ke kantor polisi dan memberikan ketiga hasil kepada Pak Hoshizora Haruki untuk di investigasi lebih lanjut," jelasnya.

(Y/n) mengernyitkan dahinya, ia malah semakin bingung. Dokter tua itu menghela napas, "intinya, DNAmu sangat berbeda dengan DNA orangtuamu yang artinya. Kau bukan anak kandung mereka,"
Tubuh (y/n) terasa tersambar petir setelah mendengar penjelasan gamblang tersebut. Tokito kembar membelalakan mata mereka. "Mana mungkin seperti itu, dok?" tanya Muichiro hampir berteriak. "Mungkin saja. Tes ini sudah membuktikannya," jawab dokter itu. Muichiro menoleh pada (y/n) yang sedang melihat ketiga hasil tes itu. Gadis itu menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Bisa saja ini masuk akal. Uhh... lebih baik aku segera membawa ini ke Pak Haruki," batinnya.

Seusai mengambil hasil tes, mereka kembali memesan taksi untuk pergi ke kantor polisi. Di sepanjang perjalanan, (y/n) terus saja melihat ketiga kertas yang dipegangnya. Ia benar-benar bingung dan masih setengah tidak percaya. Muichiro sudah berusaha mengajaknya bicara, namun tidak mendapat respon. "Mui, sudahlah. Biarkan dia sendiri dulu," bisik Yuichiro. Muichiro akhirnya menyerah, dan sisa perjalanan itu dipenuhi kesunyian.

(A/N) : Alurnya jadi semakin dalam, semoga gak ada yang kelupaan, heheh... Ini masih nyambung sama yang sebelumnya ya, gak kemana-mama 😂
Oke deh, see you in the next chapter! Jangan bosen dulu yaa :v

✔️ || Always With You [Muichiro X Reader] ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang