Bab 30

41 3 0
                                    

Camry hitam itu bergerak memasuki halaman rumah.

Pak satpam bernama Adi itu menutup gerbang tinggi itu kembali.

Seoul meniti kediaman yang pernah dia tinggali itu dari balik kaca depan.

Rumah bergaya arsitektur Yunani dan roma kuno itu. Memiliki empat pilar putih yang berjajar simetris. Dengan teras bertingkat dua dengan sentuhan warna putih dan abu-abu. Sebuah lampu gantung teras menggantung di tega pilar.

Pintu kaca kembar sebagai pintu utama, dengan kaca di setiap sisinya. Juga kaca pada bagian atas.  Ada delapan anak tangga menuju teras.

Sudah hampir lima bulan lamanya dia tidak melihat rumah ini. Rumah yang Farras beli  untuk membangun mahligai rumah tangga dengannya. Rumah yang merupakan hasil jerih payah suaminya selama hampir dua tahun lamanya. Bisa saja ayah Langit membelikan rumah ini untuk putranya, tapi Farras ingin memiliki rumah itu dari hasil kerja kerasnya sendiri. Saat menikah dengan Farras, Farras hanya seorang  General Manager di perusahaan ayahnya sendiri. Itupun berangkat dari karyawan biasa lalu perlahan-lahan naik jabatan dari prestasinya bukan karena dia anak si pemilik perusahaan. Ayah Langit bisa saja langsung menempatkannya di posisi CEO, tapi Farras menolak dan ingin meraih posisi itu dari hasil usahanya sendiri bukan ditunjuk oleh sang ayah untuk menduduki posisi tertinggi di perusahaan. Farras diakui karena kemampuan nya, bukan dari statusnya sebagai anak dari pemilik perusahaan.

Itu yang dia kagumi Farras. Dia menyukai daya juangnya dan sifat pantang menyerahnya. Meski sikap keras kepala pria yang sedang  membuka seathbelt itu sering mendominasi.

Sedih mengerubungi batinnya. Dia tidak akan pernah menetap di rumah ini lagi. Rumah di mana anaknya tinggal di dalamnya.

Farras yang ingin segera menarik tuas. Menjeda gerakannya ketika dia menangkap kesenduan dalam tatapan Seoul. Gadis di dekatnya itu seperti tengah menggali kenangan seakan telah mengenal jauh rumahnya. “Ada apa dengan tatapanmu itu?” ucapnya datar di sisipi keingintahuan.

Seoul mengerjap. Dia menormalkan raut mukanya dan berbicara mengelak, “Tidak apa-apa.” Lalu membuka pintu dan menutupnya cepat. Farras yakin bahwa ada yang disembunyikan oleh gadis itu.

Farras menarik pintu belakang, mengambil paper bag itu dan mendorong pintu cepat. Dia menyorongkan paper sack itu ke Seoul. “Pegang.”

Baru saja akan membantah. Farras lagi-lagi meraih tangannya dan memaksanya untuk membawa kantong kertas yang berisi tas ransel untuk Aksa.

Seoul mendesah kasar menahan sebal. Farras sudah lebih dulu maju menjejaki undakan anak tangga. Seoul mengekorinya dengan paper bag yang berayun pelan.

Dia berjalan memasuki  rumah yang mempunya nuansa yang sama sepeninggalnya dirinya hampir lima bulan ini.

Ruang tengah yang memiliki ruang yang luas dengan sofa yang mengitari meja bulat terbuat dari kaca itu. Dengan lampu Cristal yang menggantung  di atasnya.

Seorang wanita paruh baya yang Seoul kenal yang telah lama bekerja dengannya sejak lama. Pembantu kesayangannya yang dahulu bekerja di rumah orangtuanya dan setelah dia menikah Bi Arti ikut dengannya. “Tuan.”

“Buatkan minuman untuknya.”

Bi Arti mengangguk patuh. Dia bertanya pada Seoul, “Non, mau minum apa?” Yang langsung ditanggapi dengan senyuman oleh Seoul. “Apa saja, Bi,” jawabnya lembut. Dia merindukan assiten rumah tangga itu. Bi Arti memang lebih banyak bicara dari Bi Ratih pembantu rumah tangganya yang lain yang merupakan teman dari Bi Arti. Bi Ratih bekerja setelah dia pindah ke rumah ini. Dia merasa dia butuh assiten rumah tangga lain dan saat dia mendiskusikan ini dengan Farras, pria itu dengan mudah  menyetujuinya dan dia lalu meminta Bi Arti untuk mencarikan pembantu lain untuk mengurangi beban Bi Arti.  Kemudian wanita berdaster itu segera ke dapur.

Wanita yang Ku Cintai (End) Where stories live. Discover now