UNDANGAN OM HENDRIK

21K 745 29
                                    

"Menurut lo, gue harus temuin Mas Adrian di Fairmont nggak, Ngrid?" tanya gue pada Ingrid yang sore itu datang ke rumah gue untuk memastikan bahwa kondisi kesehatan gue baik-baik saja.

"Menurut gue sih lo tetap harus temuin dia ya, Lon. "

"Tapi kalau dia minta ciki-ciki gimana?"

"Ciki-ciki? Apaan tuh?"

"Itu lho, masak nggak tau sih."

"Ooooooh," dengan wajah terperanjat, Ingrid membulatkan bibirnya seperti donat. Matanya melotot hampir keluar. Ingrid cepat menangkap maksud perkataan gue. "Maksud lo ena-ena?" tanya Ingrid secara retoris. Dia hanya ingin mengonfirmasi.

"Iye," jawab gue singkat karena sebal dengan reaksi Ingrid yang berlebihan.

"Emang lo nggak mau? Kan enak."

"Sembarangan ya lo, Ngrid," kata gue. Gue menatap Ingrid kesal. Gue sepertinya harus menjelaskan panjang lebar ke Ingrid kenapa gue galau untuk bertemu Mas Adrian.

"Begini ya, Ngrid. Kondisi gue saat ini benar-benar sudah ingin menyelesaikan semuanya. Ibaratnya kalau bisa nggak ketemu lagi sama kakak beradik itu seumur hidup, mending gue nggak usah ketemu deh," kata gue.

"Yakin?" tanya Ingrid dengan tatapan dan senyuman menggoda gue.

"Kali ini yakin. Kalau lo mau sama Mas Adrian, silakan!" kata gue.

"Oke oke. Kalo menurut gue sih ya, lo tetap ketemu dia besok malam. Yang perlu lo inget-inget adalah tujuan lo ketemu dia. Lo itu ketemu dia untuk menyelesaikan masalah. Lo harus bilang dengan tegas ke dia kalau lo nggak mau lagi ketemu dia," kata Ingrid.

Inilah gunanya Ingrid dalam hidup gue. Dia selalu memberikan petuah yang membuat gue mengangguk-angguk setuju.

"Eh, tapi kalau lo putus sama Mas Adrian, uang jajan lo gimana?" tanya Ingrid.

"Nggak apa-apa, gue masih punya tabungan dan ada barang-barang yang bisa gue jual."

"Oke... I think there is nothing that holds you back buat putus sama Mas Adrian."

Tiba-tiba Tante Erni mengetuk pintu kamar gue. Dari luar dia memanggil nama gue. Gue membukakan pintu kamar gue untuk Tante Erni.

"Ada apa, tante?" tanya gue pada Tante Erni.

"Ada supirnya Pak Hendrik datang mencari kamu," kata Tante Erni pada gue, lalu dia langsung pergi begitu memberitahukan info itu kepada gue.

Ingrid yang dari tadi sudah berusaha menguping langsung bertanya, "om Hendrik itu siapa? Sugar daddy lo yang baru?"

"Sembarangan! Itu papanya Rio sama Mas Adrian," jawab gue.

"Hah? Ngapain supirnya nyariin lo?"

"Mana gue tau."

"Ya udah, temuin gih."

Gue berjalan ke pagar rumah untuk menemui supir yang diutus Om Hendrik ke rumah ini. Sebenarnya gue malas beranjak dari tempat tidur, apalagi jika harus bertemu dengan orang.

"Ada apa ya, Pak?" tanya gue pada supir Om Hendrik.

"Pak Hendrik ingin bertemu Nona. Saya disuruh datang untuk menjemput," kata supir itu.

Gue kaget dengan jawaban supir itu. "Ada urusan apa dengan saya?" tanya gue.

"Saya kurang tahu, Non."

Gue sebenarnya bertanya-tanya kenapa Om Hendrik ingin bertemu gue. Apakah agar gue berubah pikiran dan menerima lamaran anaknya? Jika iya, itu adalah hal yang sia-sia karena apapun yang akan dia lakukan tidak akan mengubah pendirian gue.

Namun, karena gue menghormati Om Hendrik yang selalu bersikap baik dan ramah kepada gue, maka gue putuskan untuk menerima undangan dari Om Hendrik.

"Saya siap-siap dulu ya, Pak," kata gue pada supir Om Hendrik.

Gue kembali ke kamar dan memberitahu Ingrid bahwa Om Hendrik ingin menemui gue. Gue menawarkan kepada Ingrid untuk menemani gue bertemu dengan Om Hendrik, tapi Ingrid menolak. Dia berkata tidak ingin ikut campur terhadap urusan gue. Mungkin ada benarnya juga, biarkan lah Ingrid tetap bersifat netral, agar dia selalu bisa memberikan petuah yang waras pada gue yang hidupnya penuh drama ini.

***

Supir Om Hendrik mengantarkan gue ke sebuah restoran Korea di daerah Senayan. Sebetulnya gue sedang menghindari daerah ini karena lokasinya yang dekat dengan kantor Mas Adrian. Gue tidak ingin bertemu Mas Adrian di area ini secara tidak sengaja. Jika bukan Om Hendrik yang mengundang, mungkin gue akan menolak undangan dadakan ini apalagi ketika mengetahui bahwa lokasi pertemuannya di Senayan.

Ketika sampai di restoran, seorang pelayan mengantar gue ke sebuah bilik privat  di restoran tersebut yang sudah direservasi oleh Om Hendrik. Sesampainya di bilik itu, gue mendapati Om Hendrik sedang melahap samgyeopsal sendirian dengan nikmat. Mulutnya belepotan karena makanan. Aura kocak Om Hendrik sama sekali tidak berubah meskipun sudah banyak drama kehidupan yang sudah gue lalui bersama kedua anak laki-lakinya.

"Ilona!" sapa Om Hendrik dengan mulut penuh dengan samgyeopsal ketika melihat gue. Dia berdiri dari kursinya dan langsung memeluk gue. Gue bingung. Sejak kapan Om Hendrik menyapa gue dengan cara memeluk?

"Ayo, duduk. Mau pesan apa? Di sini makanannya enak," kata Om Hendrik.

"Nggak perlu repot-repot, Om. Ilona cuma bisa sebentar aja," kata gue.

"Kamu nggak perlu sok-sok diet. Udah cantik. Buktinya anak laki-laki Om semuanya pada suka sama kamu," kata Om Hendrik santai sambil melahap satu tangkap samgyeopsal dengan kedua tangannya.

"Kalau boleh tahu, kenapa Om undang Ilona ke sini?" tanya gue.

"Cuma mau ngobrol aja. Kemarin Rio cerita sama Om tentang hubungan kalian," Om Hendrik masih berkata dengan pembawaan santai seolah yang terjadi antara gue, Rio, dan Mas Adrian bukan sesuatu yang dramatis. Sementara itu, pipi gue mulai merah padam. Gue tidak tahu sedetail apa hal yang diceritakan Rio kepada ayahnya, yang jelas gue malu kalau Om Hendrik sampai tahu bahwa gue adalah sugar baby -nya Mas Adrian.

"Lalu apa lagi yang Rio ceritakan, Om?" tanya gue sambil menunduk.

"Ah, biasa lah, masalah anak muda," kata Om Hendrik, "tapi Om sedikit kecewa kamu menolak Rio. Padahal dia benar-benar mencintai kamu."

"Ilona benar-benar minta maaf, Om."

"Tidak apa-apa. Ilona kan masih akan jadi calon menantu Om."

"Lho, memangnya Om belum tahu kalau Ilona juga sudah menolak lamaran Kak Marlo?"

"Oh ya?"

"Iya, Om."

"Oh, untung lah kamu menyelamatkan diri kamu."

"Maksudnya bagaimana, Om?"

"Nanti juga tahu sendiri. Ya sudah, yuk makan! Ini enak banget lho!" kata Om Hendrik sambil memperagakan cara makan samgyeopsal. Dia tidak berhenti berbicara panjang lebar, "jadi dagingnya ini kamu taruh di atas daun, lalu kamu kasih kimchi di atasnya lagi. Kalau mau taruh side dish yang lain juga boleh, ini namanya banchan. Cobain. Enak lho!"

Pertemuan malam itu berakhir dengan perut yang hampir meledak karena terlalu kenyang. Sepanjang makan malam, Om Hendrik sibuk bercerita tentang makanan-makanan enak yang pernah dia santap di beberapa negara yang pernah dikunjunginya. Dia tidak menyinggung lagi kelanjutan kisah Rio dan Marlo alias Mas Adrian. Kesempatan itu tentu saja gue pakai untuk bermain aman. Gue tidak mau mengatakan hal-hal yang membuat gue malu dan sungkan. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal. Kenapa Om Hendrik berkata gue sudah menyelamatkan diri dari Mas Adrian?

PENGAKUAN SEORANG SUGAR BABYWhere stories live. Discover now