Remember Me | 26

242 20 9
                                    

"Adara janji bu, pulang nanti Adara udah bawa gelar kuliah Adara. Habis itu kesini, bahagiain ibu. Kita cerita sepanjang waktu kalau ibu mau. Jadi, Adara izin untuk beberapa tahun ini tinggal jauh dari jangkauan ibu."

Adara menggengam erat kedua tangan wanita yang paling ia sayang. Menatap kedua mata yang sudah diliputi kerutan.

"Ibu tahu kan, Adara anak hebat? Adara pasti jaga diri, bu. Untuk ibu, untuk kedepan nanti habisin waktu sama ibu."

"Mungkin akan sulit, tapi Adara percaya, Ibu bisa membiasakan tak Adara di sekitaran ibu. Tapi harus ibu ingat, Adara akan selalu di hati ibu. Hati Adara disini, bu. Selalu bersama ibu."

Adara mengusap air mata yang terjatuh dari wanita yang sangat amat ia hormati. Memberikan senyuman, walaupun dalam dadanya ikut sesak. Sungguh ini berat.

Adara melihat tangannya yang diusap lembut. Kemudian kembali melihat sang ibu.

"Janji selalu sehat?"

Adara mengangguk.

"Janji akan kembali?"

Adara mengangguk. "Tentu. Rumah Adara disini bersama ibu."

Dengan berat hati, sang ibu mengizinkan. Mengangguk lalu tersenyum. Namun air matanya kembali keluar. Ia masih tak percaya jika ia akan ditinggal oleh anak gadisnya.

"Ah ibu, jangan menangis terus." Adara bergerak memeluk ibunya.

Menggigit bibir bawahnya. Menahan sesak luar biasa di dadanya.

"Janji pulang dengan selamat ya, nak."

"Adara janji, bu."











"Adara janji, bu."



















"Adara janji."





















"Adara janji."























"Janji."



























"Ibu!!"

Adara terbangun dengan nafas terengah, berat, dan cepat. Dia meraba dadanya, jantungnya berdegup 3× lipat dari biasanya.

Dia shock, terlihat sekali dari mata dan tangan yang bergetar. Melihat sekitar, dinding putih mengelilinginya.

Seketika, ia teringat kejadian-- ia langsung menyentuh lehernya.

Masih tercetak jelas diotaknya, bagaimana ia merintih, kehabisan nafas, dan mati. Tidak, maksudnya hampir. Iya dia hampir mati. Kenyataan sekarang ia di ranjang dengan infus ditangan, memberitahunya jika dia belum mati.

Adara menangis. Bukan karena semalam, dia hanya khawatir janjinya tak bisa ia lakukan. "Ibu~ Adara hampir saja mengingkari janji kita."

Dia tak bisa membayangkan itu. Meninggalkan sang ibu, dalam arti yang sangat lama. Adara belum membahagiakan ibunya. Tujuan terbesarnya belum ia wujudkan.

Tapi mengingat hal kemarin, dia ragu. Apa dia benar-benar bisa menepati janjinya?

"Ibu, aku takut."

Dia semakin terisak. Rasa bersalah, khawatir, takut, dan cemas menguasainya.

Sampai-sampai dia tak mendengar ada yang membuka pintu.

Remember Me | Park JiminWhere stories live. Discover now