Bab 11

18 7 0
                                    

Prolog yang sangat paripurna dengan harap ending yang sempurna.

___

Akhirnya, setelah beberapa menit menikmati angin yang beranjak sore, Ilham dan Lusi pun berakhir disebuah taman dengan tangan yang memegang sebungkus makanan. Karena baru pertama kali mengajak seorang cewek dan tidak tahu tempat kesukaan cewek seperti apa. Ilham pun mengajak Lusi ke taman yang entah itu membuat Lusi nyaman atau tidak.

"Kalau gak nyaman di sini. Bilang ya," ujar Ilham serta menatap Lusi yang berada disampingnya. Lusi yang ditanya seperti itu menoleh dan membalas senyuman serta anggukan kepalanya.

"Gue suka tempatnya. Enak dan adem," jawab Lusi dan langsung duduk dikursi panjang berwarna putih, kemudian disusul oleh Ilham. Ilham tersenyum mendapati jawaban yang dikeluarkan oleh Lusi. Hatinya sedikit lega, jika Lusi menyukai tempatnya.

"Syukur kalau lo suka," ujar Ilham serta tersenyum menatap ke segerombolan anak kecil yang berada didepan. Entah ini perasaan Ilham atau bukan, Ilham merasa setiap berada didekat Lusi ia jadi gampang tersenyum.

"Suka banget gue liat wajah lo," lirih Ilham serta menatap wajah Lusi yang manis sedang menatap lurus ke depan, menikmati alunan angin yang menerpa kulit wajahnya. "Cantik banget," lirih Ilham lagi.

"Kenapa?" tanya Lusi serta mengalihkan pandangannya ke Ilham. Telinganya samar – samar mendengar ucapan Ilham, namun tidak terlalu jelas. Ilham tersenyum sebagai jawaban dan menggelengkan kepalanya.

"Ngomong – ngomong, enggak akan ada yang marah kan? Kalau gue jalan berdua bareng lo," tanya Ilham hati – hati. Meski kata si Fadlan Lusi ini belum ada yang punya, tapi jaga-jaga jika ada seseorang mengajaknya duel karena tak suka ia berdekatan dengan Lusi.

"Tenang, gue jomlo," jawab Lusi serta tersenyum. Entah kenapa mata Ilham termangu kala senyum itu kembali ia lihat. Sial, lagi-lagi senyummu membuat candu, batin Ilham.

"Hey! Kok ngelamaun?" ucap Lusi serta melambaikan tangan diwajah Ilham. Ilham menggelengkan kepalanya tersadar. "Sorry," ucap Ilham serta terkekeh.

Beberapa menit kemudian, terjadi keheningan. Tak ada yang berani membuka suara, mereka berdua hanya menikmati suasana sore dan makanan yang nikmat. Mungkin yang sangat menikmati ialah Ilham. Sedari tadi senyumannya tidak pudar, dalam hati ia berterima kasih pada Tuhan yang telah merestui do'a Ilham. Namun, siapa sangka dibalik senyumannya itu ada hati lain yang menyukainya.

"Cupu banget lo! Samperin sana. Kalau suka itu, dikejar bukannya diam – diam ngintip," ujar Beni kala melihat temannya diam – diam memperhatikan salah satu objek yang berada di depannya, yakni Ilham dan Lusi.

"Gue enggak mau ngerusak kebahagian orang lain Ben," balas temannya Beni itu serta menatap Beni dengan senyum sendunya. "Balik. Jangan ganggu orang lagi kasmaran," sambungnya serta menyeret Beni yang ingin menghampiri kursi putih itu.

"Lo suka sastra?" tanya Lusi serta menatap Ilham yang berada disampingnya.

"Enggak terlalu," balas Ilham serta diakhiri dengan senyum khasnya.

"Lo bisa buat puisi kan?" Ilham mengangguk kepalanya bertanda iya. "Gue suka baca puisi lo. Ya, meskipun gue kadang enggak paham sama isinya," sambung Lusi serta diakhiri kekehan. Ilham tersenyum dalam hati ia bersorak girang, karena Lusi—gadis pujaan hatinya menyukai tulisannya. "Makasih, udah luangin waktu lo buat baca tulisan abstrak gue."

Lusi menganggukan kepalanya. "Lo udah punya pacar?" tanya Lusi. Ilham menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Bener?" tanya Lusi tak percaya. Ilham menganggukan kembali kepalanya. "Ya begitulah Lus," jawab Ilham serta memasukan makanannya kedalam mulutnya.

"Emang kenapa?" tanya Ilham bingung.

"Ya, aneh aja. Masa ada cowok yang betah sendirian gitu, biasanya kan mereka suka bersenang-senang," jawab Lusi serta memasukan makanannya kedalam mulut. Ilham tersenyum. "Kan bersenang-senang enggak harus pake status pacaran. Bareng teman-teman juga udah bisa senang – senang." Lusi terdiam seketika dan menganggukan kepalanya setuju.

"Ngomong-ngomong buatin gue puisi dong," pinta Lusi yang membuat Ilham terdiam seketika.

Jika Lusi tahu, bahwasannya puisi yang selalu ia pajang di mading akhir-akhir ini adalah tentang dia. Dia, gadis dermawan dengan senyum manis yang rupawan. "Eum, bentar. Biarkan gue mikir dulu," ucap Ilham dan dijawab anggukan oleh Lusi.

Ilham mengeluarkan buku serta bolpoint di dalam tasnya. Kemudian, tangannya langsung menari dikertas putih itu dengan raut wajah sedang berfikir. Aktivitas Ilham tidak luput dari penglihatan Lusi, ia takjub sekaligus terpesona akan raut wajah Ilham yang sedang berfikir. Ya, dia terpesona.

"Lo cakep kalau lagi mikir," ucap Lusi yang membuat Ilham seketika termangu. "Eh, sorry refleks itu," sambung Lusi dan dibalas senyum tipis dari Ilham.

Lengkungan sabitnya menjadi candu bagi pribumi.

Untaian dialognya pun membuat pribumi nyaman.

Sial, gadis itu selalu menghantui disetiap relung hati.

Intuisi ini menjadi saksi kala sebuah pertolongan berakhir dengan kebersamaan.

"Gue suka," ucap Lusi kala membaca untaian kata yang diciptakan oleh Ilham.

"Syukurlah kalau lo suka," balas Ilham dengan senyum yang mengembang lebar.

"Gue bawa ya, buat dipajang di kamar gue," pinta Lusi yang diangguki oleh Ilham dengan mantap. "Beruntung banget yang akan jadi pacar lo. Tiap hari dibikinin kayak gini," ucap Lusi serta menggerakkan kertasnya. Ilham terkekeh. "Enggak tiap hari juga kali, nanti dia diabetes dikasih yang manis-manis." Lusi terkekeh menanggapi balasan dari Ilham.

"Pulang yuk. Udah mau magrib," ajak Ilham dan dijawab anggukan oleh Lusi.

Mereka pun beranjak dari kursi itu. Kursi yang menjadi saksi bahwasannya ada kedua pribumi yang tak saling kenal, kini berdialog hingga senja datang. Tempat ini, akan dikenang oleh Ilham. Tempat pertama yang ia kunjungi bersama gadis pujaan hatinya. Tempat ini, akan kembali Ilham kunjungi kala sang gadis sudah menjadi miliknya.

"Makasih ya Ham. Udah ngajak gue jalan-jalan," ucap Lusi kala mereka sudah berada dikediaman Lusi. Ilham menganggukan kepalanya. "Kapan-kapan boleh ya kalau gue minta puisi lo lagi," sambung Lusi dengan diakhiri oleh senyuman.

"Iya, boleh," ujar Ilham dan langsung dibalas senyuman lebar oleh Lusi. Setelah mengucapkan itu, Ilham pun berpamitan untuk pulang, sebab waktu sudah beranjak magrib.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, senyum lebar Ilham tak pupus begitu saja. Hari ini sangat berharga bagi seorang Ilham. Hari yang akan menjadi salah satu kenangan manis dalam hidupnya. Untuk Tuhan, taman dan kursi terima kasih telah menjadi saksi pertama dalam sebuah perjalanan cinta.

"Prolog yang sangat paripurna dengan harap ending yangsempurna."

(I)Lusi (Selesai)Where stories live. Discover now