Putih Si Domba Hitam

137 37 10
                                    

Tema: Buat karya yang wajib memiliki kata-kata ini di dalamnya: Dunia bawah tanah, Pesta Teh, Perhiasan yang hilang

*🍃*

Suara domba mengembik mewarnai padang rumput. Hijaunya alang-alang yang melambai tertiup angin dan cahaya matahari yang tak tersaput awan merupakan suasana yang sempurna bagi domba-domba milik Gaby.

Gaby dengan tongkatnya yang mengayun berusaha mengendalikan enam domba yang ia bawa ke padang rumput. Menggembala adalah hal yang selalu ia lakukan, tugas terakhir yang diberikan Papanya.

Label anak yatim sudah dia dapatkan sejak masih berusia tujuh tahun, sudah lima tahun berlalu sejak hari itu.Gaby tidak terlalu terganggu akan hal itu, dia, kan, punya si Putih.

Si Putih itu adalah domba yang sudah menjadi temanmya sejak dia masih berlari mengejar bunga dandelion yang terbawa angin.

Kamu pasti membayangkan bulu si Putih yang berwarna seperti salju, putih bersih. Ya, kamu salah, si Putih itu adalah domba hitam, benar-benar hitam. Gaby yang dulu tidak bisa membedakan nama kedua warna itu, selalu tertukar, maka namanya menjadi si Putih.

Mengganti nama panggilan tidak semudah terbangnya putik dandelion, kamu pasti tahu itu bukan?

Gaby senang dengan si Putih yang berbulu hitam itu.

Sangat senang sampai dia tidak memedulikan domba lainnya. Dia hanya mengayunkan tongkatnya sekali dua kali, lalu tidak fokus lagi pada domba lainnya.

Dia hanya ingin bersama si Putih. Domba lainnya hanyalah domba menyebalkan yang selalu memenuhi ruangan dengan embikan yang saling menimpa, berisik.

Si Putih memang unik, dia berbeda, bulu pada keempat kakinya berwarna coklat muda, kombinasi warna yang tak biasa dimiliki oleh si Putih.

Sejujurnya, aneh memanggil dia si Putih padahal dia punya bulu berwarna hitam dan juga sedikit warna coklat, tapi kalau Gaby menamainya begitu, aku juga harus menceritakannya sama persis. Tidak peduli apakah kamu bingung atau tidak.

Gaby bahagia dengan si Putih. Padahal hanya seekor domba. Alasannya jelas, mamanya tidak bisa selalu bersamanya. Mamanya adalah pelayan di salah satu rumah tempat sering diadakannya pesta teh, jadi selalu ramai dan sibuk.

Rumah itu milik keluarga besar Bertincole, mereka kaya. Pesta selalu Madam Bertincole adakan, bahkan perhiasan yang hilang sudah biasa bagi mereka, hanya perhiasan, kata mereka. Sedangkan Gaby dan Mamanya hanya hidup berkecukupan.

Orang kaya itu pelit, ah, tidak, bukan semuanya, tapi kebanyakan. Jangan mengira kalau Mama Gaby mendapatkan upah besar, itu hanya seperti bermimpi pie apel jatuh dari langit.

Ah, padahal bisa saja mereka menjual domba-domba itu. Namun, Mama Gaby tidak ingin Papa Gaby bersedih karena hal itu. Gaby dan Papanya mirip, sama-sama menyukau domba. Ya, hanya mirip, Papa Gaby mencintai semuanya, Gaby hanya mencintai si Putih. Berbeda bukan?

Pohon jati yang menjulang tinggi menjadi tempat sempurna bagi Gaby, punggungnya bersandar lemas pada batang pohon berkambium itu. Tentu saja dia terus memperhatikan si Putih yang berada di dekatnya.

Jika si Putih ingin makan rumput di tempat lain, maka Gaby juga akan ikut pindah, sekalipun di sana tidak ada pohon untuk berteduh. Namun untuk pergi jauh dari padang rumput seperti ke tebing, Gaby tidak akan membiarkan si Putih melakukannya.

Domba-domba lainnya dibiarkan bebas berkeliaran di atas rumput tanpa pengawasan, Gaby tidak peduli, dia hanya memusatkan perhatian pada si Putih. Dia begitu melekat padanya.

Petang datang melambai di langit, warna jingga sudah tumpah mengenai awang-awang, Gaby menuntun domba-domba miliknya untuk kembali ke lumbung.

Tentu saja, dia hanya mengayunkan tongkatnya sekali dua kali, lalu hanya berjalan memperhatikan si Putih, sesekali mengajaknya bicara. Domba lainnya hanya berjalan asal-asalan, tidak belajar di jalur, tapi untungnya semua kembali ke lumbung.

Cerita si Pengembara [END]Where stories live. Discover now