45. Perbedaan

2.3K 426 58
                                    

"Aku bawa mobil sendiri, ya?"

Pemuda yang baru saja tiba dimeja dapur itu bersuara setelah mengambil sepotong roti yang sudah diberikan selai. Orang tuanya, Alan dan Alin menatapnya bingung.

"Enggak!" Alin angkat bicara sekaligus mengangkat gelas ditangannya.

"Aku mau jemput Naura," ucap Rakan malas.

"Biasanya 'kan juga jemput Naura, sama Pak Aryo aja biar aman. Nanti keluyuran lagi," decak Alan lalu mengambil beberapa lembar roti lagi.

"Ck! Tau ah!" Rakan pergi tanpa pamit dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Ia nekat membawa mobil sendiri setelah mendapat anggukan ragu dari Pak Aryo.

"Arkan pergi, padahal 'kan belum dikasih bedak." Alin menggerutu lalu menghampiri kursi suaminya.

"Ayah aja yang pakai bedak, gimana? Hore!"

Alan belum menjawab, tetapi bubuk-bubuk bedak bayi sudah tersapu pada wajahnya. Si kucing sesekali mengeong, mungkin menertawakan kejadian tersebut.

Klakson mobil berbunyi beberapa kali, membuat Naura sesegera mungkin keluar dari rumah. Naura menyerngit, apa hari ini mereka tidak disupirkan oleh Pak Aryo. Ia pun masuk kemobil dengan agak was-was.

"Rakan?" panggil Naura saat mobil sudah tancap gas.

"Lo udah sarapan? Kalau belum, itu ada roti sama susu kotak. Tadi gue mampir minimarket."

Naura mengangguk saja lalu meraih roti tersebut kemudian memakannya. Setibanya disekolah, Rakan turun kemudian membukakan pintu untuk Naura. Mereka berjalan bersama, tak ada seulas senyum pun yang Rakan lontarkan pada beberapa siswa-siswi yang menyapa mereka.

Tidak seperti Arkan biasanya.

"Naura!" sapa Selvi saat gadis itu tiba dikelas. Naura menoleh kebelakang, kemana pemuda disampingnya tadi. Tak ingin berlama-lama berada diambang pintu kelas, Naura pun masuk lalu duduk disamping Selvi.

Rakan berhasil menemukan keberadaan Salman, dengan sangat kasar ia menarik pemuda yang tengah berjalan santai sendirian itu kedalam sebuah ruangan.

"Heh! Maksud lo apa!?" Salman mengumpat kesal.

"Jauhin Naura! Gue nggak suka liat lo, sok baik sama dia!" Rakan melonggarkan dasinya dengan satu tangan yang sudah terkepal.

"Santai, men! Gue emang baik sama Naura, enggak sok." Salman tersenyum meremehkan.

Bugh!

"Sialan!" Salman terhuyung dengan sudut bibir yang lebam akibat tamparan Rakan beberapa detik lalu.

"Gue nggak main-main! Gue nggak bakal biarin siapa pun ngedeketin, Naura! Termasuk elo!" ucap Rakan bengis kemudian menendang tulang kering kaki Salman.

Rakan masuk kekelas dengan santainya kemudian duduk dikursi, Rehan dan Gilang belum datang begitu pun Salman. Saat yang ia tunggu-tunggu tiba, Salman masuk kekelas dengan langkah pelan tatapannya tertuju pada pemuda yang sedari tadi tersenyum miring padanya.

Naura memperhatikan mereka dengan ekspresi bingung. Ia pun berniat menghampiri Rakan namun guru sudah memasuki kelas disusul beberapa siswa lain termasuk Rehan dan Gilang.

"Kalian duluan aja," ucap Naura pada Rehan dan Selvi yang hendak pergi setelah mendengar bel istirahat. Rehan dan Selvi pun pergi disusul oleh Gilang yang berlari membawa beberapa bungkus kacang dari tasnya.

Naura melirik Salman yang nampaknya masih kesakitan. Ia menghampiri Rakan tanpa keraguan.

"Em..." Naura menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Elo yang ngebuat Salman jadi kayak gitu?" tanya Naura pelan namun berhasil membuat jantungnya berdegup kencang saat tatapan tajam pemuda itu tertuju padanya.

"Dia pantas dapetin itu," balas Rakan lalu mengajak Naura keluar dari kelas.

"Liat aja! Gue bakal balas perbuatan lo!" Salman mengepalkan tangannya masih mencoba menahan rasa sakit dikakinya akibat tendangan Rakan tadi pagi.

Rakan berjalan bersama Naura. Ia melirik gadis disampingnya yang sedari tadi hanya diam dengan pandangan lurus kedepan.

"Arkan!"

Keduanya menoleh, Lara menghampiri mereka dengan lari kecil dan senyuman. Hal itu membuat Naura kesal saja. Lara menyodorkan sebuah kertas pada pemuda dihadapannya.

"Ini undangan pembukaan cabang cafe tempat gue kerja. Nanti malam jam---"

"Gue sibuk," potong Arkan tanpa menerima kertas tersebut. Naura menerimanya dan hendak membaca namun tiba-tiba tangan Rakan menarik kertas tersebut kemudian merobeknya tepat dihadapan Lara.

"Enggak penting." Rakan menarik Naura menjauhi Lara. Naura sempat menoleh kebelakang pada Lara yang memungut kertas tersebut dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Rakan. Rakan."

Naura menghentikan langkahnya, terpaksa pemuda disampingnya juga berhenti.

"Kenapa?" tanya Rakan bersender pada tembok didekatnya.

"Oke, gue tau lo mau buktiin kalau Lara itu nggak ada dihati lo. Tapi cara lo salah." Naura melipat tangannya didada.

"Lagian, apa salahnya lo terima undangan nya. Meskipun elo nggak pergi juga," sambung Naura menatap pemuda itu dengan wajah kesal.

"Gue nggak salah, emang benar kok. Lara itu nggak penting di hidup gue," bela Rakan dengan santainya.

"Tapi dia nggak tau kalau elo bukan Ark--"

Kalimat Naura terhenti saat matanya menatap kilatan cahaya pada manik mata Rakan. Keberaniannya menghilang, Naura berlalu dengan langkah santai kemudian berlari saat Rakan mulai mengejarnya.

"Naura!"

Suaranya terdengar jelas bahkan sampai mengundang perhatian beberapa siswa. Naura tiba dikantin kemudian duduk bersama Rehan, Gilang dan Selvi.

"Arkan mana?" tanya Gilang bingung.

"Enggak ada--"

"Maksud gue, diluar." Naura gelagap mendekatkan posisi duduknya dengan Gilang takutnya Rakan akan berbuat hal diluar kendali.

Rehan menatap Naura dengan tatapan dingin. Tangannya tergerak menggenggam lengan Naura kemudian membawanya keluar dari kantin. Selvi dan Gilang hanya menampilkan tatapan lugu.

"Arkan nggak ada?" tanya Rehan setelah mereka tiba dikoridor yang cukup sepi.

"Ada! Tadi lo nggak liat?" tanya Naura balik dengan ekspresi panik memperhatikan sekitar.

Rehan menatap sekitar, ada apa dengan Naura.

"Terus, maksud lo Arkan---"

Naura menahan napasnya saat sebuah genggaman berada ditangan kanannya dengan sangat kuat.

"Ngapain sih?" tanya Rakan pada Naura dan Rehan.

"Bukannya gue minta lo tunggu didepan toilet, malah disini sama dia." Rakan mengambil alih Naura dari Rehan kemudian membawa gadis itu menjauh.

"Dia? Maksudnya gue?" Rehan bergumam sendiri lalu kembali kekantin menghampiri Selvi dan Gilang.

"Aw!" Naura meringis meminta pemuda disampingnya untuk melepaskan genggaman tersebut. Namun nampaknya Rakan tak peduli.

Satu hal yang Naura pahami bahwa Arkan tak pernah memperlakukannya dengan kasar. Sedang Rakan, lebih mementingkan ego dibanding perasaannya.

Mungkin itu yang terlintas dikepala Naura saat menatap Rakan dari samping dengan rahang kokoh dan tak ada seulas senyum pun diwajah tampannya.

Naura menghentikan langkahnya. Membuat Rakan menyerngit, masih enggan melepaskan genggamannya.

"Arkan..." panggil Naura dengan mata berkaca-kaca.










TBC
Ada yang nanya kenapa harus ada Rakan? Karena aku mau bikin konflik yang berbeda dari cerita kebanyakannya😁

Arkan X NauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang