Prolog

245 22 2
                                    

Bayangan sebuah mimpi,
Lagi dan lagi....

____________________________________________________

Jemari lentiknya menorehkan setiap kata yang begitu indah pada sebuah kertas yang baru saja diambilnya sembarang dari buku pelajarannya. Gadis itu bukan tipikal orang yang suka mengoleksi buku harian, melainkan ia lebih nyaman menuliskan sesuatu di kertas selembaran kosong, dan kemudian disimpannya dengan rapih di dalam tas atau di dalam kamar sehingga orang tidak mudah menemukannya.

Kata demi kata ia rangkai menjadi frasa yang indah, seakan menjadi kesenangan tersendiri untuknya. Dengan menyendiri ia merasakan sebuah ketenangan di hatinya, hal tersebut sesuai dengan kepribadiannya yang tenang namun tidak terlalu kaku.

“Fahimaa... dari tadi gue nyariin lo di perpustakaan, dan ternyata lo malah di sini. Emangnya lo nggak takut  apa di sembunyiin genderuwo duduk di belakang kelas sendirian. Malah sunyi lagi” suara cempreng sahabatnya tiba-tiba menyeruak ke dalam indra pendengarannya. Ia yakin, ketenangannya akan segera berakhir jika sudah bertemu dengan sahabatnya yang satu ini. Alhasil, Fahima masih tidak bergeming.

“Iiiii.... kebiasaan deh loh Fah, gue udah ngoceh, lo malah pasang wajah datar kayak gitu” wajahnya ia sengaja dibuat-buat menjadi cemberut, agar Fahima mau meresponnya.

“Terus aku harus ngapain?” ujarnya santai tanpa beban sambil sedikit menoleh ke belakang, sebenarnya ia sudah tahu betul apa yang diinginkan sahabatnya itu. Tapi ia pura-pura cuek.

Cindy semakin memanyunkan bibirnya, ia berjalan ke arah Fahima dengan kakinya yang ia sengaja dihentak-hentakkan ke tanah. Lalu ia ikut duduk di samping Fahima yang hanya beralaskan rumput yang cukup lebat namun terhampar dengan rapih. Menyadari itu, Fahima langsung menyelipkan selembar kertas yang di tulisnya tadi ke dalam buku catatan Bahasa Indonesianya. Meskipun Cindy adalah sahabatnya, bukan berarti ia harus mengetahui segala hal kehidupannya.

Ketika kita ingin menceritakan sesuatu tentang kehidupan kita kepada orang lain, maka kita harus pandai memilah mana yang pantas untuk diceritakan dan mana yang harus disimpan sendiri. Itulah prinsip yang selalu ia pegang sampai saat ini.

“Bilang aja, apa yang harus aku bantu” ujar Fahima sedikit menoleh ke samping, dan secepat itu raut cemberut tak lagi nampak di wajah gadis itu. Ia hanya cengengesan tak jelas.

“Hehehe... tau aja lo” gadis itu tersenyum memperlihatkan giginya yang putih dan rapih. “Lo mau nggak temenin gue buat nyari bahan untuk praktikum besok?”

“Jam berapa?”

“Nanti selepas pulang sekolah, kita langsung pergi ke pasar aja. Takutnya kalau nunggu balik dulu, nanti kita pulangnya kemaleman”

Fahima tampak mengernyitkan dahi “ Memangnya kita harus nyari apa aja sampai selama itu?” ia sedikit bingung, kalau hanya untuk mencari bahan untuk praktikum kan mudah saja, apalagi bahannya tidak terlalu sulit di dapatkan.

“sekalian temenin aku ke Mall buat beli gaun untuk acara ultahnya Revan”.

“Revan?”

“Iya, dia abangnya Arga.” Fahima meresponnya hanya dengan anggukan.

Kriinnggggg.......

Bel berbunyi pertanda jam istirahat sudah selesai. Kadua sahabat itu langsung bergegas menuju kelas, mereka mempercepat langkahnya karena Pak Bahar guru matematika yang terkenal sangat disiplin yang akan mengisi jam pelajaran. Tanpa Fahima sadari, kertas selembarnya terjatuh di atas rerumputan dekat tempatnya duduk tadi.

***

Seorang remaja laki-laki lengkap dengan seragam SMA-nya yang bisa dibilang jauh dari kata Rapih tengah mengumpat habis-habisan, ia sangat kesal dengan sahabat-sahabatnya  yang mengajak janjian ketemu di belakang sekolah setelah jam pulang dan nyatanya mereka tidak datang. Ia kemudian memutuskan untuk langsung pulang dengan ekspresi yang sangat sulit terbaca, ia menendang apa pun yang ada di depannya untuk menumpahkan segala kekesalan hatinya.

FAHIMA✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang