[14]

1.1K 54 0
                                    

______________________________________

HAPPY READING
JANGAN LUPA TOMBOL ☆ NYA
______________________________________

🌻🌻🌻


Nasha mengedarkan pandangannya ke sekeliling saat pintu lift terbuka. Lantai ini sangat sepi. Sepertinya lantai ini memang diperuntukkan kepada petinggi perusahaan. Tentu saja, salah satunya adalah Gibran.

Nasha tersenyum canggung membalas tundukan kepala hormat dari sepasang manusia yang berada tidak jauh dari ruang kerja Gibran. Nasha duga mereka adalah sekretaris dan asisten pribadi Gibran.

Gibran membawa Nasha masuk ke dalam ruang kerja miliknya. Nasha menatap takjub ruang kerja Gibran yang begitu luas. Ruang kerja ini didominasi dengan warna hitam. Di sisi samping dan belakang ruangan, tersaji pemandangan luar yang menyejukkan mata karena hanya dibatasi oleh dinding kaca. Di ujung ruangan ada meja kerja Gibran dan beberapa buah sofa yang memang sengaja diletakkan di dalam ruang kerja ini.

Nasha melangkahkan kakinya ke dinding kaca di samping ruangan. Dia menatap kagum pemandangan di depannya. Dari sini Nasha bisa melihat dengan jelas deretan gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi kota. Mobil-mobil yang berlalu-lalang nampak sangat kecil baginya.

Gibran tersenyum lebar melihat reaksi menggemaskan Nasha. Tangannya terulur untuk mengacak rambut Nasha yang sukses membuat Nasha menatapnya sebal.

“ih kan berantakan rambut gue jadinya” omel Nasha.

Gibran terkekeh tidak peduli dengan omelan Nasha. Dia malah suka Nasha mengomel seperti itu. Karena ekspresi di wajah Nasha memuat Gibran ingin segera menciumnya sekarang juga. Tapi Gibran mengurungkan niatnya itu. Nanti. Dia bisa melakukan hal itu sepuasnya nanti. Nanti. Atau mungkin, sebentar lagi? Who knows.

Nasha memutarkan tubuhnya menghadap Gibran dengan ekspresi lebih kesal dari sebelumnya. Nasha baru ingat dengan tingkah menyebalkan dua orang resepsionis di bawah tadi. Tentu saja dia akan melancarkan aksinya untuk mengadu pada Gibran tentang dua orang resepsionis jadi-jadian yang sudah menghancurkan moodnya hari ini.

“gue mau protes sama lo. Lo itu kalau rekrut pegawai yang bener dong. Masa iya lo rekrut pegawai yang enggak sopan kayak mereka” seru Nasha menggebu.

Gibran menaikkan sebelah alisnya. “Siapa yang kamu maksud?”

“resepsionis di bawah tadi. Mereka itu nyebelin banget. Masa mereka natap gue kayak ngejek gitu karena tadi gue bilang mau ketemu sama lo dan belum bikin janji. Gue enggak mau tau ya, lo harus hukum mereka. Gue kesel banget tau! Pokoknya lo harus hukum mereka. Berani-beraninya mereka ngejek gue kayak gitu, ih!”

Nasha menghentakkan kakinya kesal. Membuat Gibran tertawa melihatnya. Nasha lagi-lagi menatap Gibran sebal.

“kok lo malah ketawa sih, nyebelin banget. Ck, gue pulang aja kalau gitu” ancam Nasha.

Gibran menahan tangan kanan Nasha mencegah gadis itu untuk bergerak dari tempatnya berdiri. “okay, nanti saya pecat saja mereka. Cuma dua orang itu? Ada yang lain?” tanya Gibran santai.

Nasha yang mendengar itu langsung kelabakan. “y-ya jangan dipecat juga dong. Kasian tau, kamu tega banget sih main pecat-pecat mereka”

Gibran tersenyum miring karena Nasha mulai menggunakan aku-kamu. Sepertinya ia mulai tau kebiasaan Nasha akan menggunakan lo-gue padanya kalau sedang kesal. Seperti sebelumnya. Dan kini, Nasha kembali menggunakan aku-kamu sesuai permintaan Gibran beberapa waktu yang lalu.

“Loh katanya saya harus menghukum mereka. Satu-satunya hukuman bagi mereka adalah dipecat. Kenapa? Kamu berubah pikiran? Enggak mau mereka dipecat?”

Nasha menhembuskan napasnya pelan. “ya udah lo enggak usah hukum mereka. Gue maafin mereka kali ini”

Gibran mengelus kepala Nasha sayang. “good girl. Kamu ternyata pemaaf ya”

Nasha mendelik tajam pada Gibran. Kenapa sih pria ini suka sekali memegang atau mengelus kepalanya. Apa Gibran tidak tau jantung Nasha selalu berdisko ria saat Gibran melakukan gal itu. Dasar tidak peka!

Tidak lama kemudian terdengar suara pintu yang diketuk pelan. Gibran menyuruh orang dibalik pintu untuk masuk. Ternyata dia sekretaris wanita Gibran. Wanita muda berpakaian formal itu membawa sebuah nampan berisi dua buah cangkir. Setelah meletakkan dua cangkir itu di atas meja, ia pamit undur diri.

Gibran menuntun Nasha untuk duduk di sebuah sofa panjang yang ada di ruang kerjanya. Dia menyuruh Nasha minum dengan gerakan kepala yang langsung disetujui oleh Nasha. Nasha juga merasa sangat haus setelah perang emosi di lobby tadi dengan resepsionis kantor Gibran.

“kamu kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan ke saya?” tanya Gibran saat melihat Nasha yang mulai duduk dengan gelisah.

Nasha diam mendengar pertanyaan Gibran. Dia memainkan jari-jarinya gelisah. Sebenarnya niat Nasha ke sini untuk memberikan jawaban pada Gibran. Dia sudah memikirkan jawaban ini hampir selama satu bulan. Cukup lama hingga wajah Gibran selalu terbayang di otaknya setiap hari.

Nasha tidak tau apa yang dilakukannya ini benar atau tidak. Dia sudah mempertimbangkan segala hal sebelum mengambil keputusan ini. Nasha hanya berharap keputusan yang diambilnya ini akan membuat hidupnya jadi lebih bahagia. Begitu juga dengan keluarganya. Karena dia akan menjadi seorang istri sebentar lagi.

Benar.

Seorang istri.

“Sha?”

Nasha menatap wajah tampan Gibran. “hm.. aku..aku berubah pikiran. Aku terima lamaran kamu”

🌻🌻🌻


Next [15]

Diagonal HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang