4 - Anak Kecil yang Bermain Layang-layang

60 11 17
                                    

Dari lantai dua, setiap sudut parkiran mobil dapat dilihat dengan jelas. Dengan mata kepalanya sendiri, Dena memastikan mobil SUV hitam milik Alan belum keluar dari parkiran sampai pukul setengah tiga siang. Sepertinya, Alan kesusahan membawa mobilnya ke bengkel karena keempat bannya kempis. Terlalu berbahaya menyetir mobil yang kondisinya seperti itu. Jalan keluarnya hanya dengan menggunakan jasa derek mobil untuk pergi ke bengkel atau memanggil tukang bengkelnya langsung ke sini. Pilihan yang manapun cukup memakan waktu.

"Walaupun sedikit, gue pengen bantuin Oris." Gumam Dena sambil mengingat kejadian di lapangan basket tadi. Demi menyelamatkan seseorang, Oris dihajar habis-habisan. Ia dianggap aneh bahkan lebih parahnya dianggap gila oleh orang-orang begitu mengatakan yang sebenarnya.

Seharusnya, Alan berterima kasih kepada Oris. Jika bukan karena Oris, ia sekarang berada dalam masalah. Hidupnya juga akan dihantui trauma yang dalam.

Bagi Dena, yang terpenting, masa depan sudah berubah. Alan masih ada di parkiran sekolah sampai pukul setengah tiga siang. Mobilnya tidak bisa dibawa ke mana-mana. Pada akhirnya, Alan dan si anak kecil tidak jadi bertemu di jalan itu pada pukul 14.15.

Buru-buru Dena mengeluarkan ponsel. Ia ingin memberitahu kalau Oris berhasil menyelamatkan si anak kecil dan mengubah masa depan. Tapi, setelah mengetik pesan, Dena baru sadar ia belum punya kontak Oris. Tak menyerah, Dena mencoba mencari nama Oris di grup WhatsApp angkatan. Tapi, tidak ada. Terpaksa gue harus bilang besok, pikir Dena.

Dena pun berjalan menuruni tangga lantai dua. Ia jadi teringat pertemuan pertamanya dengan Oris. Oris bilang dirinya suami Dena di masa depan. Hal itu ia ketahui karena ia bisa melihat masa depan. Tadinya, Dena tidak percaya Oris bisa melihat masa depan tapi sekarang ia percaya. Berarti gue juga percaya Oris itu suami gue di masa depan?

Saat memikirkan hal itu, dada Dena berdebar kencang dan pipinya menghangat hingga menimbulkan rona merah samar. "...Setelah kelulusan, kita bakal menikah." Kalimat itu terus terngiang-ngiang di benak Dena. Kelulusan mereka tinggal tiga bulan lagi. Apa mereka langsung menikah setelah kelulusan?

Lagi-lagi, kalimat Oris terasa rancu. Setelah kelulusan itu bisa tiga bulan, enam bulan, satu tahun, atau bahkan lima tahun yang akan datang. Sejak kemarin, Dena sangat penasaran dengan hal ini. Tapi, tak ada waktu yang tepat untuk membahasnya dan mereka selalu berada di sekolah. Jika ada yang mendengar mereka membahas pernikahan, orang itu pasti akan salah paham.

Bisa-bisa gue dikira hamil di luar nikah, batin Dena sambil geleng-geleng kepala. Daripada pikirannya makin liar, Dena bergegas pulang.

***

Di masa depan, si laki-laki melihat temannya menabrak seorang anak kecil yang sedang bermain layang-layang. Ia berusaha mencegah hal itu terjadi walaupun orang-orang menganggapnya aneh bahkan ada juga yang menyebutnya tidak waras. Akhirnya, si laki-laki berhasil menyelamatkan si anak kecil. Ia mengubah masa depan menjadi lebih baik. Mengetahui kejadian itu, si gadis berjanji dengan dirinya sendiri untuk selalu membantu si laki-laki. Menurut si gadis, pertemuannya dan laki-laki itu adalah takdir.

Dena melanjutkan tulisannya yang berjudul Takdir. Tulisan itu awalnya hanya sebuah cerita pendek. Tapi, lama-lama Dena jadi ingin melanjutkannya sebagai novel. Apalagi, ada editor yang menyarankan hal tersebut.

"Adena Laquitta!" seseorang berteriak tepat di belakang Dena. Tanpa menoleh pun, Dena sudah tahu kalau itu Nora. "Dua minggu lagi UTS tapi kamu masih nulis cerita?!" omel Nora.

"Kakak sayang, ini aku baru nulis satu paragraf kok. Lagian, tadi aku udah belajar di bimbel." Jawab Dena dengan gaya sok imutnya.

Nora menghela nafas. Ia jadi tidak tega memarahi Dena. "Cerita apa yang lagi kamu tulis?" tanya Nora akhirnya. Ia memperhatikan layar laptop Dena. "Oh, yang ini. Cocok banget ya isi ceritanya sama judul yang Kakak kasih?" kata Nora setelah membaca paragraf yang baru saja Dena tulis. Mendengar itu, Dena sedikit merinding.

"Darimana Kakak dapat ide buat ngasih judul itu?" tanya Dena penasaran.

"Muncul tiba-tiba di otak Kakak." Tutur Nora.

Muncul tiba-tiba? Inikah yang disebut takdir? Dena bertanya-tanya dalam hati kecilnya.

"Ngomong-ngomong, bagian baru yang kamu tulis itu terinspirasi dari kecelakaan tadi siang, ya?" celetuk Nora.

Dena mengernyitkan dahinya. "Kecelakaan tadi siang?"

"Kamu nggak lihat berita di tv? Gara-gara ngejar layangan, anak kecil tewas tertabrak mobil."

Deg. Jantung Dena berdegup cepat seperti sedang bermain drum. Padahal, kejadian tadi siang yang dimaksud Nora belum tentu sama dengan kejadian yang dipikirkan Dena. Tapi, hati Dena tetap merasa tidak enak. Tanpa mengatakan apa-apa ke Nora, Dena bergegas keluar kamar lalu menghidupkan tv yang ada di ruang tengah.

Layar tv menampakkan seorang reporter wanita berusia dua puluhan sedang berada di pinggir jalan raya. Terdapat police line tak jauh dari tempat reporter itu berdiri. "Seorang anak kecil berumur tujuh tahun tewas tertabrak mobil minivan di Jalan Tanah Merah pukul 14.15 WIB. Sekarang, saya bersama seorang saksi mata yang menyaksikan kecelakaan tragis itu. Bisa dijelaskan kronologi kecelakaannya, Bu?" si reporter memberikan mic kepada wanita paruh baya yang berdiri di sampingnya.

Pada bagian bawah layar, muncul teks yang menunjukkan nama dan profesi saksi mata yang sedang diwawancarai. Dena terkejut saat melihat profesi saksi mata itu adalah penjual kerupuk keliling. Persis seperti yang dikatakan Oris, batinnya.

Saksi mata itu terlihat masih syok. Ia menjelaskan kronologi kecelakaan secara singkat. Saat itu, mobil minivan sedang melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan yang lengang. Tiba-tiba seorang anak kecil berlari ke tengah jalan untuk mengejar layang-layang. Kecelakaan pun tak terhindarkan. Anak kecil itu meninggal di tempat.

Setelah melihat berita itu, Dena terduduk lemas di sofa ruang tengah. Masa depan memang berubah. Alan tidak melewati Jalan Tanah Merah pada pukul 14.15. Tapi, ada orang lain yang melewati jalan itu dan menabrak si anak kecil.

***

Setibanya di sekolah pagi ini, Dena tidak langsung masuk ke kelasnya. Ia malah menuju kelas Oris di 12 IPA 1. "Dena, lo lupa kelas kita di mana?" kata Reisya heran. Tadi, mereka berdua tidak sengaja bertemu di gerbang sekolah.

"Gue mau ketemu sama Oris." Ujar Dena. Matanya sibuk mencari sosok Oris di seluruh penjuru kelas. Beberapa orang yang sedang berada di dalam kelas menatap Dena dengan pandangan bertanya-tanya.

"Ngapain lo berurusan sama dukun itu?" Reisya sengaja memelankan suaranya agar tak ada yang mendengar. "Lagian, kenapa kemarin lo tiba-tiba nyamperin dia waktu dia lagi berantem sama Alan di tengah lapangan basket? Memangnya lo cewek dia, hah?"

Dena tak menghiraukan celotehan Reisya. Ia malah bertanya ke mana Oris pada salah seorang anak 12 IPA 1.

"Dia izin sakit hari ini," jawab gadis yang rambutnya dikepang. Kebetulan, gadis itu sekretaris di kelas ini. Ia terkejut ada yang menanyakan Oris karena selama ini tidak ada yang benar-benar mempedulikan cowok suram itu.

Setelah tahu kalau Oris tidak masuk hari ini, Dena pergi dari sana dengan lesu. Reisya mengikuti di belakangnya. "Wajar aja dia nggak masuk, Na. Lo lihat sendiri kemarin dia babak belur begitu." Celetuk Reisya.

"Benar juga," Dena baru terpikir.

Menyadari sahabatnya sedang tidak berada dalam mood yang bagus, Reisya tidak bertanya apa-apa lagi. Padahal, ia sangat penasaran apa hubungan sahabatnya itu dengan cowok suram bin aneh bernama Oris Lizio.

***

PrecognitionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang