Bab 2 - Buaya darat

15.1K 1.9K 26
                                    

Aku tidak akan keluar ruangan, sekalipun ketika makan siang. Harusnya hari ini, kalau Firza memang serius, ia akan menagih jawabanku atas pertanyaannya. Jangankan menemukan jawaban, aku justru merasa curiga dengan lamarannya yang dadakan itu.

"Jadi, gimana dengan lamaran mantan terindah? Udah diterima?"

Danni beberapa menit lalu muncul di ambang pintu ruanganku. Sudut bibirnya tertarik tinggi dan matanya berpendar jahil. Tanpa perlu kutanya, aku bisa menebak kalau ia berniat membahas curhatanku tiga hari lalu.

"Nyebelin lo, Bang! Nyesel gue cerita sama lo."

Danni menyeringai. "Jadi, gimana? Lo udah ketemu mantan hari ini?"

"Belum," sahutku. "Gue bingung, Bang. Kalau nanti ketemu, gue harus bilang apa ke dia?"

Samar-samar dari luar ruangan terdengar suara gaduh. Derit kaki kursi, dengung orang berbincang disertai derap langkah kaki. Pagi ini Laboratorium Dasar memang dipenuhi mahasiswa tingkat pertama. Ada jadwal untuk briefing praktikum.

"Kok udah beres aja sih?" Danni menggerutu malas. "Gue balik ya, Tay. Ada anak yang janji mau ambil surat pengantar buat magang. Kabarin gue ya, kalau nanti lo ketemu calon suami."

Aku mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan kalimat Danni. Kebisingan tersebut memang pertanda bahwa briefing telah selesai. Itu berarti dosen yang bersangkutan bisa melanjutkan aktivitasnya. Masalahnya, dosen tersebut adalah Firza. Aku jelas panik, karena ada kemungkinan laki-laki satu itu akan mampir ke ruanganku.

Satu-satunya tempat pelarianku hanya ruang sempit di balik gorden. Keluar dari ruangan akan sangat beresiko. Aku bisa saja berpapasan dengan Firza persis di depan pintu. Jadi, lebih baik aku mengendap dalam ruangan. Tapi, belum sempat aku melakukan niatku itu, suara Danni terdengar.

"Nyat, ada yang nyariin nih."

Ya Tuhan.

"Jadi," Firza melangkah masuk, menutup pintu di belakang punggungnya, "lo mau enggak nikah sama gue?"

"Enggak," tolakku cepat. "Mau lo tungguin sampai kapan juga, jawaban gue tetap sama."

"Apa yang salah emang dengan menikah sama—"

Suara ketukan disusul dengan dibukanya daun pintu, menghentikan kalimat Firza. Seorang lelaki muncul di sana. Seingatku, ia adalah salah satu mahasiswa bimbingan Firza. Wajahnya terlihat panik sementara napasnya pendek-pendek.

"Pak, a-ada kecelakaan di lab gara-gara pekerjaannya Elok bermasalah," katanya tergesa.

Firza melesat keluar, sementara aku terbengong di tempat. Lihat kan, Firza bahkan tidak melirikku barang sejenak, apalagi berpamitan. Hanya dengan mendengar nama gadis itu saja, Firza langsung meninggalkan apa pun yang sedang dilakukannya.

Yang seperti begitu mau menikahiku?

***

Firza tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Harusnya aku bersyukur, karena itu berarti aku lepas dari keharusan menjawab ajakan menikahnya. Nyatanya aku justru tidak tenang. Rasanya aku ingin mengomel panjang lebar, tapi tidak tahu harus kualamatkan pada siapa.

Aku memastikan komputer telah dalam keadaan mati sebelum meninggalkan ruangan. Keadaan gedung Departemen Teknik Elektro sudah sepi. Lampu yang biasanya menerangi seisi bangunan lima lantai ini sudah dipadamkan. Hanya berkas sinar redup yang mengintip dari kaca pada pintu Ruang Instrumentasi, yang terlihat sejauh mataku memandang.

Dalam kondisi sendiri dan gelap seperti ini, ucapan Danni suatu waktu malah terngiang.

"Gedung ini katanya berhantu loh, Nyat."

I Still Do [Selesai]Where stories live. Discover now