Remember Me | 4

350 39 0
                                    


"Selamat Park Sajang."

"Selamat ya."

"Wih, selamat Jim."

Yang bisa Jimin tunjukkan adalah senyum palsunya, berpura-pura senang padahal tidak. Pura-pura bahagia pada kenyataannya tidak sama sekali. Ini ia lakukan untuk formalitas saja.

Hari ini, beberapa menit yang lalu ia telah resmi memiliki tunangan. Bukan atas pilihannya, tapi kedua orangtuanya. Sebut saja perjodohan, karena memang itu adanya.

"Satunya tampan, satunya lagi cantik. Ah kalian pasangan yang serasi."

Jimin kembali menunjukkan senyumnya, padahal risih saat tangannya ada yang memeluk.

"Ah terima kasih. Jangan lupa juga, dia pria yang baik." Puji tunangannya itu sambil melihat ke arah Jimin, dan Jimin harus membalasnya dengan senyuman.

"Kamu terlalu sering memuji." Kata Jimin. Wah, betapa bangganya ia saat menyadari aktingnya yang kelewat bagus. Mereka seperti pasangan yang berbahagia.

"Aku izin ke toilet sebentar."

Wanita yang menjadi tunangannya itu melepaskan tangan yang tadinya memeluk lengan Jimin. Pamit pada tamu, kemudian pergi ke toilet.

Sampai di toilet ia memandang cermin, menggerakkan rahang yang pegal akibat terus-menerus tersenyum. Ah, rasanya dia sudah seabad melakukannya walaupun kenyataannya baru beberapa jam.

"Eoh, kau disini Jim?"

Jimin tak menengok, ia melihat orang itu dari cermin. Keluar dari salah satu bilik kemudian melangkah menuju wastafel di sampingnya.

"Bagaimana?" Tanyanya sambil membasuh tangan.

Jimin menghela nafas. "Kau sendiri mungkin tahu, rasa keterpaksaan itu seperti apa."

Orang itu terkekeh, mengeringkan tangannya terlebih dahulu sebelum membalas Jimin.

"Sekarang mungkin belum, tapi aku yakin kau akan menerimanya. Dia gadis yang baik menurutku."

"Dan itu menurutmu, bukan menurutku. Lagi pula, aku benar-benar tak tertarik dengannya. Dia itu bukan tipeku, sama sekali."

Untungnya di toilet hanya mereka berdua. Jadi, Jimin tak perlu lagi menyembunyikan semuanya.

"Mau tipemu atau bukan, aku sarankan kau harus belajar menerimanya. Lagipula, sampai kapan kau melajang, eoh? Kau udah pantas beristri, Jimin."

"Aku masih ingin sendiri, hyung."

"Kenapa?"

Jimin menatap sekilas orang yang ia panggil Hyung itu. Entahlah, dia juga tak tahu kenapa ia masih ingin sendiri, kenapa ia tak ingin berpacaran, apalagi menikah. Ia bahkan tak pernah memikirkan hal itu.

"Kau tidak sedang menunggu seseorang kan, Jim?"

Jimin langsung menengok, pupil matanya melebar. Terkejut dengan pertanyaan sahabat sekaligus hyungnya itu.

"Kenapa hyung bicara seperti itu."

Orang itu mengedik, "Aku hanya sekedar menebak. Lagian kau betah sendiri terus, kencan pun tak pernah, ya kan?"

"Hyung, aku selalu sibuk dengan perusahaan. Aku mana ada waktu berkencan."

"Kau selalu ada waktu untuk berkencan, hanya saja kau tak menggunakan waktu itu." Balas orang itu membuat Jimin bungkam.

"Aku tak tahu jelas kenapa dan apa alasan mu masih memilih untuk sendiri sampai sekarang. Tapi, kau harus benar-benar mencoba membuka hatimu. Entah itu kepada tunangan mu sekarang atau perempuan lain. Yang penting kau harus mulai cari seseorang untuk pendamping masa depanmu kelak."

Jimin memijat pangkal hidung pelan. Perkataan hyungnya itu benar. Dia harus mulai memikirkan masa depannya yang tak mungkin akan terus sendiri.

Menepuk pundak Jimin dua kali, orang itu pergi keluar toilet. Meninggalkan Jimin dengan renungannya.

**

Acara sudah selesai. Jimin berniat pulang ke apartemen sebelum suara mengintruksinya untuk berhenti dan berbalik. Terlihat ibunya tengah melihat ke arahnya, dan jangan lupa tunangannya juga yang berdiri di samping ibunya itu.

"Antarkan Hae Na pulang, Jim. Aku tak mau calon menantu ku pulang sendiri."

"Eoh, eommonim, gwenchana. Aku bisa pulang sendiri. Lagipula Jimin oppa terlihat lelah, dia harus istirahat."

"Tidak, kau harus diantar Jimin. Aku tak mau terjadi apa-apa padamu, lagipula kalian sudah bertunangan."

Hae Na melihat Jimin. Seperti meminta pria itu untuk berbicara.

"Ayo, aku antar pulang." Kata Jimin lembut namun terkesan datar bagi Hae Na. Ia tahu kalau Jimin tak menginginkan pertunangan ini, Hae Na pun sebenarnya sama tapi apa boleh buat ini permintaan kedua orang tuanya.

"Nah, itu Jimin mau. Sudah sana, jangan lupa langsung istirahat ya."

Hae Na mengangguk. "Aku pulang dulu, eommonim."

Hae Na berjalan mendekati Jimin. Tersentak saat Jimin mengulurkan tangannya. Ah, sepertinya Hae Na tahu kalau Jimin sedang berakting di depan ibunya. Hae Na pun menerima uluran tangan itu dengan senyuman canggung.

"Aku pergi dulu, eomma. Pastikan eomma langsung pulang, jangan ada acara lain lagi." Kata Jimin pada eommanya. Kemudian pergi dengan menggandeng tangan Hae Na.

Sampai di tempat mobil, Jimin membukakan pintu untuk Hae Na, yang tanpa mengucapkan apapun langsung masuk.

"Ee, oppa bisa menurunkan ku di depan, seterusnya aku bisa pulang sendiri." Kata Hae Na yang memecah keheningan.

Jimin tak sejahat itu. Menurunkan seorang perempuan ditengah jalan dan diwaktu yang sudah menunjukkan tengah malam.

"Ini sudah tengah malam, kau ingin aku menurunkan mu di jalan? Kau tak takut?"

Hae Na mengerjap. Benar juga apa yang dikatakan Jimin. Bisa saja kan saat dia menunggu, ada kejadian yang membahayakan dirinya.

"Dan aku tak sejahat itu menurunkan perempuan di tengah jalan. Jadi duduklah dengan tenang, aku akan mengantarmu sampai rumah."

Hae Na mau tak mau menurut. Tersenyum tipis saat ia sesekali mencuri pandang ke Jimin yang sedang fokus menyetir, tampak tampan sekali. Siapa sih perempuan yang tak terpesona dengan Jimin. Baik, tampan, pintar, pengusaha muda, pokoknya Jimin itu idaman para hawa. Dan Hae Na tak menyangka dari ratusan bahkan mungkin ribuan pengagum CEO muda itu, dialah yang menyandang tunangan dari lelaki itu. Ini mimpi indah bagi Hae Na sendiri, walaupun ia tahu Jimin sangat terpaksa melakukannya. Tapi bolehkah Hae Na berharap, berharap lelaki itu menerima dirinya yang kemudian berakhir saling mencintai? Ah, sepertinya Hae Na akan berjuang akan hal itu. Berjuang meluluhkan hati Jimin.

"Sudah sampai." Seru Jimin. Membuat Hae Na yang melamun tersentak.

"Sudah sampai, ya?" Kata Hae Na yang terlihat seperti orang bodoh. Ia menunduk pelan ke Jimin. "Terima kasih sudah mengantarku pulang, oppa. Dan maaf mengambil sedikit waktu istirahat mu."

"Tidak apa-apa, lagian sudah jadi tugas ku juga. Aku kan tunanganmu." Jimin tersenyum. Hae Na bahkan berdegup melihatnya. Namun segera saja ia buru-buru keluar mobil. Ia tak mau berharap banyak akan senyuman tadi. Dia tahu, Jimin itu ramah jadi tak salah memberinya sebuah senyuman tadi. Tapi ada yang menggangu pikirannya. Sebuah kalimat yang membuat Hae Na terdiam.

"Hati-hati, oppa." Ucap Hae Na tersenyum kaku. Jimin mengangguk sekilas kemudian pergi meninggalkan Hae Na.

Hae Na memegang dadanya. Jantungnya tengah berdetak keras. Dan juga kalimat tadi yang masih ada diingatannya.

"Sudah jadi tugas ku juga, aku kan tunangan mu."

Salahkan Hae Na jika berharap lebih setelah itu?

**

Jimin tunangan dong😋 Semoga bahagia aja, wkwk

16 Mei 2020

Remember Me | Park JiminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang