21 - Pengakuan

33 6 0
                                    

Di sinilah Oris sekarang. Ia duduk di coffee shop yang berada tepat di sebelah florist bersama Nora. "Jadi, apa yang mau Kakak kasih tahu?" tanya Oris tak sabaran.

Nora terkekeh pelan. "Minum dulu kopinya, Oris."

Sikap Nora yang terlalu santai membuat Oris sedikit kesal. Gadis yang berusia enam tahun lebih tua dari Oris itu seperti tidak merasa mengatakan sesuatu yang besar sebelumnya.

Oris pun menyesap caramel macchiato pesanannya. Saat minumannya tinggal setengah, ia kembali bertanya pada Nora, "kenapa Kakak bisa tahu aku ada di florist? Dan, kenapa Kakak bisa menyimpulkan aku mau beli bunga buat Dena?"

"Kebetulan kali, ya. Waktu aku bilang Dena alergi bunga, aku cuma mau godain kamu. Aku nggak tahu rupanya kamu benar-benar mau beli bunga buat Dena." Jawab Nora dengan suara yang sangat menyenangkan. Tapi, tatapan matanya tidak menunjukkan hal yang sama.

Lo kira gue bakal percaya? Balas Oris dalam hati. Kalau saja orang yang ada di depannya saat ini bukan kakak dari gadis yang sangat disukainya, Oris mungkin tidak bisa lagi bersabar.

Setelah menarik nafas panjang untuk menenangkan diri, Oris berujar, "Aku bisa ngelihat masa depan. Pasti Kakak udah tahu itu." Sebenarnya, Oris tidak ingin mengakui bahwa ia bisa melihat masa depan pada Nora. Saat di florist tadi, Oris sudah berniat akan berusaha sekuat tenaga untuk menutupi fakta itu. Ia akan mengatakan Nora sudah gila karena mengira ia bisa melihat masa depan. Tapi, lama-kelamaan, Oris merasa perbincangan mereka tidak akan ada kemajuan jika ia tidak mengakui itu. Dan juga, nampaknya Nora tahu lebih banyak daripada yang Oris kira.

"Iya, aku memang sudah tahu." Jawab Nora sambil tersenyum penuh kemenangan. Bagi Oris, respon Nora itu sangat aneh. Oris pikir Nora akan kaget dengan pengakuannya atau penasaran dan menanyakan banyak hal pada Oris.

"Dari mana Kakak tahu? Bukan Dena kan yang cerita?" tanya Oris to the point. "Jangan-jangan... Kakak menyimpulkan sendiri dari cerita berjudul Takdir yang lagi Dena tulis." Tebak Oris asal.

"Mana mungkin." Nora terkekeh pelan mendengar tebakan Oris. "Aku sudah tahu kamu bisa melihat masa depan sejak lama." Lanjutnya.

"Sejak lama?" Oris mengerutkan dahinya. Siapa sebenarnya orang yang ada di hadapannya ini?

"Mungkin kamu sudah lupa kalau kita pernah berpapasan tahun lalu. Waktu itu, aku mau menghadiri acara komite wali murid di sekolah kalian. Kamu sedang berjalan terburu-buru dan nggak sengaja menabrakku. Lengan kita sempat bersentuhan. Aku langsung sadar kalau kamu punya sesuatu yang nggak dimiliki orang lain. Kamu bisa melihat masa depan. Sama sepertiku."

Oris langsung menutup mulutnya yang menganga karena kaget. Ia tak pernah menyangka kalau Nora... juga bisa melihat masa depan.

"Aku kira kamu juga tahu saat itu kalau aku bisa melihat masa depan. Tapi, waktu kamu menjemput Dena di rumah pertama kali, aku sadar kamu nggak tahu." Ujar Nora miris.

"Tapi, gimana caranya Kakak langsung sadar kalau aku bisa ngelihat masa depan?" inilah yang ingin ditanyakan Oris sejak tadi.

"Kita yang bisa melihat masa depan punya jalan takdir yang berbeda dari orang biasa. Mereka punya takdir yang bisa diprediksi. Tapi, kita punya takdir yang tidak dapat diprediksi. Karena kita tahu masa depan yang akan terjadi di sekeliling kita, kita bisa mengubah takdir itu sewaktu-waktu. Kemampuan kita melihat masa depan pun jadi nggak bisa memprediksi masa depan kita sendiri. Harusnya, kamu sadar itu sejak awal. Kamu nggak bisa melihat masa depan dirimu sendiri karena takdirmu selalu berubah-ubah. Itu juga sebabnya kamu nggak bisa melihat masa depanku walaupun kamu memegang tanganku seerat apapun." Jelas Nora panjang lebar.

PrecognitionWhere stories live. Discover now