P A R T 1 6

24.8K 2.2K 136
                                    

Arisha menyeka keringat yang mengalir di dahinya, ia menyentuh leher dan pinggangnya yang terasa pegal. Akhirnya, ia menyelesaikan hukumannya tepat bel pulang berbunyi dan tentunya tanpa bantuan Darka. Entah ke mana laki-laki itu menghilang, Arisha tidak mempedulikannya.

Namun, baru saja ia melangkah ke luar dari bilik toilet tatapannya terkunci pada lantai yang menghitam karena oli. Tidak hanya itu, ia dapat melihat Darka yang bersandar pada dinding sembari memakan kacang dan membuang kulitnya ke lantai.

Bolehkah Arisha memberinya sumpah serapah?

"Gimana bantuan gue?" tanya Darka ketika tatapannya bertubrukan dengan Arisha. Darka kembali berbicara karena Arisha hanya diam memandangnya.

"Udah buruan bersihin, liat apa lo?"

Arisha menjatuhkan kain pel di tangannya ke lantai, berjalan perlahan mendekati Darka karena kakinya yang masih terasa sakit. Darka yang menyadari itu, memperhatikan Arisha hingga gadis itu berada di hadapannya.

"Gue emang gak punya babu di sini, tapi bukan artinya lo punya hak buat jadiin gue babu," ucap Arisha.

"Terus? Lo keberatan?" tanya Darka menaikkan sebelah alisnya. "Lagi pula ini terjadi karna lo. Kalo aja lo pergi dari sini, ini semua gak akan terjadi."

"Kalo aja kecelakaan itu gak terjadi, lo pasti gak akan berbuat kayak gini," kata Arisha membalikkan ucapannya. "Mau berulang kali lo ungkit kejadian itu, semuanya akan tetap sama, Darka."

Darka yang sebelumnya bersandar kini menegakkan tubuhnya. "Hebat. Secara gak langsung lo nyuruh gue lupain semuanya, dan maafin lo seolah gak ada yang terjadi?"

"Darka, maksud gue—"

"Atau maksud lo gue harus terima semuanya termasuk perjodohan kita?"

Arisha menghela napas gusar. "Bisa gak sih lo dengerin penjelasan gue dulu?"

Darka mengangguk semangat. "Bisa, tunggu sebentar."

Arisha hanya diam di tempat ketika Darka memasuki salah satu bilik toilet, sampai akhirnya Darka kembali bersamaan dengan cairan oli yang sengaja disiram ke tubuhnya.

Gadis itu menundukkan kepalanya ketika seluruh tubuhnya dipenuhi oli, tidak lama Darka membuang ember ke sembarang arah lalu kembali berhadapan dengan Arisha.

"Sekarang lo bisa jelasin semuanya. Gak usah khawatir, dengan penampilan lo kayak gini gue pasti dengerin setiap kata yang ke luar dari mulut lo. Ayok, cepet," kata Darka menatap Arisha yang dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Tatapan Arisha hanya terkunci pada lantai, menahan air mata yang dapat menetes kapan saja. Gadis itu menggigit bibirnya, kedua tangannya terkepal bermaksud menguatkan dirinya yang terus-terusan dihadapkan oleh kemarahan Darka kepadanya.

"Ayok, gue masih nunggu penjelasan lo," ucap Darka tanpa mengalihkan pandangan dari gadis itu.

Kini Arisha mendongak agar bertatapan dengan Darka. Kedua mata Arisha sudah terlihat merah menandakan air mata yang dapat menetes kapan saja. "Bisa, lo pergi dari sini?"

"Oke, kalo lo berubah pikiran. Lagi pula gue ada urusan yang jauh lebih penting daripada harus liat muka lo," lontar Darka, dan langsung pergi begitu saja tanpa peduli dengan kondisi Arisha yang mengenaskan.

Bersamaan dengan perginya Darka tubuh gadis itu jatuh terduduk di lantai, sangat terasa jika tak mampu untuk menopang tubuhnya. Tangisnya pecah, kedua tangan yang berada di lantai lagi-lagi terkepal.

Bisakah seseorang mengatakan kapan ini semua akan berakhir?

*****

Arisha mengusap lehernya yang terasa dingin, berjalan seorang diri dimalam hari karena ingin menghirup angin malam. Sebenarnya Arisha sengaja berjalan agar rasa sakit dikakinya segera menghilang, jika di abaikan hanya akan terasa semakin sakit. Begitulah pikirnya. Arisha memasukkan kedua tangannya ke dalam hoodie yang ia kenakan, rambutnya teruari ke sana kemari karena hembusan angin. Pikirannya kembali teringat Darka, tentang bagaimana perubahan sikap laki-laki itu antara dulu dan juga sekarang. Sangat jauh berbeda dari bayangannya.

Stop It, Darka! [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt