Jiwa yang Terisi

58 18 0
                                    

Tema: menulis dengan prompt: Karaktermu bertemu dengan seseorang yang seharusnya sudah meninggal.

***

Titik putih di antara hamparan warna hitam, itulah yang ditangkap oleh indera penglihatan Amelia.

Amelia mengerjap matanya berkali-kali, titik putih itu melebar hingga menimpa warna hitam tadi. Buram, semuanya terlihat buram, Amelia mengerjap matanya lagi, semakin lama penglihatannya semakin jelas.

Tangannya memegang kepalanya yang masih pusing, rasanya seperti barusan dihantam oleh benda berat. Amelia mengambil posisi duduk pelan-pelan.

Kebingungan langsung merasuki benaknya, memori terakhirnya mengatakan kalau dia sedang berada di hutan, berdarah, terluka.

Amelia mengedarkan pandangannya pada sekelilingnya. Dia tidak mengenali tempat ini sama sekali. Amelia merasakan bulu halus di tangannya, itu Coco. Ya, setidaknya Coco bersamanya.

Kepala Amelia bergerak sana-sini. Ada Cecilia yang tengah tidur dengan posisi duduk, memeluk kedua kakinya, kepalanya menyentuh lutut.

Amelia tidak tahu apa yang tengah terjadi, kenapa dia bisa berbaring di atas kasur? Apakah dia pingsan tadi? Itulah pertanyaan yang menggelitik benaknya.

Baru saja kaki Amelia menyentuh lantai kayu, Cecilia langsung mengangkat kepalanya, terbangun.

"Amelia, kamu sudah sadar?" Cecilia beranjak dari duduknya dengan mata yang hampir mengatup dan juga dengan tubuh yang terhuyung-huyung.

Amelia diam saja, benar dugaannya, dia pingsan tadi.

Cecilia memeluk Amelia, membuat Amelia tersentak, tidak pernah ia bayangkan seorang Cecilia memeluknya. "Syukurlah, hanya butuh sehari."

"Aku tidak sadarkan diri selama sehari?" Pelukan itu lepas mendadak, lalu Amelia melontarkan pertanyaan, ingin memastikan.

"Kamu terkena racun dari duri vynex yang membuatmu terluka. Kita sedang berada di desa Geleliyo," jelas Cecilia. "Akhirnya kamu sadar."

"Geleliyo itu desa yang bagaimana?" tanya Amelia, ingin mendapatkan informasi lebih. Amelia berasumsi kalau desa ini dihuni oleh penduduk yang baik, mana mungkin Amelia dirawat seperti ini bila penduduknya tidak berhati baik. Meski Amelia tahu betul kalau tidak ada yang benar-benar tulus, tapi setidaknya mereka mau merawatnya.

Belum sempat Cecilia menjawab, Amelia merasakan sesuatu yang aneh pada lidahnya, rasa aneh yang melekat dalam indra pengecapnya.

"Kenapa?" Alih-alih menjawab pertanyaan Amelia, Cecilia malah melempar pertanyaan lain lantaran melihat ekspresi Amelia yang berubah.

"Lidahku, seperti ada rasa tanah."

"Kamu memang diberi makan tanah." Cecilia terlihat sedang menahan tawa, raut seriusnya mendadak hilang, kurasa Cecilia senang karena bisa menjahili Amelia. "Enak 'kan?"

"Tidak." Amelia memperlihatkan ekspresi masamnya. "Ini kedua kalinya aku makan tanah dan ternyata rasanya sama buruknya."

Cecilia mengernyitkan dahi. "Kamu pernah makan tanah sebelumnya?"

"Pernah." Amelia mengangguk. Dia terlihat sehat sekarang, Amelia memang punya daya tubuh yang tidak bisa ditumbangkan dengan cepat.

"Penduduk desa ini memakan tanah sebagai makanan sehari-hari," ujar Cecilia.

Cecilia memberitahu Amelia mengenai Gigilia, keadaan desa sekarang, dan juga dirinya yang harus membantu warga sampai mereka puas. Mereka tidak dibiarkan pergi.

Cerita si Pengembara [END]Where stories live. Discover now