58. Hari Minggu

1.9K 349 50
                                    

"Masa gagal sih!" ucap seorang pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah.

"Ngeroyok Arkan aja nggak bisa! Buat apa gue bayar kalian! Sini balikin!" Salman menarik kerah baju salah seorang dari beberapa pemuda dihadapannya.

"Argh! Jangankan ngeroyok Arkan! Ngeroyok mobilnya aja nggak mampu! Malah motor kita pada yang penyok! Tuh liat!" ucap pemuda bernama Dikta pada Salman setelah melepas paksa cengkraman Salman di lehernya.

"Kita hampir ditabrak sama dia!" tambah yang lain dengan kesalnya. "Udah ah gue mau cabut! Persetan kalau lo kakak kelas gue!" ucapnya lagi kemudian pergi dengan membawa salah seorang temannya.

"Nih! Gue balikin!" Dikta menyerahkan kembali sejumlah uang pada Salman.

"Heh! Tunggu!" cegah Salman saat Dikta hendak pergi. "Kalau kalian nggak bisa ngeroyok Arkan, kalian bisa 'kan nyulik ceweknya?" tanya Salman dengan senyum licik.

"Upahnya tiga kali lipat deh, gimana?" tanya Salman lagi.

"Maksud lo, Naura?" tanya Dikta.

Salman mengangguk mantap.

"Gue nggak berani, bye!" Dikta pergi diikuti semua temannya meninggalkan Salman sendiri digudang kosong tak jauh dari tempat dimana Dikta dkk menghadang mobil Arkan.

"Sial!" umpat Salman geram dengan menendang tembok.

Arkan tiba dirumah, ternyata sang ibu tercinta sudah menyambut dengan senyum lebar dan hewan peliharaan yang berada digendongannya.

"Hai Bunda," sapa Arkan santai.

"Bukannya salam," ucap Adis yang ternyata berada disofa ruang tamu, santai sambil bermain ponsel.

"Salam," ucap Arkan menghampiri ibu dari Rehan itu.

"Arkan, kamu ini ya." Adis menatap pemuda itu dan membiarkannya duduk disampingnya.

"Rehan mana? Mami kira mampir kesini juga," tanya Adis.

"Rehan pacaran terus, sama Selvi. Tau 'kan? Nikahin aja, nanti terjadi yang enggak-enggak loh, secara Rehan itu keturunan papi Ken," celoteh Arkan membuat Adis tertawa terbahak-bahak.

Alin menghampiri dengan perut buncit yang sudah terlihat. Kok perut Alin buncit? Kepo.

"Arkan, nanti beliin Bunda---"

"Kok Arkan sih?" potong Arkan menggerutu.

"Ih terus siapa? Kucing?" Alin mengangkat si kucing dan menunjukkan wajah tertekan kucing itu pada Arkan. Lagi-lagi Adis tertawa.

"Adek Arkan kenapa sih? Minta yang aneh-aneh terus, beliin ini, beliin itu. Belum juga lahir udah morotin uang ayah," omel Arkan melipat tangannya didada.

"Hus, nggak baik ngomong gitu," ucap Adis menepuk lengan Arkan.

"Semoga aja pas Naura hamil nggak minta yang aneh-aneh..." ucap Arkan dengan santainya berhasil membuat Adis terdiam begitu pun Alin.

"Nanti! Ya ampun! Nanti... Yaelah, ah udah ah. Tau ah kesel, Arkan mau mandi!" Arkan langsung pergi dengan wajah memerah menahan malu.

"Arkan aneh..." ucap Alin.

"Emang lu kaga?" tanya Adis pada wanita itu.

"Enggak lah! Alin 'kan imut, lucu dan menggemaskan, kayak kucing." Alin berucap dengan percaya diri, Adis hanya geleng-geleng kepala dengan tatapan jengahnya.

Mentari kembali menampakkan sinarnya, Arkan terbangun menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh.

"Gue telat!"

Arkan X NauraWhere stories live. Discover now