XXXIV - The Twins Vow-Dark [Side]

4.1K 541 70
                                    

Apa ada yang masih baca? :"D Baru update gegaraada tugas dan deadline segala macem :") Maafin :") Marahi saja aku! Typo is Art. Komenmu semangatku! 

.

"Ayah, ada yang mengantarkan sesuatu untukmu." Seorang anak laki-laki terlihat mengantarkan sebuah dokumen kepada pria paruh baya yang sedang duduk dan menikmati rokok di tangannya.

Pria yang dipanggil ayah tadi segera menerima dan membuka isi dokumen tersebut. "Romeo, tadi Fabio mencarimu," ucapnya pada sang anak. Romeo yang memang sudah sedari awal berniat menjauh pun langsung menganggukkan kepalanya patuh. Dia harus memeriksa keadaan Fabio di kamar.

Romeo melangkahkan kakinya menuju kamar, namun sebelum itu dia samar-samar mendengar suara sebuah dokumen dibanting dan ayahnya yang mengumpat. Romeo tidak tahu apa yang tertulis di sana, tapi dia yakin itu bukanlah hal yang baik dan ini sudah terjadi dua kali.

Yah itu bukan urusannya juga, itu adalah urusan orang dewasa. Romeo dan Fabio hanya kebetulan hidup di keluarga ini, dia tidak berniat untuk mendalaminya meski sang ayah sering mengucapkan hal tentang meneruskan pekerjaan  tersebut.

"Fabio?" Romeo mendorong pintu kamar dan menemukan sosok Fabio sedang terbaring di lantai. Saudara kembarnya itu menoleh dengan wajah yang pucat dan tubuh yang kurus.

Fabio tersenyum tipis. "Kau sudah pulang, Romeo?" dia menyapa dengan suara lembut. Yang dipanggil segera masuk dan menutup pintu, meletakkan tas sekolahnya dan duduk di sudut ranjang.

"Belum, aku masih di jalan. Kenapa?" Romeo mendengus. Masih saja bertanya sudah pulang padahal jelas-jelas dia berdiri di sini. Memangnya dia apa? Roh halus?

Paham dengan perasaan jengkel sang adik, Fabio hanya memberikan cengiran seraya berusaha duduk, "Ayolah, aku hanya bertanya agar terlihat seperti kakak yang baik. Bagaimana harimu disekolah?" masih tidak menyerah, Fabio pun bertanya lagi.

Kali ini Fabio memasang wajah jijiknya seraya berkata, "Cukup, itu membuatku merinding," ucapnya. Fabio mengedip berulang kali, dia tidak paham kenapa niat baiknya selalu disalah artikan oleh sang adik.

Tapi Fabio tahu bahwa Romeo tidak membencinya. Mungkin hanya sedikit denial dan malu.

"Romeo, kau terlalu homo," cibir Fabio seraya menggelengkan kepalanya. Sang adik langsung menatap jengkel tidak terima dengan kata-kata yang dilontarkan sang kakak.

Lagi pula siapa juga yang merasa dirinya homo, Romeo hanya jijik mendengarkan kalimat manis begitu dari seorang gay. Humh, pasti begitu. "Aku normal. Kau saja yang homo, jangan bawa-bawa aku." Lagi-lagi Romeo mendengus dan Fabio tertawa. "Selain itu, kapan kau akan sehat? Keadaanmu memprihatinkan sekali." Romeo bergumam, meski itu terdengar seperti rasa khawatir. Fabio menggelengkan kepala seraya tersenyum geli, adiknya memang sangat lucu dalam mengekspresikan perasaan.

"Aku akan sembuh, tunggu saja. Lagi pula aku tidak mau tertinggal kelas," jawab Fabio. Tak lama kemudian dia batuk-batuk dan segera diberikan air oleh Romeo.

Anak yang lebih muda menghela napas, sudah satu bulan Fabio mendadak sakit seperti ini. Mereka sudah membawanya ke dokter tapi sepertinya tidak ada kemajuan. Romeo tidak tau apakah ini karena memang penyakitnya parah atau karena terkendala biaya.

Yah, zaman sekarang semua harus serba uang. Pengabdian? Tulus menolong? Bullshit macam apa itu. Romeo ingin tertawa.

***

"Apa-apaan maksudnya ini? Bahkan pimpinan pun juga menolak?!"

"Iya aku paham bahwa jabatanku tidaklah seberapa, tapi setidaknya ini hanyalah pertolongan kecil, bukan? Anakku sakit parah, bukankah tidak ada salahnya kalian memberikan sedikit fasilitas organisasi padanya?"

HELLO, BITCHES!Where stories live. Discover now