Bab 5 - Aku tidak mau mati muda

16.5K 2.2K 30
                                    

Seharian ini sudah tidak terhitung banyaknya aku memandangi pintu ruangan Firza. Namun, penghuninya tidak kunjung nampak. Padahal, sepengetahuanku, hari ini Firza tidak ada jadwal mengajar. Jadwal bimbingan dengan mahasiswanya juga tidak ada. Entah apa yang dilakukan lelaki itu di balik pintu kayu tersebut.

"Ketuk sana." Danni menyikutku. Sejak datang pukul delapan tadi, aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di ruang TU. Danni sendiri tidak berkomentar. Ia sibuk dengan kerjaannya, entah apa.

Aku menggeleng. "Gengsi dong, Bang," kataku tanpa sedikit pun mengalihkan pandang.

"Daripada lo mati penasaran?" balas Danni.

Kemarin sore, aku menumpahkan unek-unek tentang Firza dan ancaman laki-laki itu. Respons Danni hanya tertawa. Sama sekali tidak membantu.

"Menurut lo, dia bakal minta apa, Bang?" tanyaku, mengabaikan kalimat Danni barusan.

"Paling dia ngancem lo biar mau nikah sama dia. Mungkin dia bakal ngebocorin lulusan terbaik macem lo punya riwayat nilai Matematika mengenaskan waktu SMA."

"Enggak usah diperjelas juga kali, Bang."

Semasa kuliah, boleh saja aku menerima gelar lulusan terbaik berpredikat cumlaude dengan IPK nyaris sempurna. Namun, tidak ada satu pun orang yang tahu, semasa SMA aku selalu berada di peringkat terbawah karena langganan nilai merah di mata pelajaran Matematika. Bodohnya, aku malah menjadikan nilai UAS Matematikaku sebagai taruhan.

Dari target sebesar delapan puluh, aku kurang dua poin. Kertas ulanganku berakhir di tangan Firza. Aku tidak pernah menyangka, setelah sekian tahun berlalu, kertas itu kembali menyerangku. Kupikir Firza sudah membuangnya!

"Tapi gue salut sama lo, Nyat. Patah hati malah bikin lo terpacu, bukannya mewek enggak jelas." Danni akhirnya menoleh padaku. Senyumnya terkembang. Sejurus kemudian tangannya terangkat lalu mendarat di puncak kepalaku. Aku bisa merasakan ia mengelus pelan. "Hebat banget lo."

"Iyalah, gue gitu, Bang." Aku mengangguk, bangga dibuat-buat hingga menyulut tawa Danni.

"Lo sempet mewek enggak sih, waktu ditinggal pergi sama dia?"

Aku mengedikkan bahu, mengulas senyum sebagai jawaban. Jelas air mataku bercucuran kala itu. Tapi, biar saja Danni menebak sendiri.

"Tapi, Bang, masa sih dia segitunya sampai ngancem gue?" tanyaku sangsi. Sejujurnya, aku bukannya takut orang lain tahu soal kebodohanku semasa SMA. Lagi pula, Firza hendak menunjukkannya pada siapa? Ke rekan kerja kami di sini? Apa gunanya coba?

"Bisa aja, kalau dia emang sengebet itu mau nikah sama lo." Bahu Danni terangkat santai. Ia menyikutku seraya memberi kode agar melihat ke arah pandangnya.

Pintu ruang kerja Firza terbuka lebar. Di depannya, Firza tampak sedang berbicara dengan Bu Lina. Mimik keduanya serius. Lelaki itu mengangguk beberapa kali sebelum akhirnya menyudahi percakapan dengan Bu Lina.

"Gue cabut dulu, Bang," pamitku, melesat meninggalkan Danni, menuju Firza yang memasang ekspresi terkejut ketika melihatku. Mengabaikan raut tersebut, aku menarik Firza hingga kembali masuk ke dalam ruangan. Kututup pintu rapat-rapat agar tidak ada yang mendengar.

"Kemarin, yang lo maksud permintaan ... apa?" tanyaku ragu. Semoga bukan apa yang diduga Danni. Selain dari itu, kumohon.

"Oh," seringai Firza terbit, "nikah sama gue. Itu permintaan gue."

Mungkin sebaiknya Danni banting setir jadi tukang ramal. Dia bisa tidak ya, meramal masa depan hubunganku dengan Firza?

"Gimana?"

"Lo enggak tau malu atau gimana sih?" tanyaku tak habis pikir. "Gue kan udah bilang enggak mau." Kupandangi ia lekat-lekat. "Selain itu, selain yang satu itu ... apa aja. Asal lo balikin kertas ulangan gue." Aku harus mendapatkannya kembali. Aku tidak mau ada benda apa pun lagi yang menghubungiku dengan Firza. Cukup flash drive—yang belum juga mampu untuk kubuang hingga kini.

I Still Do [Selesai]Where stories live. Discover now