24 - Peringatan

33 4 1
                                    

Ujian akhir tinggal hitungan minggu. Tapi, bukan ujian yang dipikirkan Oris. Ia sudah tahu semua soal ujian yang akan keluar. Dena lah yang selalu ada di pikiran Oris belakangan ini. Semakin dekat ujian akhir berarti semakin dekat juga hari kematian Dena. Tapi, sampai detik ini, Oris belum tahu apa penyebab kematian Dena.

Apa Kak Nora sudah tahu? Batin Oris. Gue harus tanya langsung ke Kak Nora, lanjutnya. Semua cara harus Oris lakukan untuk menyelamatkan Dena.

"Ris, gue udah siap!" sahutan Dena membuat lamunan Oris buyar. Gadis itu baru saja keluar dari rumah dengan seragam yang sudah rapi. Ia menghampiri Oris yang sedang bersandar di motor matic-nya.

"Kak Nora mana?" tanya Oris.

"Tumben nyariin Kak Nora," selidik Dena.

Oris terlihat salah tingkah. "Gue... mau bicara empat mata sama Kak Nora sekalian minta restu." Jawaban Oris tidak sepenuhnya berbohong karena ia memang berencana ingin meminta restu kepada Nora mengenai hubungannya dan Dena. Bisa dikatakan Nora adalah pengganti orang tua Dena. Restu Nora sangat penting untuk kelanjutan hubungan Oris dan Dena.

"Kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat, Ris." Jawab Dena sambil menundukkan kepalanya. Ia takut Oris kecewa. Sejak tadi malam, Nora seperti sengaja menghindari Dena. Pagi ini adalah pertama kalinya Dena tidak sarapan bersama Nora. Kakaknya itu beralasan sedang tidak enak badan tapi Dena tahu benar kakaknya sedang menghindari dirinya.

"Maaf... gue terlalu buru-buru, Dena." Ucap Oris. Lalu, ia memasangkan Dena helm merah bergambar hello kitty. "Yuk kita berangkat." Lanjutnya seolah tak terjadi apa-apa.

"Seharusnya gue yang minta maaf," gumam Dena saat Oris sudah menghidupkan motor. Ntah Oris mendengarnya atau tidak.

Dena duduk di belakang Oris sambil berpegangan pada ujung kemeja seragam sekolah Oris. Perjalanan mereka ke sekolah kali ini sangat sunyi. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

***

Sesampainya di parkiran motor sekolah, Dena berusaha memecah keheningan. "Ris, lo pilih jurusan apa di UTBK nanti?" tanyanya. Dena baru saja kepikiran kalau ia belum tahu Oris berminat di jurusan mana padahal Oris sekarang... calon suaminya.

Oris terlihat ragu-ragu sebelum menjawab. "Kedokteran,"

"Wow!" Dena menepukkan kedua tangannya sambil menatap Oris kagum. Tadinya Dena memikirkan beberapa kemungkinan jurusan yang akan dipilih Oris tapi kedokteran tidak termasuk salah satu kemungkinannya.

"Jangan natap gue kayak gitu!" Wajah Oris memerah karena malu. "Gue belum tentu lolos ujian." Sambungnya.

"Memangnya lo nggak bisa lihat lolos apa enggak dari masa depan Om Arman atau Kyla?" tanya Dena. Ia masih belum terbiasa menyebut Arman dengan sebutan 'Papa'. Lagipula, ini di sekolah. Dena belum siap orang-orang tahu dia dan Oris akan menikah setelah lulus SMA. Reisya adalah pengecualian. "Mana tahu lo lihat mereka lagi ngucapin 'selamat udah diterima di kedokteran' atau lo ngelihat Om Arman lagi bayarin uang masuk kuliah di masa depan." Celotehnya.

"Gue berusaha nyari diri gue di masa depan mereka tapi nggak kelihatan. Malahan setiap bersentuhan sama mereka, gue ngelihat masa depan yang nggak penting." Cerita Oris kesal.

"Masa depan nggak penting?" Dena menaikkan sebelah alisnya.

"Ya, kayak nanti malam Papa bakal pulang bawain es krim buat gue sama Kyla." Kata Oris sambil menghela nafas.

Dena terkekeh pelan melihat ekspresi kesal Oris. "Itu penting sih. Lo berarti nggak usah cari cemilan lagi buat nanti malam." Candanya.

Oris cemberut. "Sia-sia kemampuan gue ngelihat masa depan kalau yang gue lihat hal-hal kayak gitu terus." Ia menyuarakan isi hatinya. Harusnya yang gue lihat penyebab kematian lo biar gue bisa nyelamatin lo, batin Oris.

Tiba-tiba tangan Dena menyentuh ujung mulut Oris lalu berusaha menariknya ke atas agar membentuk lengkungan senyum. "Jangan cemberut. Lo makin kelihatan suram." Ejek Dena.

Oris menangkap kedua tangan Dena lalu menguncinya di depan dada. "Jadi, lo mau gue kelihatan gimana di sekolah? Kalau penampilan gue nggak suram, ntar banyak yang ngejar gue." Oris menatap Dena tepat di kedua matanya.

Tatapan Oris itu membuat Dena salah tingkah. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Ris, lepasin tangan gue. Bentar lagi banyak yang masuk ke parkiran." Kata Dena, membuat alasan. Ia benci mengakui perkataan Oris barusan benar. Jika Oris memakai seragam yang bersih dan rambutnya disisir rapi, cewek-cewek di SMA Asteria akan mengira Oris orang yang berbeda.

"Oris seganteng apa sekarang?"

Pertanyaan Abel, teman satu SMP Oris, terngiang-ngiang di benak Dena. Padahal sudah tiga tahun Abel tidak bertemu dengan Oris tapi masih saja ingat dengan kegantengan Oris. Hal itu membuat Dena kesal.

Dena berusaha melepaskan tangannya dari Oris tapi tangannya malah makin kuat ditahan cowok itu. Sekarang, Oris malah menyeringai.

"Kalau lo nggak mau lepasin tangan gue, gue bakal teriak ke semua orang di sini lo bisa ngelihat masa depan!" ancam Dena.

Jam masih menunjukkan pukul 06.20 WIB. Parkiran motor masih sepi. Selain motor Oris, tidak sampai sepuluh motor yang terparkir. Pemilik motor yang lain pun kebanyakan sedang berada di kantin atau masuk ke kelas.

"Teriak aja. Paling lo dianggap gila." Gantian Oris yang mengejek Dena.

"Nyebelin!" seru Dena kesal.

Oris tertawa puas sambil melepaskan tangan Dena. Mengerjai Dena membuatnya lupa sesaat dengan tujuan awalnya, mencari penyebab kematian Dena.

Saking asyiknya bersenda gurau, mereka berdua sama-sama tidak menyadari ada yang memperhatikan mereka dari balik tiang parkiran. "Oris bisa ngelihat masa depan, huh?" orang itu mengepalkan tangan.

***

Suara ketukan high heels menggema di penjuru koridor yang sangat gelap. Di ujung koridor itu, terdapat pintu kayu penuh ukiran rumit dan misterius.

Tok tok tok

Gadis yang menggunakan setelan kantor dan high heels berwarna merah marun mengetuk pintu tersebut. Setelah mendengar suara "masuk" dari dalam ruangan, barulah gadis itu membuka pintu. Ruangan di balik pintu tak kalah gelapnya dari koridor. Suasananya sangat suram. Hanya ada seseorang berjubah hitam berdiri di tengah ruangan membelakangi pintu masuk.

"Kenapa memanggil saya?" tanya gadis itu kepada orang berjubah hitam.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Nora." Ucapnya sinis.

Gadis yang tak lain adalah Nora hanya diam membisu. Walaupun orang berjubah hitam itu masih bediri membelakanginya, Nora seperti merasa dirinya sedang ditatap tajam oleh orang itu.

"Bocah itu masih mengubah masa depan orang lain," orang berjubah hitam menekankan setiap kata dalam kalimatnya.

"Dia cuma mencoba mengubah masa depan orang lain. Sampai sekarang tidak ada masa depan yang benar-benar berubah, kan?" balas Nora.

Orang berjubah hitam mengepalkan tangan kirinya. "Beri dia peringatan lagi untuk tidak mencoba mengubah masa depan."

"Baik," jawab Nora singkat.

"Jika dia tidak mendengarkan peringatan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya."

***


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PrecognitionWhere stories live. Discover now