BABY SHOWER

27.8K 845 16
                                    

"Yuk," Rio mengajak gue keluar. 

Mobil yang dikendarai Rio sudah sampai di depan rumah Kak Marsha yang juga merupakan rumah keluarga Rio ketika mereka belum pindah ke Jakarta. Walaupun gaya arsitekturnya terlihat tua, namun rumah ini tidak kalah besar dengan rumah keluarga Rio di Jakarta. Malah mungkin lebih besar. 

Gue mengikuti Rio keluar dari mobil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue mengikuti Rio keluar dari mobil. Dia langsung menggandeng tangan gue. Mata gue memandang ke arah gandengan tangan itu sejenak. Rio menggenggamnya dengan erat. Hangat. Ini adalah gestur yang tidak pernah dilakukan Mas Adrian kepada gue. Mas Adrian tidak mau hubungan kami diketahui publik, maka Mas Adrian sama sekali tidak pernah menggandeng gue. Ketika berjalan bersama Mas Adrian, mungkin gue lebih terlihat seperti asistennya dibandingkan sugar baby.

Genggaman tangan Rio ini membangkitkan perasaan yang sudah lama tidak gue rasakan. Ini bukan hanya sekedar genggaman. Di dalam genggaman ini,  gue merasa dicintai, dilindungi, dan juga diberikan kenyamanan. Rasanya hampir sama seperti saat ibu menggandeng gue waktu kecil. Perbedaannya adalah saat ini rasa itu diberikan oleh laki-laki yang bisa saja gue sebut pacar, jika gue menerima pengakuan cintanya beberapa jam yang lalu.

Ketika kami masuk ke dalam rumah besar itu, mata seorang wanita berbinar-binar melihat sosok Rio. "Mario, adik kakak!" sahut wanita itu. Dia pasti Kak Marsha. Meski perutnya besar karena sedang hamil 7 bulan, tapi wajahnya tetap cantik dan berseri-seri. Kulitnya putih bersih bagaikan malaikat dan rambutnya ikal panjang tertata rapi.

"Eh, dateng-dateng bawa cewek cantik. Ini teh siapa, Rio?" Kak Marsha melihat ke arah gue.

"Ini Ilona, kak. Teman aku," jawab Rio yang ternyata juga sering dipanggil Mario oleh keluarganya. Marlo, Marsha, dan Mario. Sekarang gue tahu ternyata Om Hendrik menamai ketiga anaknya dengan huruf awal M.

"Halah, teman apa teman? Pacar juga nggak apa-apa kok," kata Kak Marsha membuat pipi gue dan Rio menjadi merah.

"Teman kak," kata gue sambil menjabatkan tangan, "salam kenal kak, nama aku Ilona."  Kak Marsha menyambut jabatan tangan gue dengan lembut.

"Ih, geulis pisan. Meuni pinter si Mario pilih pacar," kata Kak Marsha memuji penampilan gue lagi.

"Kenal sama awewe cantik, tapi nggak dijadikan pacar. Meuni bodoh pisan Mario teh. Kalah sama papa waktu masih muda," kata seorang pria paruh baya yang tiba-tiba menghampiri kami. Pria paruh baya itu tidak lain adalah Om Hendrik, papa Rio. Lalu dia tertawa terkekeh-kekeh seperti biasa.

"Ini Ilonanya yang nggak mau jadi pacar Rio," kata Rio membela diri. Mendengar itu, gue langsung mencubit tangan Rio karena malu. Rio spontan berteriak karena cubitan gue yang cukup keras. Kami semua pun tertawa di ruangan itu.

"Ini tamunya belum pada datang ya, kak? Ada yang bisa aku bantu nggak?" kata gue menawarkan bantuan karena melihat dekorasi pesta yang belum sepenuhnya rampung.

"Oh, banyak, Ilona.  Ini tolong bantuin kakak rapihin meja yang di situ ya. Itu pajangan-pajangan kecil yang ada di meja disingkirin aja, masukin ke kamar kakak. Takut kesenggol tamu pas lagi acara. Rio bantuin kakak pasang balon ya di sebelah sana ya. Selotip sama guntingnya udah ada di sana. Bisa kan? Papa nggak usah ngapa-ngapain, duduk aja, istirahat, biar nanti nggak capek. Oke?" 

"Oke, kak," jawab gue. 

Gue dan Rio lalu mengerjakan tugas kami masing-masing. Gue membereskan pajangan kecil yang ada di meja dan memasukkannya ke dalam sebuah kardus. Semua pajangan ini souvenir dari luar negri. Gue nggak heran kalau Kak Marsha dan keluarga Rio sudah pernah traveling ke beberapa negara. Selesai membereskan pajangan-pajangan tersebut, gue mencari kamar Kak Marsha.

"Kak, kamarnya yang mana ya?" tanya gue pada Kak Marsha.

"Kamu jalan terus aja ke belakang. Kamar pertama yang ada di ujung kiri itu kamar kakak. Nanti kamu langsung masuk aja. Nggak ada orang kok," kata Kak Marsha.

"Oke, kak."

Gue menyusuri ruang tengah rumah besar ini. Ternyata ada sebuah danau di halaman belakang rumah yang sangat cantik. Sesuai instruksi dari Kak Marsha, gue masuk ke kamar paling ujung kiri di rumah tersebut. Kamar tersebut juga cantik, jendelanya langsung menghadap ke danau. Pasti damai sekali bangun pagi dengan pemandangan danau yang indah seperti ini.

Di meja rias dalam kamar tersebut terdapat foto-foto dengan pigura putih. Karena penasaran, gue melirik foto-foto itu. Ada foto Kak Marsha sendiri, foto Kak Marsha dengan Rio, dan foto Kak Marsha dengan suaminya. Gue lihat lebih dekat untuk tahu wajah suami Kak Marsha. Wajah suami Kak Marsha tersebut terlihat familiar. Hidungnya, matanya, alisnya, dan rahangnya yang ditumbuhi rambut tipis terlihat seperti seseorang yang sangat gue kenal. Gue lihat lagi foto itu lebih dekat dengan seksama. Betapa kagetnya gue ketika menyadari bahwa itu adalah wajah Mas Adrian waktu masih muda. 

Ya Tuhan, apa selama ini Mas Adrian sudah punya istri? Dan Kak Marsha adalah istri dari Mas Adrian?!

Bisa-bisanya Mas Adrian menjadikan gue sugar baby, padahal Kak Marsha, istrinya, adalah wanita yang cantik dan baik hati. Parahnya, istrinya itu sedang hamil! Sementara minggu lalu dia masih mengajak gue ke private beach di Bintan untuk berbuat hal yang terlarang. Gue merasa kelakuan gue selama ini benar-benar bejat. Kalau Kak Marsha, Rio, dan Om Hendrik tau tentang hal ini, pasti mereka akan sedih. 

Perasaan bersalah ini membuat kepala gue pusing dan perut gue mual. Gue butuh air putih. Tanpa air putih, gue bisa pingsan karena kalut. Dengan padangan yang sedikit kabur, gue mencari Rio untuk minta air putih. Gue melihat seorang laki-laki dengan baju kemeja putih sedang memasang balon. Itu pasti Rio, tadi dia juga sedang memasang balon dan memakai kemeja putih. Gue raih lengan laki-laki itu.

"Rio, minta minum," kata gue kepada lelaki itu.

Laki-laki itu membalikkan badan dan berkata, "Ilona, apa yang kamu lakukan di sini?"

Ternyata laki-laki itu bukan Rio, tapi Mas Adrian. Seketika pandangan gue menjadi jelas. Sekarang rasa pusing dan mual yang tadi gue alami berganti menjadi marah. Mata gue melotot melihat dia dan tanpa berpikir panjang, gue berkata pada laki-laki itu, "Mas Adrian juga ngapain di sini?"


PENGAKUAN SEORANG SUGAR BABYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang