BAB 24 (2)

465 74 5
                                    

DANAR

Ketika aku membuka mataku entah berapa jam kemudian, aku menemukan diriku terbaring di atas tempat tidur di sebuah kamar VIP di rumah sakit. Teriknya matahari yang masuk lewat jendela menyilaukan mataku. Infus terpasang di pergelangan tanganku, dan pinggangku terasa perih sekali.

"Udah bangun?" Sebuah suara bariton yang kukenal menyambutku. "Baguslah, Mas nggak sadar selama empat belas jam."

Pandangan mataku yang tadinya buram tertuju pada sosok lelaki yang menghampiri tempat tidurku. Rupanya Arjuna menungguiku.

"Kamu di sini? Mana Nira?"

"Nira nemenin Mas sampe pagi. Saya suruh dia pulang, tidur, dan mandi dulu. Tuh, berkas-berkasnya dia bawa ke sini semua." Arjuna menunjuk ke arah tumpukan dokumen yang berserakan di meja kecil di depan sofa, ciri khas berantakannya Nira. Lalu ia menggelengkan kepala. "Kemarin itu sebenarnya kenapa, Mas? Nira udah nggak ada di kantor polisi sejak siang. Dia aman sama Pak Darya, Bu Ratri, dan saya. Malah lagi ketemu Bram dan dokter Benny, saksi ahli tambahan yang bisa menjelaskan obat-obatan yang dikasih Danang ke minumannya Nira waktu itu."

Aku menarik napas dalam-dalam, dan lukaku terasa semakin perih. "Waktu kamu bilang Danang mengacau, saya langsung panik. Apalagi melihat alat pelacak Nira ada di kantor polisi."

Arjuna menyodorkan seuntai kalung ke tanganku. Kuamati rantainya patah. Kebetulan yang sangat mencelakakan.

"Maaf," ujarnya. "Harusnya saya mencegah Mas lebih keras lagi. Dari tadi saya bareng Nira, nggak ngecek kalau kalungnya patah." Arjuna juga punya aplikasi pelacak tersebut sebagai sesama agen Penumbra. "Tapi kami benar-benar nggak menduga Danang di-backing Grup Rahadi sampai segitunya."

"Jangan bilang dia lolos lagi," geramku.

"Lebih tepatnya dibiarkan lolos," sahut Arjuna. "Saya lihat dia dijemput oleh Alline Rahadi pakai mobil pribadinya. Tapi saya sempat menembakkan alat pelacak nano di lehernya dan pelacak di ban mobil Alline. Ini bisa memantau pergerakan mereka berdua. Untuk strategi selanjutnya, saya tunggu kehadiran Nira."

Aku mengangguk pelan, terlalu lemah untuk memikirkan strategi.

"Saya barusan chat Nira, bilang Mas udah sadar. Biar dia segera kemari."

"Makasih, Jun."

"Sekalian mau sarapan? Saya pesankan bubur ayam pakai OjekFood, ya?" cerocos lelaki itu tanpa henti.

Aku mengangguk lagi. "Saya berutang budi padamu, Jun. Untuk sekarang, boleh biarkan saya sendiri dulu?"

"Baik." Arjuna nyengir, lalu beranjak. "Saya tungguin makanannya di lobby aja. Kalau ada apa-apa, kabari saya, nanti saya naik. Kalau Nira belum datang, tentu saja."

***

Sambil menikmati kesendirian, aku merutuki kebodohanku. Bukannya membantu, malah merepotkan. Semoga sakitku ini tidak memperlambat penyelidikan Nira dan rekan-rekannya. Samar-samar terngiang di telingaku janjiku ketika mengajak Nira menjadi pacarku. Kita sama-sama melawan Anjing Gila. Aku akan mendengarkan semua peringatanmu.

Nyatanya? Aku dibodohi dan dijadikan bulan-bulanan seperti ini.

Kuraih ponselku, kalau-kalau ada berita tentang kejadian di Polda Metro Jaya tadi malam. Berita tentang kebakaran itu terbit di media, tetapi tidak tentang kerusuhannya. Sudah pasti Grup Rahadi membungkamnya. Namun kekacauan yang ditimbulkan Danang dan gengnya pasti sudah cukup bagi Bu Ratri untuk menuntut Danang dengan pasal berlapis.

Tinggal melepaskan Nira dari jeratan video asusilanya ....

Bunyi bel di pintu membuyarkan lamunanku. Tanpa menunggu jawabanku, pintu langsung terbuka. Kukira Arjuna sudah kembali dengan bubur ayamku, atau Nira sudah datang untuk mengunjungiku. Namun di luar dugaan, malahan Alline Rahadi yang mengenakan gaun mini magenta pink melenggang masuk ke kamarku tanpa segan maupun rasa bersalah.

Embracing Dawn (T) | ✓Where stories live. Discover now