Menunggu Amelia Bangun

39 18 0
                                    

Tema: menulis cerita dengan prompt: Bertemu seseorang di bus yang mengubah pandangan tokohmu.

***

Aku berada di rumah seorang gadis, aku dipindahkan ke sana untuk menganyam dari rotan. Tanaman di sana memang mati, tapi masih ada sisa kayunya. Mereka membutuhkan tas untuk membeli daging di luar.

Tidak ada tumbuhan sama dengan tidak ada hewan, mereka hanya makan tanah, kadang makan hewan yang diimpor, semuanya repot, kenapa Gigilia mengutuk mereka seperti ini hanya karena dia dendam?

Dia bisa saja mengambil jiwa mereka semua lantas menjadi abadi dan pergi. Namun tidak, dia malah menyiksa penduduk kota ini dengan kutukan, sengaja, dia seperti jelmaan iblis saja.

"Kamu masih memikirkan kawanmu?" Gadis berkepang dua itu bertanya padaku, dialah gadis yang kumaksud, gadis yang mengajariku cara menganyam. Aku tidak mengeluh lagi dan aku cepat belajar.

Aku mengangguk, Amelia itu temanku meski baru kenal tiga hari.

"Semoga dia cepat sembuh." Gadis berkepang dua yang bernama Yivi menepuk pundakku. "Kamu mau makan?"

Aku baru saja makan apel beberapa jam yang lalu dan juga kacang yang aku, Amelia dan Coco makan beberapa jam sebelum kami dikejar Baedrut.

"Tapi kami hanya punya tanah yang dicampur garam," lanjut Yivi.

Aku tertegun, mataku mendelik tak percaya. Apa yang Yivi katakan? Makan tanah? Aku tidak salah dengar 'kan?

"Kamu mungkin kaget, tapi itulah yang kami makan setelah ternak kami habis, hanya tersisa itu, beberapa dari kami tidak punya koin untuk membeli daging dari luar, jadi kami hanya makan tanah."

Yivi terlihat kurus, benar-benar kurus. Astaga, mereka menderita sekali di sini. Kalau aku memang punya kemampuan untuk mencabut kutukan, akan langsung kucabut saat ini juga.

"Banyak warga yang mati, tidak banyak yang bertahan. Ada yang hendak keluar, tapi sulit sekali, jauh," jelas Yivi seraya memperhatikan anyamanku yang tentu saja tidak serapi miliknya.

Saat ini sudah malam, kurasa sekitar pukul sepuluh, aku hanya menebaknya saja. Amelia belum juga sadar. Kami berdua menumpang di rumah gadis berbadan kurus ini.

Semoga Amelia sadar saat pagi hari.

"Katanya kamu bukan dari sini, ya?" Pertanyaan itu meluncur keluar dari mulut Yivi, aku membalasnya dengan anggukan. Aku lebih banyak diam saat bersama penduduk di sini, masih tidak suka dengan tatapan mengintimidasi mereka.

"Kamu punya cerita tentang dunia sana?" ucap Yivi membuat aku terkejut. "Seperti kendaraan di sana?"

"Kendaraan?" Aku bertanya dengan suara pelan, ragu.

Yivi mengangguk. "Aku senang mendengar tentang alat transportasi, kata mereka banyak cerita dikisahkan di dalam."

Kalau di kotaku kebanyakan gosip tentang teman sekelas, mana ada kisah menarik seperti yang diceritakan oleh Amelia. Kadang aku naik bus mini saat pulang sekolah, ketika masa sibuk ayah dan ibu yang tidak bisa mengantarku pulang.

"Transportasi apa yang ada di tempat asalmu?" tanya Yivi dengan nada penasaran, aku jadi teringat dengan Amelia yang bertanya kepadaku perihal suasana tempat tinggalku.

Diterangi lampu minyak, aku mulai menjelaskan pada Yivi mengenai apa itu bus, menjelaskan satu kendaraan saja sudah menghabis berpuluh-puluh menit.

"Jadi, di sana ada yang bercerita?"

"Ada, tapi hanya sekedar gosip."

Tepat saat kalimat itu terucap, sebuah kilas balik terputar. Teringat saat aku menahan tangis di dalam bus karena satu kejadian di sekolah. Lalu ada seorang gadis remaja yang menenangkanku.

Cerita si Pengembara [END]Where stories live. Discover now