Part 47

318 18 5
                                    

Perawatan Dea tidak memerlukan waktu lama, mengingat luka yang ada hanya di bahu sebelah kiri saja. Tidak terjadi dislokasi bahu juga, sehingga tidak diperlukan fisioterapi medik. Kini, setelah diperbolehkan pulang, Mario memilih untuk pulang ke rumah Brian dan Mentari. Alasannya cukup simple, karena ayah bundanya itu adalah dokter. Walaupun Brian adalah dokter kandungan, dan Mentari adalah dokter mata tapi setidaknya jika terjadi sesuatu hal, Mario bisa langsung bertanya kepada ayah bundanya itu.

"Istirahat dulu ya De. Ntar kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama mbok." Mario masih dengan hati-hati membaringkan Dea di ranjangnya.

"Dea udah gak apa-apa bang. Udah sembuh juga kok." Jawab Dea. Sebenarnya dia sudah sangat bosan ketika diminta untuk istirahat

"Ya udah, tapi gak boleh yang berat-berat aktivitasnya. Tetep kalau udah berasa gak nyaman atau nyeri harus istirahat." Ujar Mario.

"Bang, kalau besok Dea main ke rumahnya kak Feinya boleh ya bang? Besok kan ayah sama bunda ke rumah sakit. Jadinya kalau di rumah sendirian sepi." Dea dengan hati-hati meminta ijin kepada Mario.

"Ya sama aja De. Feinya kan juga harus ke rumah sakit." Mario benar juga. Feinya walaupun tengah dalam kondisi hamil, tapi masih tetap ke rumah sakit. Dia masih belum mengambil cuti hamil walaupun sudah sangat membatasi jam kerjanya. Feinya juga hanya tugas di shift pagi saja, sehingga tidak terlalu menyusahkan.

"Kak Feinya bilangnya cuman sampai jam sembilan aja di rumah sakit. Jadi ya abis itu Dea ke sana-nya. Ini udah janjian kok." Sahut Dea sambil menunjukkan aplikasi chatting di ponselnya. Mario akhirnya mengalah. Ada benarnya juga jika Dea hari ini ke rumahnya Feinya. Setidaknya ada teman yang diajak ngobrol. Mario hanya mengangguk saja menyetujui permintaan istrinya itu. Dea langsung tersenyum begitu melihat Mario mengiyakan permintaannya itu.

***

Sore hari, Mario kembali kantornya. Dia langsung menuju ke rumah Brian. Diedarkan pandangannya pada seluruh bagian rumah, namun dia masih tidak mendapati keberadaan Dea. Yang ada di rumah hanyalah asisten rumah tangga saja.

"Mbok, ini semuanya kemana? Sepi banget rumah. Ayah bunda udah pulang dari rumah sakit kan?" Tanya Mario kepada salah satu asisten rumah tangga di sana.

"Kalau bapak belum sampai mas. Trus ibu sama mbak Dea ada di rumah depan" yang dimaksud rumah depan oleh asisten rumah tangga Brian itu adalah rumah Tian. Dugaan Mario benar, setelah rumah Brian dan Tian hanya terpisah jalan, pasti kejadian ini akan sering terjadi.

"Oh, udah lama mbok mama sama Dea main ke rumah Tian?" Mario lanjut bertanya.

"Pagi jam sepuluh, mbak Dea ke rumah depan trus pas jam tiga ibu datang dari rumah sakit. Nyusul juga mbak Dea ke sana. Gitu mas" Mendapati jawaban itu Mario hanya tersenyum ringan. Setelah mengganti dengan baju yang santai Mario bergegas menuju ke rumah Tian.

"Eh, De, tahu gak kalau abang itu udah ngincerin kamu itu udah lama lho. Tahu gak sih waktu itu......."

"Ekhem...." Feinya, Dea dan Mentari langsung menoleh ke arah sumber suara. Mario melangkah santai menuju ke arah tiga wanita yang sekarang sedang duduk manis sambil menikmati cemilan dan teh.

"Dasar ya emak-emak. Kalo gak nge-gosip kayaknya ada yang kurang gitu ya" Mario lalu berbaring santai di samping Dea.

"Emang tadi ngomongin apa aja De sama Fei?" Tanya Mario santai sambil tangannya mengambil cookies.

"ABANG...." Jawab serempak Dea dan Feinya.

"WHAT??" Mario langsung beranjak dari tidurnya dan kini duduk. Tentu saja dia penasaran, apalagi Feinya tipe orang yang gak terlalu bisa menjaga apa yang akan dikatakannya.

"Omongin apaan coba?" Mario lanjut bertanya. Dia tidak bisa menahan penasarannya.

"Kak Fei tadi cerita soal abang waktu di kampus, pernah kejedot sama meja waktu makan bakso. Trus juga waktu kak Fei salah panggil namanya abang. Katanya waktu itu abang dipanggilnya yoyok ya?" Mario langsung merah padam menahan malu. Ternyata Feinya masih mengingat bagaimana bagaimana peristiwa memalukan saat mereka pertama kali bertemu dan belum mengetahui jika mereka adalah kakak dan adik

"Teerrruuusss... Permaluin aja abangnya sendiri... Cerita aja semuanya aib abangnya sendiri. Dasar adek gak punya akhlak kamu Fei" Mario langsung memasang wajah kesal. Melihat suaminya memasang wajah kesal untuk satu hal yang konyol, Dea lalu memegang tangan Mario lalu mengelus wajah Mario.

"Gak usah ngambek gitu dong bang. Masak gitu aja ngambek sih bang"

"Eh, bang, ceritain dong waktu di kamarnya Dea. Itu emang abang sama Dea ngapain sampe ranjangnya jebol parah gitu?"

"FEEEIIINNNYYYAAA....." Mario menggeram. Wajahnya langsung merah padam, paduan antara marah dan malu bercampur jadi satu.

"HAHAHAHAHAHA...." Bukannya takut dengan Mario, Feinya malah tertawa kencang.

"Udah ah udah. Ini udah sore. Fei, kalo kita makan malamnya di sini gak apa-apa ya? Kok mendadak bunda pengen makan malam di sini ya" Mentari menengahi keributan antara Feinya dan Mario.

"Oke bun. Fei telpon dulu kak Tian." Feinya lalu menghubungi Tian dan memintanya untuk pulang lebih cepat. Dia juga mengabarkan jika Brian, Mentari, Mario dan Dea juga ikut makan malam di rumah mereka.

Jangan pernah mengharapkan makan malam yang tenang jika ada Tian dan Mario dalam satu lokasi. Rusuh. Itu yang pasti akan terjadi jika keduanya bertemu. Aktornya siapa lagi jika bukan Tian dengan pertanyaan usil dan konyolnya itu. Jangan lupakan juga keberadaan Brian. Entah sejak kapan juga Brian kini malah semakin mirip dengan Tian dalam hal keisengan. Jika sudah begini, Mario tidak bisa berkutik dan hanya bisa dengan pasrah menjadi sasaran tembak.

Selesai makan malam, Brian, Mentari, Mario dan Dea kembali ke rumah Brian. Waktu makan malam tadi, Mario akhirnya memutuskan untuk tidak jadi mengadakan resepsi pernikahan mereka di Jakarta yang tertunda karena kejadian penembakan yang dilakukan oleh Leo. Tidak masalah, yang penting mereka berdua sudah resmi sebagai suami istri baik mata Tuhan maupun di mata negara.

"De.. Onal gimana ya de? Tambah gendut atau gimana ya?" Tanya Mario. Kini Mario dan Dea sedang duduk bersandar di headboard tempat tidur.

"Kayaknya sih bang. Kangen ya sama Onal?" Lanjut Dea?

"Iya... De... Eh, kita kasih Onal temen main yang seumuran sama dia gimana?" Mario bertanya dengan nada suara yang rendah. Hidup bersama dengan Mario, Dea sudah sangat mengetahui apa yang dimaksud oleh Mario.

"Maakssudnya?" Bukannya menjawab, Mario lalu menarik tengkuk leher Dea, lalu dia mencium bibir Dea. Belum selesai, Mario lalu menurunkan area penciumannya ke leher Dea.

"Baaannnngg......" Dea hanya bisa mendesah. Matanya terpejam. Namun kemudian dia berusaha mendorong Mario yang semakin lama semakin merapat ke tubuhnya.

"Baaannggg...." Dea dengan suara paraunya masih berusaha untuk membuat Mario menjauh darinya

"Kenapa dee? Hm... Abang udah pengen..." Suara serak Mario.

"Dea lagi dapet bang.. Maaf bang.." Mario lalu melepaskan edusannya pada leher Dea. Wajah Mario langsung menunjukkan kekecewaan.

"Yaaahhhh................"

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora