BAB 16 (1)

596 95 19
                                    

DANAR

“Aku tahu suatu tempat.”

Empat pasang mata – Nira, Pak Ardhi, Renita, dan Ronald – menatapku kaget. Dari tadi aku memang lebih banyak diam sembari menemani Nira ke mana pun dia pergi, mulai dari mengungsi ke tempat Yanti sampai singgah ke rumah Pak Ardhi. Semua kejadian yang menimpa Nira datang bertubi-tubi dan terlalu cepat – aku perlu waktu untuk mencernanya. Namun sekarang gambaran utuhnya telah terbentuk sempurna. Aku sudah membuat rencana untuk mengatasinya. Semoga saja Nira setuju.

“Tiara Suryajati punya markas yang sulit ditembus siapapun. Kita bisa membawa Kamila ke sana. Apalagi malam seperti ini, banyak bala bantuan Tiara yang bisa melindungi Kamila.”

Pak Ardhi mengusap dagunya sambil mengangguk. “Kenapa tidak terpikirkan sejak tadi, ya?”

Renita menyengir. “Karena yang dipikirin tantenya melulu,” yang disambut dengan gelengan ayahnya.

“Karena kita nggak mau melibatkan lebih banyak orang daripada yang seharusnya,” sahut Nira sambil terus menatapku. “Membawa Kamila ke markas Mbak Tiara? Mas Danar yakin?”

Nira pasti belum tahu mengenai identitas ganda Tiara sebagai Jakarta Vigilante. Otakku berputar cepat untuk mencari alasan yang tepat. “Maklum, Nir, konglomerat memang gitu. Mereka harus selalu menjaga diri dari potensi serangan.”

“Mbak Tiara … bisa dipercaya?” tanyanya sekali lagi.

Aku mengangguk. “Sebagai mantan bodyguard dan juga pelatihnya, aku yakin Tiara adalah bala bantuan kita.”

Nira masih belum melepas tatapannya dari wajahku. Ia baru tahu aku sempat menjadi pelatih Tiara. Mungkin ia bertanya-tanya dalam hati, hubungan apalagi yang pernah kumiliki dengan Tiara. Mungkin juga ia teringat dengan ucapan Giani soal pacaran pura-puraku dengannya, yang padahal cuma berlangsung beberapa menit tanpa persetujuanku. Namun bagi Nira, logika selalu mengalahkan perasaan.

“Baiklah, kita bangunin Kamila lalu bawa dia ke tempat Mbak Tiara.”

***

Ketika aku, Nira, dan Kamila tiba di Suryajati Tower, Tiara menyambut kami di lobby gedung tanpa banyak tanya. Perempuan berambut panjang yang mengenakan gaun hitam rancangan desainer ternama itu membawa kami ke dalam salah satu aula pertemuan gedung. Kemudian, melalui lift khusus yang tersembunyi di ruang janitor, kami turun ke lantai bawah tanah yang dilapisi dinding besi.

Di sisi kiri, peralatan olahraga yang lebih lengkap daripada gym berjajar rapi. Di sisi kanan, terdapat matras latihan bela diri yang sudah lama tak kugunakan. Di bagian tengah ruangan terdapat meja kerja dengan tiga monitor besar. Di dinding di seberang meja, terdapat monitor-monitor raksasa yang biasanya menunjukkan berbagai sudut kota Jakarta, hanya saja kali ini sedang menunjukkan grafik saham di New York Stock Exchange. Di sisi dinding yang lain, lemari kaca yang biasanya menampilkan koleksi senjata Tiara kali ini menunjukkan buku-buku koleksinya.

“Jadi, karena kita sudah aman di sini, bisakah kamu jelaskan apa yang sedang terjadi, Nar?” tanya pemimpin Grup Jati itu kepadaku.

Aku menoleh ke arah Nira. “Nira bisa menjelaskannya dengan lebih baik.”

Tiara menatap Nira tajam, tetapi tatapannya berubah lembut. “Udah lama sekali kita nggak ketemu, Nir. Sayang sekali kita harus bertemu dalam situasi seperti ini.” Ia menghela napas. “Soal trending topic itu, kalau kamu perlu bantuanku, aku bisa menghubungi David Sastradireja untuk mengeluarkan berita yang lebih heboh supaya kasusmu tenggelam.”

“Makasih, Mbak Tiara, tapi itu bukan alasan kami di sini,” sahut Nira. “Nggak perlu khawatir soal kasus saya. Itu hanya pengalihan isu untuk menutupi kasus yang lebih besar di sini.” Ia menepuk punggung Kamila perlahan. “Kenalin, Mbak, ini Kamila Sudarsono. Saksi kunci kasus limbah pabrik Grup Syahreza beberapa tahun yang lalu. Saya punya firasat, Grup Syahreza ini mengincar Kamila untuk dibunuh. Makanya Mas Danar mengusulkan untuk membawanya kemari.”

Embracing Dawn (T) | ✓Where stories live. Discover now