BAB 09

759 113 61
                                    

BAB INI MENGANDUNG TRIGGER WARNING! KARENA ADA  UNSUR KEKERASAN.

•••

NIRA

"Jadi, kami memang memasang strategi lapor polisi sebagai ancaman awal pada pelaku sabotase mesin pengemas Mie Gara. Kemudian, setelah ketemu pelakunya, dengan melewati negosiasi super alot kami minta prosesnya pakai jalur perdata dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Hakim setuju dengan semua bukti dan saksi serta pernyataan tim kami sehingga putusannya adalah minta pelaku untuk bayar ganti rugi untuk seluruh mesin kemasan Mie Gara dan orang-orang jahat yang menyerang saya untuk dilanjutkan dalam sidang pidana," tuturku sambil menyesap minuman.

Semua orang tampak terpana.

"Tapi, melihat potensi PT Cahaya Angkasa Sejahtera seperti yang dibilang oleh Pak Anton. Saya lebih baik menyarankan untuk akuisisi daripada merger, Pak Aksha. Karena pengurusannya lebih mudah dan penghitungan sahamnya juga tidak terlalu panjang. Toh, manajerialnya PT Cahaya Angkasa Sejahtera saja yang kata Bapak agak bermasalah, belum sampai dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga. Mungkin untuk lebih jelasnya besok Senin Pak Aksha – dengan pengacara Bapak -- dan Pak Anton bisa negosiasi bersama atau langsung proses Legal Due Diligence lebih leluasa di kantor AA&Partners sebelum RUPS berikutnya." Aku mengakhiri presentasi singkat ini dengan memberikan kartu namaku dengan Pak Aksha.

"Sebenarnya direktur utamanya PT Cahaya Angkasa Sejahtera itu Pak Farid, suami kakak saya. Nanti kami akan kabari Pak Farid untuk lebih jelasnya," jawab Pak Aksha formal dan percaya diri.

Selanjutnya aku membiarkan Satya menjelaskan tentang rumus-rumus saham dan kawan-kawannya pada Mas Anton dan Pak Aksha Syahreza yang menyimak dengan santun. Sedangkan, istri Pak Aksha – namanya Bu Giani – mengajakku, Mbak Tyas, dan Sarah mengobrol tentang hal-hal pengetahuan umum. Kesan pertamaku adalah Bu Giani terlihat seperti sosialita pada umumnya yang sedikit lebih berwawasan. Namun, aku lebih banyak mendengarkan karena aku tidak terlalu paham tren-tren baru. Tapi sesekali aku menimpali jika sesuai topik yang kukuasai.

Tepat saat makanan penutup dihidangkan, Mas Danar kembali dari kamar mandi. Untung saja makanan utamanya sudah dihabiskan duluan. Hanya aku dan Mas Danar yang pesan kue coklat lava sedangkan yang lain pesan panna cotta.

"Ke toilet lama amat, Mas," bisikku.

"Perutku mendadak mual tadi, Nira. Sekarang sudah baik-baik saja kok," jawabnya pelan.

Kebanyakan kami makan dalam diam, sesekali mengobrol tentang politik hingga pembagian saham dan rencana ke depan setelah akuisisi. Mbak Tyas – yang memang dasarnya lebih banyak ngobrol – menceritakan tentang dunia parenting pada Bu Giani. Aku, Sarah, dan Mas Danar kebanyakan menyimak sambil fokus pada hidangan penutup selezat ini.

"Memang ya pasangan di mabuk cinta tuh nempel melulu kayak perangko sama surat sampai pesan makan aja sama gitu. Baru kali ini gue lihat ada orang yang natap lo penuh cinta gitu, Nir. Eaaaaaa," celetuk Satya tiba-tiba saat aku sedang mendengarkan rencana Sarah yang ingin mendonasikan pakaian lamanya pada Yayasan Perempuan Hebat yang disambut antusias oleh Mbak Tyas dan Bu Giani.

Kutorehkan kepalaku sembari melotot pada Satya yang baru saja selesai mengunyah panna cota-nya.

Selanjutnya, celetukan Satya makin tidak santai, "Lho, gue benar, kan? Teganya lo nggak ngasih tahu gue sama anak-anak, jadinya langsung kasih tahu aja ke Obi sama Tio di obrolan grup. Tio aja sampai minta tambahan waktu istirahat manggungnya demi konfirmasi. Nih dia nelpon gue sekarang." Satya menggoyangkan ponselnya ke arahku dengan tampilan layar panggilan dengan wajah Tio sebagai foto profil.

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang